Pembacaan Terhadap Artikel Heddy Shri Ahimsa Putra
Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya:
Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis
Koenjtaraningrat, begawan antropologi Indonesia itu, pernah mengeluh. Ia menilai bahwa ahli ilmu sosial di Indonesia sering mengabaikan teori dan sibuk pada aktivitas terapannya. Padahal, menurutnya, ketika berhadapan dengan kegiatan penelitian, tidak mungkin hanya meniru mentah-mentah penelitian dan penerapan yang dilakukan pakar asing, tetapi perlu suatu konsepsi sendiri. Dalam hal ini, perbincangan pada aspek keilmuan atau teori sangat diperlukan.
ADALAH Heddy Shri Ahimsa Putra yang mencoba menjawab atau setidaknya mengurangi keluhan guru besar antropologi Universitas Indonesia itu. Kejeliannya dalam melihat kekosongan atau minimnya perbincangan antropologi budaya dalam tataran paradigma, mendorongnya mengetengahkan wacana ini.
Usaha itu ia tuangkan dalam sebuah laporan penelitian bersifat kepustakaan yang berjudul ‘Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis’ dan dibukukan dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Penyunting: Heddy Shri Ahimsa Putra, 2000) bersama 5 laporan penelitian lainnya.
Dari kelima laporan penelitian lainnya dalam buku ini yang berupa etnografi, artikel Ahimsa-Putra yang lebih berupa etnologi ini tentunya menggembirakan dan menjadi perpaduan komposisi yang diperlukan. Dengan adanya artikel ini, wacana atau pendirian yang dipakai dalam kajian antropologi budaya menjadi mengemuka, yang akhirnya membantu untuk memahami laporan penelitian yang bersifat etnografis pada umumnya. Singkatnya, artikel ini bagaikan sebuah peta medan perang yang melukiskan beberapa fenomena dan strategi yang bisa dan biasa digunakan dalam kajian antropologi budaya.
Seperti yang dituliskan Ahimsa-Putra, bahwa artikel ini akan bicara tentang paradigma atau perspektif yang dimanfaatkan oleh para antropolog dalam menafsirkan, memahami, dan menjelaskan suatu fenomena seni atau kesenian. Bahasan ini akan difokuskan pada ulasan tentang berbagai asumsi, model, dan konsep yang digunakan dalam proses memahami dan menafsirkan tersebut, serta berbagai macam implikasinya. Namun bukan keseluruhan paradigma atau pendekatan yang ada akan dibahas dalam artikel ini, melainkan hanya beberapa di antaranya seperti pendekatan tekstual, kontekstual, dan post-modernistis. Pendekatan tersebut dipilih karena dominan dalam wacana antropologi budaya tentang seni. Hal ini dikarenakan suntikan tenaga dari pandangan post-modernisme yang memberikan pandangan baru para antropolog dalam bekerja.
Dalam masing-masing pendekatan tersebut, Ahimsa-Putra memaparkannya dengan sangat komprehensif, runtut, dan logis. Ia menyertakan data historis mengenai lahirnya pendekatan tersebut, pasang surutnya pendekatan tersebut dalam dunia keilmuan, pandangan-pandangan lain yang mendukung, dan beberapa contoh kajian yang menggunakan pendekatan tersebut. Berikut ini, akan ditampilkan pula pemaparan singkat masing-masing pendekatan
Pendekatan Tekstual
Pendekatan tekstual adalah pendekatan dalam antropologi budaya yang memandang fenomena kesenian sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri. Sebuah seni pertunjukan, misalnya, dianggap sebuah teks yang harus dibaca dan ditafsirkan.
Untuk lebih mudah memahami, Ahimsa-Putra turut menerangkan dua macam paradigma yang biasa mendominasi dalam pendekatan tekstual, yakni hermeneutik (ilmu tafsir) dan strukturalisme dari Claude Levi-Strauss, atau yang biasa dikenal sebagai strukturalisme Prancis, untuk membedakannya dengan strukturalisme dari Radcliffe-Brown.
Hermeneutik, pada dasarnya adalah ilmu membaca dan memaknai simbol. Ilmu ini sudah ada sejak lama, dan diilhami oleh para pendeta Nasrani yang bekerja dalam memahami teks-teks kitab suci, yang maknanya sering tidak jelas sama sekali, penuh teka-teki. Bukan hanya secara makna yang tidak jelas, tapi juga asal usul dan proses penciptaannya. Oleh karena itu, cara yang ditempuh dalam menghadapi ketidakjelasan ini adalah dengan menafsir atau menginterpretasi
Menafsir sering dipukulrata dengan mengira-ngira. Ini ada benarnya juga. Tapi sebenarnya lebih tepat: mengira-ngira yang tidak asal-asalan. Karena pekerjaan menafsir ini perlu diimbangi dengan perangkat konsep, sistem nilai, dan perangkat lainnya yang terkait dan bisa menjadi latar pendukung objek yang ingin ditafsir. Sehingga karenanya, tafsir antar dua orang yang berlatarbelakang berbeda – atau mungkin juga sama – akan membedakan pula hasil tafsirannya.
