“Maaf ya, saya pakai sepatu”, ujarnya meminta izin di rumahnya sendiri. “Lah kok gitu, Bang?”, tanya saya keheranan.
BEGITULAH pembicaraan kami dibuka ketika saya main ke rumah Rizaldi Siagian di Cinere, Jakarta Selatan, 19 Maret 2010. Ini kali ketiga saya bertamu ke rumahnya, setelah pertemuan pertama dibukakan jalan oleh Ignatius Haryanto, guru dan karib menulis saya, ketika lebaran dua tahun lalu.
Rizaldi Siagian. Ia sosok yang sama. Sosok yang berbaring ketika saya membesuknya di RS Puri Cinere kira-kira dua bulan lalu, dua hari sebelum operasi besar terhadap jantungnya dilakukan. Ia selalu bersemangat dan lantang. Seakan tidak pernah menyimpan kata ‘istirahat’ di dalam matanya.
“Awalnya di Yogya”, ceritanya tentang serangan jantungnya berawal, “…tapi saya coba lawan dengan meditasi dan zikir”.
Tapi toh, ia harus mengalah: pulang ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit setelah mencoba bertahan di rumah. Di rumah sakit, jantungya dibikin bekerja kembali dengan mengambil urat syaraf dari kakinya. Urat itu dipakai untuk memompa kerja jantung seperti sediakala. Entah bagaimana persisnya. Saya bodoh dalam biologi. Sialnya, saya pun pelupa. Lupa dengan penjelasannya.
Singkat cerita, itulah sebabnya ia memakai sepatu di dalam rumah. “Untuk melindungi dan memberi tekanan pada kaki”, terangnya mengenai sepatu Reebok dan kaos kaki setinggi lutut di balik celana panjangnya, persis pemain bola sepak.
“Ini bekerja ketika menonton”, ia berkata sambil menunjuk dada kirinya, “…khususnya adegan sedih tentang kemanusiaan”, lanjutnya. “Film thriller juga begitu. Ya saya manfaatkan saja untuk melatih ini”, mimiknya serius, sambil mengulangi gerakan menunjuk dada kirinya.
“Lalu, di mana sebenarnya ‘rasa’ itu terletak di dalam organ tubuh kita?”, ia menyodorkan pertanyaan. Kali ini dengan antusias dan dibarengi dengan sedikit tawa. Sebenarnya itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Pernyataan yang mengandung perenungan. Setidaknya buat saya.
***
RIZALDI SIAGIAN adalah seorang etnomusikolog. Ia seorang seniman musik sekaligus akademisi. Studi sarjananya di bidang etnomusikologi diselesaikan di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Di sana ia sempat menjadi dosen ketika masih duduk di semester dua. “Dosennya gak ada”, ceritanya.
Sedang gelar magisternya di bidang etnomusikologi digondolnya dari San Diego State University, California, Amerika Serikat. Ia meneliti musik klasik India Selatan sebagai topik tesisnya. Ia seorang yang hampir komplit di bidangnya. Dan karenanya menjadi sosok yang menyumbangkan perannya pada pencarian posisi dan identitas saya dalam bidang musik.
Ia bersalingsilang dengan banyak hal: seniman musik, ilmuwan musik, dan intelektual lintas disiplin ilmu. Tak banyak pemusik di Indonesia dengan kapasitas sepertinya. Mayoritas pemusik di negeri ini lemah dalam sisi ilmu dan ranah intelektual. Waktu mereka hanya dihabiskan di ruang latihan untuk mendewakan permainan musik semata. Atau dihabiskan mengajar dalam kelas dan kursus musik: mengejar laba dan bersembunyi dari pertanyaan-pertanyaan musikal. Sedang yang lain, puas menggarap musik-musik kondangan atau membikin orkes/ensambel kecil-kecilan yang nir-proyektif terhadap kerja budaya. Tapi keren dan seragam: kelompok musiknya dinamai dengan nama pemimpinnya (Kadang jadi agak sulit membedakan antar kelompok yang berkualitas dengan yang tidak berkualitas, juga dengan partai politik: jualan ketokohan, bukan isi).
Maka tak heran, pemusik kita gagap dan kikuk menghadapi dunia ini lewat kerjanya di musik. Mereka sepenuhnya lepas dari konteks-konteks yang perlu disentuh, termasuk lenyap dalam perannya di kehidupan sosial kemasyarakatan. Pun ini bermuara pada sepinya rangsangan ide-ide kreatif baru yang sebenarnya perlu dimunculkan untuk melahirkan produk-produk seni baru.
