MEMAMERKAN JENAZAH korban kecelakaan Air Asia QZ8501 secara close up dan terang benderang oleh TV One adalah bentuk kebiadaban media. Percayalah, itu bukan kebiadaban yang pertama. Ia juga tidak akan menjadi yang terakhir kalau tidak ada suatu mekanisme yang menjamin stasiun TV tak akan atau takut mengulanginya.
Pemberitaan model begitu kontan mengundang cacian dari banyak orang, termasuk juga menjadi perhatian banyak media internasional. Reaksi tersebut tentu sangat bisa dipahami. Sebab, menampilkan jenazah dalam situasi dan dengan cara sedemikian merupakan sebuah serangan terhadap kemanusiaan. Di luar itu, beribu kritik juga dialamatkan kepada model wawancara media yang tidak empatik dan pemberitaan bombastis-melodramatis yang diproduksi sejumlah stasiun TV dan media online.
Sebagai regulator penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada TV One, juga kepada Metro TV dan TVRI. Tapi, apakah sanksi dari KPI tersebut dianggap oleh industri TV? Apakah sanksi demi sanksi yang selama ini dikeluarkan menimbulkan efek jera? Melihat kenyataannya selama ini, jawabannya sama sekali tidak. Dan ini juga sekaligus menunjukkan satu masalah, yaitu ketika KPI merasa sudah selesai bekerja dengan memberikan imbauan, peringatan, atau sanksi sementara kesalahan demi kesalahan yang sama terus diulang stasiun TV.
Penguatan KPI dan revolusi mental
Runtuhnya Orde Baru pada 1998 yang memberikan kebebasan kepada media baru dinikmati secara optimal oleh para elit ekonomi dan politik. Situasi ini baru sebatas memberikan ruang yang nyaman bagi penyaluran syahwat ekonomi para pemilik media ketimbang demi menjawab kebutuhan informasi publik. R. Kristiawan (2014) menyebut media sebagai penumpang gelap demokrasi. Rupanya, ada yang luput disiapkan dengan baik ketika kran demokrasi dibuka: hukum.
KPI adalah buah dari hukum tersebut. Sayangnya, ia belumlah buah yang masak. Dalam banyak hal, kewenangannya sangat terbatas. KPI hanya bisa memberikan teguran, padahal jantung penyiaran ada di perizinannya. Maka tak heran ketika banyak stasiun TV yang memandang remeh keberadaan KPI. Walau di sisi lain KPI juga tak memperlihatkan adanya upaya progresif yang dilaukan demi menyiasati keterbatasannya itu. Padahal, di tangan KPI inilah adab publik kita sedang dipertaruhkan.
Maka, jika Presiden Joko Widodo mengusung ide revolusi mental untuk membawa Indonesia berlari, media harus menjadi perhatian yang serius. Sebab, sedikit banyak medialah yang membentuk watak, pandangan, dan mental masyarakat; ia adalah sebuah wahana yang menyusun pemahaman manusia mengenai dunia tempatnya hidup. Dalam konteks ini, televisi adalah aktor paling berpengaruh dengan tingkat penetrasinya di atas 90% (Lim, 2012). Dan penguatan kewenangan KPI adalah ide yang sebenarnya sudah dijanjikan Jokowi dalam Nawa Cita butir ke-9.
Saya mengusulkan dua hal konkret yang bisa dilakukan segera sembari menyiapkan regulasi yang lebih mapan, seperti merevisi UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 pada pasal mengenai KPI.
Pertama, perlu diterbitkannya sebuah aturan yang memberikan kewenangan KPI dalam memberikan dan mencabut izin siaran stasiun TV dan radio. Kementerian Komunikasi dan Informatika yang selama ini memegang perizinan, mesti didorong untuk mendistribusikan otoritasnya tersebut.
Selain untuk memperkuat KPI, hal ini juga demi menggenapi ide frekuensi sebagai sumber daya milik publik. Artinya, karena milik publik, maka otoritas pemberian izin harus berada di tangan publik, bukan pemerintah. Maka otoritas tersebut harus dipegang oleh KPI sebagai lembaga di luar pemerintah yang mewakili publik. Kalau pemerintah yang memegang otoritas, maka izin penyiaran dapat dimaknai sebagai pemberian atau kado dari pemerintah kepada pengaju izin, dan ini dapat ditarik kembali ketika berkonflik kepentingan dengan rezim yang berkuasa (Armando, 2011).
Kedua, perlu direvisinya aturan penyiaran milik KPI (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran – P3SPS), yakni dengan memasukkan dan memberlakukan pasal denda. Denda, menurut pengalaman di beberapa negara, terbukti efektif membuat jera pelaku industri yang bebal. Logika bisnis harus diatasi dengan logika bisnis pula. Mendapatkan keuntungan dengan menghalalkan apapun harus dihentikan dengan cara disiapkannya potensi mengalami kerugian bagi stasiun TV yang nakal.
Lalu, kalau pasal mengenai denda sulit diberlakukan dengan berbagai macam faktor (siapa pengutipnya, bagaimana mengelola uangnya, dan lainnya), hukuman lain bisa jadi alternatif: melarang stasiun TV menerima iklan dalam waktu tertentu, seturut derajat pelanggarannya.
Memang, selama ini pasal mengenai denda sudah termuat dalam P3SPS. Tapi hal itu dilumpuhkan dengan hanya bisa diberlakukan pada dua jenis pelanggaran (iklan rokok dan durasi iklan), dan itu pun tak pernah digunakan, meski terdapatnya jenis pelanggaran tersebut. Kalau revisi UU Penyiaran menguras waktu panjang, maka merevisi P3SPS jauh lebih mudah dan cepat. Apalagi sesuai mandat UU, KPI punya kewenangan dalam menyusun peraturan penyiaran.
Akhirnya, kuatnya regulator akan membuat adanya kepastian hukum. Ia menjadi jaminan yang melindungi beragam kepentingan publik. Regulator yang kuat juga menjadi bentuk penghormatan bagi stasiun dan pekerja TV yang sudah berkarya dengan baik. Begitulah seharusnya hukum didirikan: memberi peluang kemajuan bagi yang benar dengan menindak yang keliru.
Versi lainnya dimuat di Koran Tempo, 3 Februari 2015