Dalam kajian simbolik, yakni kajian yang memahami teks sebagai simbol, langkah awal yang ditempuh sebelum menafsir adalah dengan lebih dulu memperhatikan pandangan seniman atau masyarakat pemilik kesenian tersebut. Karena suatu tafsir terhadap simbol-simbol tidak akan lengkap dan mantap tanpa memperhatikan pandangan atau tafsir yang diberikan oleh pemilik atau pembuat simbol itu sendiri.
Sayang, Ahimsa-Putra tidak memberikan contoh konkret mengenai kaijan yang memakai pendekatan ini, dan hanya mengatakan kajian dengan pendekatan ini sudah banyak dilakukan. Padahal dengan contoh yang diberikan, apalagi dengan contoh yang sekonkret dan sedekat mungkin dengan pembaca, proses pemahaman akan jauh lebih kuat.
Sedang pada paradigma strukturalisme, kelahirannya dipicu oleh konsep yang terkandung dalam ilmu lingustik. Bahwa kesenian, layaknya bahasa yang ingin menyampaikan sesuatu lewat dirinya sendiri. Dengan demikian, kesenian itu merupakan bahasa tutur itu sendiri. Dan layaknya bahasa, yang memiliki aturan-aturan kecil atau aspek-aspek di dalamnya, yang dinamakan struktur bahasa – dan karenanya membentuk suatu pemahaman kolektif antar penuturnya – maka kesenian yang dipandang sebagai bahasa ini pun harus dipahami lewat aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang ada. Atau dengan kata lain, dipahami lewat sebuah struktur.
Kalau pada bahasa, strukturnya dibangun lewat beberapa aturan seperti langue-parole atau sintagmatik-paradigmatik, sedang pada seni musik, misalnya, strukturnya dibangun berdasarkan ritme, alur melodi, instrumentasi, atau konsep estetika musik tertentu. Dari memahami struktur inilah, suatu fenomena kesenian dapat dipahami.
Paradigma strukturalisme memang agak sulit dipahami. Sayangnya, hal ini tidak diantisipasi Ahimsa-Putra dengan memberikan contoh kajian yang lebih dekat dan konkret pada pembaca yang datang dari latarbelakang di luar antropologi. Sebagai sebuah saran, salah satu contoh yang cukup tepat dan dekat dengan pembaca adalah dengan membahas lampu lalulintas yang berwarna merah-kuning-hijau tersebut sebagai objek kajiannya. Karena dalam paradigma strukturalisme, pandangan terhadap kebudayaan manusia, yang tertuang dalam kesenian, upacara, atau pola kehidupan sehari-hari, merupakan cerminan perwakilan lahiriah dari struktur pikiran manusia yang mendasarinya. Maka, pemakaian simbol warna dalam lampu lalulintas tersebut dapat dilihat sebagai suatu refleksi dari pola-pola tertentu yang sebelumnya sudah ditetapkan sifatnya dalam pikiran orang.[1] Mungkin lewat contoh semacam ini, dapat menolong pembaca dalam memahami cara pikir strukturalisme yang tidak mudah ini.
Pendekatan Konstekstual
Menurut Ahimsa-Putra, pendekatan kontekstual terhadap fenomena kesenian sudah lama dan jamak dilakukan oleh para antropolog. Hal ini dikarenakan dorongan untuk mendapatkan gambaran atau penjelasan yang menyeluruh dan utuh mengenai sebuah fenomena kesenian. Karena pada dasarnya, pendekatan kontekstual adalah menempatkan sebuah ‘teks’ pada sebuah ‘konteks’ (ruang atau fenomena yang didiami teks tersebut). Ahimsa-Putra menulis:
Melalui perspektif ini kita dapat mengetahui bahwa proses-proses kreatif dalam simbolisasi ide dan perasaan ke dalam berbagai bentuk kesenian ternyata tidak terlepas dari konteks sosial dan budaya tempat si seniman atau individu berada dan dibesarkan.
Hubungan antar teks dan konteks biasanya adalah hubungan sebab-akibat, hubungan fungsional, atau hubungan saling ketergantungan dan mempengaruhi. Singkatnya, sebuah teks akan menjadi ada nilai atau arti bila dikaitkan dengan konteks. Atau dalam bahasa Ahimsa-Putra: “Sebuah kesenian dianggap menjadi ‘hidup’ karena konteksnya.