Hasilnya, musik yang dibunyikan pun hanya menjadi produk matematis yang membosankan. Persis seperti kepatuhan terhadap formula pembuatan dompet kulit atau batu bata. Musik hanya menjadi atribut prestasi hidup yang eksistensial seperti jabatan, karir, jodoh, koleksi perangko, plat mobil, dan Blakcberry. Tak ada lagi musik sebagai ekspresi manusia, sebagai buah dari kebudayaan, seperti yang, misalnya, tampak dari masyarakat Venda di Afrika dalam bukunya John Blacking, How Musical Is Man? (Semoga musik-musik yang ‘Hidup’ [dengan ‘H’] dalam, khususnya, masyarakat tradisi tidak turut dilibatkan di sini).
Situasi ini kemudian melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang mendapat pekerjaan sebagai pengamat musik (tapi saya lebih percaya bahwa mereka hanya mengamati selebrasi, ketokohan, dan diskografi – bukan musik itu sendiri). Mereka tampak mengkilap, karena pemusik yang bermusik, yang (seharusnya) dekat dengan musik itu sendiri, tidak lebih tahu dari nabi-nabi musik tersebut.
Maka, ketika bertemu sosok Rizaldi Siagian, saya lega, karena anggapan saya tidak sepenuhnya benar. Setidaknya sosok-sosok macam inilah yang membuat saya kerasan terhadap musik. Yakni musik yang dimaksudkan sebagai ekspresi manusia, sebagai bahasa, sebagai bagian dari hidup spiritual masyarakat.
“Gak usah terlalu jauh. Dengan bekerja mengompori dan membuat bangga suatu masyarakat adat terhadap budaya yang mereka miliki, itu sudah dahsyat sekali. Dahsyat banget!”, kata Rizaldi di suatu ketika, yang membuat saya jadi merasa kecil karena berpikir terlalu rumit dan ambisius terhadap musik.
Buatnya, ada sebuah paradoks yang tidak bisa dilihat secara hitam putih begitu saja ketika disodorkan pertanyaan eksitensial-posisional musik tradisi dalam konteksnya dengan modernitas, globalisasi, atau pun aktualitas.
“Ini sebuah paradoks. Satu sisi, saya tidak berpikir seberapa perlunya musik tradisi difestivalkan”, ujarnya.
***
NAMA Rizaldi Siagian sebenarnya sudah tercatat dalam kancah permusikkan sejak lama, tapi saya mendengar namanya pertama kali di tahun 2005, ketika harian Kompas menggelar pagelaran akbar musik Megalitikum Kuantum, sebagai perayaan ulang tahun ke-40 Kompas.
Di tahun 1970-an, di Medan, ia adalah seorang rocker. Ya, saya tak pernah mengira, gelar akademisnya menyembunyikan kenakalan eksplorasinya. Di tahun tersebut Rizaldi adalah seorang penggebuk drum di band Great Session. Lacak punya lacak, saya temukan bahwa band ini punya posisi penting dalam sejarah musik Rock di tanah air, khususnya Medan. Di belakang drum, Rizaldi menjadi teror bagi drummer di Medan. Ia drummer terbaik di sana, bersaing dengan Jelly Tobing, yang dikenal kuat di kalangan musisi Blues.
Namun belakangan, ia tercengang dan terkagum-kagum ketika mendengar suara gondang. Semenjak itu, ia belajar musik tradisi, dan berkeliling Nusantara menyaksikan bagaimana masyarakat setempat memainkan dan memaknainya.
Ia juga pernah menjadi Ketua Jurusan Etnomusikologi USU hingga tahun 1992. Di sana, ia merancang dan menerapkan kurikulum etnomusikologi bersama Philip Yampolsky, Endo Suanda, Marc Perlman, Ashley Turner, dan Edward C. Van Ness. Dari kota Medan ini lahirlah generasi berikut etnomusikolog Indonesia seperti Ben Pasaribu, Mauly Purba, Irwansyah Harahap, dan Rithaony Hutajulu.
***
“SEHARUSNYA gak boleh, tapi refleks saya masih jalan”, katanya seusai mengusir kecoa yang terbirit di depan kami. Dengan kaki habis operasinya itu, ia spontan menyepak lalu membatalkannya. Saya cuma tertawa dibuatnya.
Ia menenggak segelas cairan kuning kecoklatan di hadapannya yang disediakan istrinya. “Ini apple cider vinegar. Gara-gara sakit, pengetahuan saya soal nutrisi jadi bertambah”, kisahnya dengan sumringah. Lalu diteruskannya dengan menerangkan manfaat buah ini, kandungan sayuran itu, dan sebagainya. Saya pun dapat resep darinya, “Alpukat itu bagus untuk meningkatkan HDL kolesterol”.
Dalam pertemuan ini, ia juga sempat mengambil sebuah buku tua dan membacakannya. Berteks Inggris. Menyoal musik dalam konteks psikologi. Entah buku apa, saya tidak mengingat judulnya.
