“PARTISIPASI MASYARAKAT” ADALAH istilah yang lekat dengan konsep good governance. Pemerintah daerah dan pusat, misalnya, berlomba-lomba mengajak warga turut serta dalam menentukan arah kebijakan publik demi dinilai sudah menjalankan ide good governance. Namun, apa itu makna “partisipasi masyarakat”, kekuasaanlah yang menentukan.
Periksalah bagaimana Badan Legislatif (Baleg) DPR menentukan makna “partisipasi masyarakat” lewat rancangan revisi UU Penyiaran versi mereka. Pada bab XII tentang Partisipasi Masyarakat, tepatnya pada pasal 148 dan 149, diciptakanlah sebuah entitas yang tidak pernah dikenal dalam UU sebelumnya: Organisasi Lembaga Penyiaran (OLP).
Kepentingan perusahaan
Apa yang dimaksud dengan OLP tidaklah jelas. Yang dibuat jelas hanyalah tujuan keberadaannya. Begini tulis Baleg DPR tentang tujuan didirikannya OLP: “menyalurkan aspirasi dan kepentingan Lembaga Penyiaran (Pasal 149 Ayat 2 Butir c)”.
Agar tidak tampak brutal, maka tujuan itu mesti dibarengi tujuan-tujuan normatif nan mulia, seperti “mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan identitas dan kebudayaan nasional (Butir a)”, “meningkatkan kualitas penyiaran (Butir b)”, “meningkatkan partisipasi lembaga penyiaran dalam mencapai tujuan pembangunan nasional (Butir d)”.
Tujuan “mulia” macam demikian, buat saya, tidaklah lebih dari sekadar strategi retorika yang dirancang untuk menyilaukan; untuk mematut-matut diri dan untuk mengaburkan persoalan utamanya. Seolah atas nama “tujuan mulia”, kehadiran OLP tidak bermasalah dan tidak perlu disoal.
Lewat pasal-pasal tersebut, saya memahami OLP sebagai lembaga yang secara terang-terangan dibuat untuk secara total melayani kepentingan perusahaan penyiaran. Keberadaannya secara khusus dirancang untuk melindungi dan melancarkan agenda-agenda industri di dalam bisnis penyiaran.
Lewat OLP, Baleg seolah ingin memfasilitasi minat ekonomi-politik industri penyiaran secara resmi dan legal. Untuk memudahkan fasilitasi tersebut, susunan organisasi OLP mesti “ditetapkan oleh para Lembaga Penyiaran” (Pasal 149 ayat 3) sendiri.
Dengan diformulasikan dalam sebuah produk hukum, keberpihakan terhadap industri ingin dikondisikan sebagai amanat UU. Maka, jangan salahkan apabila publik berpendapat bahwa revisi UU Penyiaran sebenarnya dirancang untuk memfasilitasi kepentingan industri semata.
Bukan. Saya bukan berpendapat bahwa perusahaan penyiaran tidak boleh memiliki kepentingan. Tapi, bukankah industri TV sudah punya asosiasi di mana kepentingannya sudah terwadahi? Salah satunya misalnya adalah Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).
Bukankah selama ini ATVSI sudah mewadahi dan menyalurkan kepentingan perusahaan TV swasta? Bukankah selama ini mereka bisa menyampaikan aspirasinya, baik ke pemerintah, DPR, media, dan masyarakat secara umum?
Kepentingan publik diabaikan
Lantas untuk apa keberadaan OLP? Apakah OLP adalah upaya memformalkan satu kelompok kepentingan, seperti ATVSI, sebagai satu badan resmi yang diamanatkan dan dilindungi UU? Mengapa justru bukan publiklah yang kepentingannya dilayani melalui, misalnya, semacam dewan penyiaran di mana perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya kelompok rentan, duduk bersama untuk merumuskan aspirasinya? Atau malah, oleh Baleg, publik dianggap tidak memiliki kepentingan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sayangnya sulit dijawab dan hanya bisa membuat publik menduga-duga. Pasalnya, selama ini proses revisi UU Penyiaran ini sangat tertutup.
Permintaan audiensi ke DPR dari kelompok akademisi dan masyarakat sipil tidak pernah digubris. Jadwal rapat pembahasan UU tidak pernah dikabarkan secara terbuka, seolah menghindari pantauan publik. RUU versi Baleg yang saya pakai dalam pembahasan tulisan ini pun saya dapat bukan melalui jalur yang resmi.
Di luar pasal mengenai OLP ini, banyak pasal-pasal lain yang juga bermasalah. Hal itu terbentang dari isu digitalisasi, pelenyapan ayat iklan rokok, wacana pengalokasian frekuensi radio untuk TV pemerintah dan DPR, penambahan porsi persentase iklan, hingga pemidanaan narasumber dan pengisi acara di TV
Diani Citra pada opininya di Kompas (2/9), selain memproblematisir isu digitalisasi secara khusus, juga berpandangan bahwa naskah RUU Penyiaran versi Baleg “sarat masalah”.
Secara garis besar, revisi UU Penyiaran versi Baleg DPR ini harus dikatakan abai kepentingan publik. Sebaliknya, kepentingan privatlah yang diakomodasi. Aspirasi elit ekonomi dan politik secara kuat mewarnai corak naskah revisi tersebut. Pasal mengenai OLP, misalnya, bisa dibaca sebagai representasi semangat Baleg yang melayani kepentingan privat tersebut.
Lantas apa makna partisipasi masyarakat ketika undangan berpartisipasi dikirim secara khusus hanya kepada perusahaan penyiaran? Lebih jauh, apa makna partisipasi masyarakat dalam sebuah proses yang justru menghindari partisipasi masyarakat?
Dari sini kita bisa melihat bagaimana kekuasaan menentukan makna dari partisipasi masyarakat: cukup diwakili kepentingan privat.
Artikel ini dimuat di Kompas pada 20 September 2017.
Kapan ya retorika2 yang menyilaukan tapi kosong ini jadi basi dan ditinggalkan oleh para pejabat? Salah satu poin yg ngeselin itu tadi juga adalah ttg pemidanaan narasumber. Di mana bisa baca rancangan revisi UU ini ya Roy?
Halo, As! Makasih udah baca. Draf RUU itu bisa dibaca di sini: https://l.facebook.com/l.php?u=https%3A%2F%2Fwww.dropbox.com%2Fs%2F6lysdwzlvzkhj5f%2FRUU%2520Penyiaran%2520Baleg%252019%2520Juni.pdf%3Fdl%3D0&h=ATPpxr7M8tV0FwPczMULkph2ZBBObti9g2auhLTjUrU1B1rXJL2ugGkB-EISkzQJUDvvdfv1–BoRyT1-LaxbFlLWisBYfniGEQWG7Cm18jzzOwT5iuGNDImbuKBehDfozgCQQMzCCmBeYI
Draf ini gw dapat secara tidak resmi. Mereka tidak membukanya ke publik. Jadi silakan disebarluaskan.
Makasi Roy!