Untuk itu, sebagai contoh untuk menjelaskan pendekatan kontekstual, Ahimsa-Putra memfokuskannya pada keterkaitan seni dengan 3 macam bidang, yakni politik, pariwisata, dan teknologi. Pada tiap-tiap bidang, Ahimsa-Putra menjelaskannya melalui contoh-contoh yang sudah jadi dan mengaitkannya dengan peristiwa kesenian di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengkontekskan pendekatan kontekstual ini dengan kebutuhan dan keperluan penelitian kesenian di Indonesia.
Pendekatan Post-Modernistis
Virus Post-Modernistis (selanjutnya disebut ‘posmo’) yang awalnya dimulai dari permasalahan bahasa, dalam arti ini adalah seni sastra, ternyata juga merasuk dalam wacana kajian antropologi. Pandangan posmo ini ternyata membawa dampak signifikan terhadap pekerjaan antropolog dalam menulis etnografi. Pandangan posmo telah melahirkan penulisan etnografi yang bersifat eksperimental dan politis.
Diawali oleh pandangan bahasa dari Nietszche, yang mengatakan bahwa bahasa bukanlah alat representasi. Bahwa bahasa sebenarnya berisi dogma-dogma kultural tertentu, dan karenanya bahasa tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan membentuk, mencetak, dan menciptakan ‘kenyataan’. Implikasi radikal karena pandangan ini terhadap penulisan etnografi adalah, dipertanyakannya validitas atau obyektivitas sebuah etnografi. Dengan kata lain, digugatlah apa yang selama ini dinamakan sebagai ‘kebenaran’.
Pandangan lain muncul setelah para antropolog memandang etnografi dari kacamata kritik sastra. Layaknya karya sastra yang bukan hanya menceritakan isi atau merepresentasikan sesuatu, tapi juga mencerminkan siapa penulisny. Etnografi pun dapat dipandang demikian. Bahwa dalam sebuah etnografi, bukan saja representasi suatu kebudayaan yang disajikan, melainkan secara tersirat juga memperlihatkan kepribadian penulisnya, antropolognya. Sehingga karenanya ada yang memandang sebuah etnografi sebagai sebuah kerja ilmiah yang nyeni, atau sebuah karya seni yang ilmiah.
Implikasi dari posmo terhadap kajian antropologi jelas tidak menyentuh bidang analisis atau teori, tapi malah mendekonstruksi makna. Yang akhirnya adalah membuat sebagian antropolog mempertanyakan kembali apa etnografi itu sendiri.
Pandangan yang menyatakan bahwa sebuah etnografi berada dalam medan seni dan ilmu, pada kemudiannya melahirkan etnografi eksperimental, yakni sebuah gaya penulisan etnografi yang baru, yang keluar dari pakem-pakem klasik, dengan mencoba mengembangkan gaya penulisan tersendiri yang khas penulisnya.
Pada akhirnya ada pandangan yang menyatakan bahwa menulis etnografi bukanlah sebuah proses yang netral. Artinya, penulisan etnografi selalu memihak pada sesuatu, dan karenanya ini termasuk tindakan yang politis. Hal ini dikarenakan dalam penulisan etnografi, seorang antropolog melakukan proses seleksi – entah itu bahasa, data, dan juga sudut pandang – dalam bingkai dogma kultural tertentu, yang berdampak menciptakan pandangan masyarakat atas sesuatu yang ditulisnya itu. Karena kesadaran akan nilai politis dalam pekerjaan antropolog ini, maka membawa dampak pada ramainya pengkaji posmo yang selalu memaparkan etnografinya dengan menyertakan konteks, yang biasanya terkait dengan ekonomi-politik.
Itulah butir-butir pikiran Ahimsa-Putra mengenai 3 macam pendekatan atau paradigma yang dipakai dalam kajian antropologi budaya. Hanya dengan memahami paradigma-paradigma tersebut, penelitian-penelitian tentang fenomena kesenian di Indonesia akan lebih mempunyai tempat berpijak yang lebih kokoh. Begitulah kira-kira keyakinan Heddy Shri Ahimsa Putra, guru besar Antropologi Universias Gajah Mada ini. (ROY THANIAGO)
[1] Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, h. 66
two tumbs untuk bang roy, tapi keknya kurang kata pengantarnya tuh,, kyahahahaa :p
bagus bang…anda menyampaikan dengan baik ide saya..thanks banget..teruskan kerja yang seperti itu untuk penulis lain..karena banyak penulis yang mencoba melakukan seperti yang anda lakukan tetapi tidak berhasil..karena mereka tidak menyebut nama penulis yang dibahas tulisannya..saya suka tulisan anda karena terasa begitu fair…saluutt…maju terus bang…!!
mampir di blog-mu malah ketemu antropologi budaya…
wah wah wah… Roy…Roy….