Yang jelas, dari pertemuan singkat saya selama kurang lebih 2,5 jam, Bang Rizaldi, begitu saya panggil, menunjukkan gairahnya yang luar biasa. Ia antusias menerangkan soal nutrisi, hangat mengisahkan pengalamannya, juga berapi-api dalam menyikapi sebuah permasalahan musik yang saya gelontorkan.
Melihat semangatnya itu, orang tidak akan mengira, lelaki kelahiran 1950 ini, yang karya video dokumenternya berjudul My Forest’s Tears masuk nominasi festival film internasional di Jepang, dua bulan lalu terkena serangan jantung. Dua bulan yang lalu, lelaki ini membiarkan tubuhnya dikoyak-koyak di ruang bedah, demi mengakali kerja jantungnya. Dua bulan yang lalu, rekan dan sahabatnya mengumpulkan dana untuk biaya rumah sakitnya yang bernilai ratusan juta rupiah. Dua bulan yang lalu, hari ini, atau kapan pun, saya yakin – juga berharap – ia selalu bersemangat menjadi inspirator dan provokator buat siapa saja.
Lamat-lamat suaranya menggema pelan ketika saya meninggalkan rumahnya dengan sepeda motor, “Gua curiga, jangan-jangan elu ada family dengan Mozart? Atau Beethoven itu siapanya kakek lu, sehingga elu membela mati-matian?”.
Suara itu membuat jalan bermusik saya jadi tidak mudah. Tapi saya dibuat girang dan bergairah karenanya. (ROY THANIAGO)
Petojo, 31 Maret 2010
ulangtahun perak perkawinan orangtua saya,
dan suara bajaj dari pasar di kala subuh merampok sunyinya kamar
yakin lo, itu bukan Iwan Fals?? 😛
Mksudnya apa, As?? Oia, makasih udah bantu menyebarkan tulisan ini. Sayang kamu selalu. Haha..
haha..tampangnya mirip aja di foto2 di sini 🙂
yaa, menurut gw, suara nabi di kejauhan harus dibawa ke relung telinga dan hati setiap orang, karena setiap orang berhak untuk dapet pencerahan supaya pembebasan itu bisa dimulai di masing-masing jiwa mereka, biar gak sekadar jadi robot yang uda digerakkan oleh mekanisme industri, apapun itu.
seneng bisa nemu blog ini..belajar nulis dunk bang,, yang renyah, tapi edukatif..very like this
Sangat menarik tulisannya mas Roy.
Btw ada tulisan tentang org yg gag berpendidikan formal tinggi tapi punya kemampuan tinggi di bidang musik asal Indonesia gag mas Roy? Misalkan klo dr luar sperti A. Barrios M. ato klo dr Indo mgk Iwan Fals kali yah hehe…
Salam.
#Panca: Terima kasih, Bung Panca.
#Iwing: Makasih komentarnya, Mas Edwin. Pertanyaan Mas mudah saja di jawab, karena banyak sekali contohnya. Coba masuk ke komunitas seniman tradisi. Mereka tidak berpendidikan musik formal, tp memiliki musikalitas yg amat tinggi, termasuk penghayatannya trhp musik, sesuatu yg tidak dimiliki musisi sekolahan. Nama2 yg saya ingat, misalnya, Sujud Sutrisno (seniman keliling di Jogja), Tan Den Seng (ahli karawitan Sunda di Bandung), dan beragam seniman lainnya yg saya hormati.
Salam kenal mas Roy
Tulisan yang bagus, trima kasi sudah sharing ke kita2.
Saya bertemu bang Zaldi di Medan, ketika itu saya masih kecil di ajak sepupu yang kebetulan ada keperluan ke rumahnya di kompleks USU, kalo gak salah.
Ada beberapa hal tentang nasib musik tradisional kita yang ingin saya tanyakan ke Bang Zaldi, karna dialah orangnya. Mas Roy bisa bantu saya untuk bagaimana menghubungi dia?
Trima kasih banyak sebelumnya …
Salam kenal juga, Mba Diana. Anda bisa menghubungi saya di e-mail roythaniago@gmail.com. Terima kasih.
mhn ijin ya dishare utk tabloid pusukBuhit, tks
Terima kasih atas izinnya terlebih dahulu. Silakan dipakai untuk keperluan non-komersial. Dan mohon cantumkan nama penulis (Roy Thaniago) dan tautan sumber tulisan. Salam.
Ia bukannya sebagai provokator tetapi seorang motivator musik akademik
Senang bisa bertemu dgn Bang Rizaldi yg menurut saya benar2 seorang provokator sejati dlm dunianya..
Semoga Sang Pemilik Alam masih memberikan beliau kesempatan berbagi pencerahan utk kita semua.. aminn