Pada Satu Malam Milik Cauvin

Angin segar di dunia pergitaran klasik kembali berhembus.

Kali ini angin itu ditiupkan oleh Thibault Cauvin…

RATUSAN pasang mata berbinar menghiasi gedung konser Erasmus Huis, Jakarta, pada resital gitaris klasik asal Perancis, Thibault Cauvin. Acara yang diadakan oleh CCF (Centre Culturel Francais) pada hari Jumat, 15 Maret 2007 ini, mendatangkan salah satu gitaris mudanya yang amat berbakat dalam rangkaian turnya di Asia.

Dengan gayanya yang kasual, kemeja putih berlengan panjang dengan motif garis kurus vertikal berwarna merah, dipadu dengan celana panjang kehijauan dengan motif yang senada dengan kemejanya, dan bersepatu pantofel warna merah darah, Cauvin seperti ingin mendobrak kekakuan berpenampilan yang menjadi anutan para gitaris klasik lainnya. Cauvin seperti menawarkan penyajian resital gitar yang tak hanya memanjakan telinga penonton, namun juga indera penglihatan.

Penampilan dibuka dengan membawakan karya Domenico Scarlatti, komposer zaman klasik kelahiran Naples, Italia. Karya 5 Sonatas ini ditranskrip dari harpsikord ke gitar oleh Mauro Giuliani, gitaris yang juga komposer di zaman klasik. Pada bagian pertama yang bertempo cepat, terasa sekali aroma vituositas yang ditampilkan. Cauvin sangat fokus terhadap kebersihan permainan dan kekayaan warna suara yang dihasilkan gitarnya. Namun entah mengapa, sulit sekali menikmatinya dengan duduk tenang. Telinga penonton dipaksa ‘melotot’ karena bagian ini sangat membuat ngos-ngosan. Tak ada frase yang jelas, hingga sulit mengambil nafas dan mengerti kalimat musiknya.

Bagian kedua lebih tenang dan cenderung stabil. Tak ada kesulitan berarti yang dialami Cauvin. Pemenggalan frase lebih jelas dan melodi tinggi maupun rendah dapat dikontrol dengan baik. Namun ketika a tempo, kesan ngos-ngosan di awal kembali hadir. Bagaimana pun juga usaha Cauvin untuk mengolah karakter klasik yang lincah, ringan, dan virtuoso layak dipuji.

Karya Antonio Carlos Jobim, seorang komposer modern Brasil, menjadi nomor kedua yang disajikan Cauvin malam itu. Irama khas samba yang cenderung beritmik sinkopasi menjadi kekuatan karya bertajuk Felicidade ini. Belum lagi alur melodi yang punya ruh jazzy menjadi pemanisnya. Memang sebagai legenda musik bossa-nova, karya-karya Jobim sangat dipengaruhi oleh musik Pixinguinha, Claude Debussy, dan nafas jazz. Di tangan Cauvin, Felicidade menjadi lebih emosional karena pembawaannya yang sangat ekspresif terlukis di wajahnya. Dengan teliti, ia mampu membahasakan dengan cita rasa Brasil tersebut dalam permainannya yang memiliki kualitas warna suara yang sedikit kasar dan tempo yang rubato.

Sebagai penampilan penutup menjelang jeda, 3 Arrangements milik Roland Dyens menjadi sebuah suguhan mengasikkan di malam itu. Karya Dyens, komposer sekaligus gitaris kelahiran Tunisia yang berkarya di Prancis, memang dikenal nakal, kaya refrensi, namun tetap orisinil.. Sebagai komposer modern, di mana seni kontemporer menjadi gaya tersendiri, Dyens berusaha memasukkan unsur a tonal, di mana dalam musiknya sudah tak jelas modalitas yang dipakai. Perubahan ritmik yang mendadak, tempo yang cenderung bebas, serta ‘pemerkosaan’ terhadap tubuh gitar yang semena-mena, menjadi suatu karya yang menarik untuk disimak. Saksikan saja ulah Cauvin yang berulang kali memukul gitarnya – di bagian depan, atas dan samping – untuk memberikan sentuhan ritmik. Bila mampu merasuki, mendengar karya ini serasa mendengar orkestra mini, ada suara instrumen tiup logam yang berat dan galak, juga perkusi yang tak kalah mempesona.

Tak lupa gitaris muda yang banyak memenangkan perlombaan tingkat internasional seperti Masters Guitar Competition San Francisco, Stotsenberg International Guitar Competition Los Angeles, Forum Gitare Wien, Young Guitarist of the Year (Bath, Inggris), ini membawakan karya ayahnya yang juga gitaris dan komposer, yakni Philippe Cauvin untuk mengawali resital di sesi kedua. Karya berjudul Voyage au bod de l’infini ini terdiri dari dua bagian, yaitu Voyage au bord de la neige rose dan A l’infini pour ma mere.

Koyunbaba, sebuah karya mengagumkan milik komposer modern Carlo Domeniconi, yang sudah tak asing di telinga pecinta gitar klasik menjadi nomor penutup pada resital malam itu. Domeniconi sendiri adalah orang Italia yang bermukim di Turki. Di Turki ia mendirikan departemen untuk gitar di sebuah konservatori di Instambul. Lama di Turki, membuatnya menjadi lebur dengan budaya Turki, termasuk musik rakyatnya. Inilah yang melatarbelakangi Domeniconi pada tahun 1985 melahirkan karya Koyunbaba yang menakjubkan. Secara harafiah, Koyunbaba berarti Gembala Sapi. Namun disamping itu banyak sekali makna-makna lain yang terkandung dalam nama tersebut. Ada yang menghubungkannya dengan kemistikan kuburan seorang santo, dan ada juga yang menghubungkan dengan nama sebuah keluarga di Turki bagian Barat Daya.

Domeniconi sendiri dalam karyanya ini ingin bercerita tentang seorang wanita Jerman yang ingin mempertahankan daerahnya supaya tetap alami, tapi terserang kanker di kemudian hari. Interpretasi kedua adalah tentang salah seorang dari tiga anak keluarga Koyunbaba yang tiba-tiba menjual tanah keluarga, namun menggantung dirinya di kemudian hari. Kesan pilu dan mistis memang menjadi kekuatan dari karya ini. Tuning pada gitar pun berbeda dari biasanya. Tanpa ditekan pada frets sekali pun, akor D minor langsung terasa bila senar dipetik. Lalu bagaimana Cauvin
membawakan kesan milik komposer tadi ke penonton yang hadir?

Karya dengan 4 bagian – moderato, mosso, cantabile, presto – ini dibuka dengan sangat misterius oleh Cauvin. Permainan menjadi mendayu-dayu yang diolah dengan tempo bebas, menyihir seisi ruangan untuk dirasuki rasa Turki yang kental. Jari-jari Cauvin dengan leluasanya menari-nari di papan leher gitar. Untuk mengindari kemonotonan, tiap frase dengan melodi serupa yang beruntutan, dibahasakan oleh Cauvin menjadi sebuah dialog tanya jawab. Yang tanya dengan suara lembut nan bulat, dijawab dengan suara garing dan tajam. Namun warna suara dari gitar Cauvin terasa terlalu ceria untuk karya ini. Dibutuhkan warna suara yang lebih gelap dan lirih, sebenarnya.

Memang sulit memainkan karya yang sudah terlalu dikenal banyak orang. Kecenderungan untuk mengekor interpretasi yang sudah ada terjadi juga pada Cauvin. Tak ada sesuatu yang baru ditawarkan olehnya. Di bagian presto, tampak Cauvin kewalahan menghadapi tuntutan karya untuk bermain cepat, namun tetap konstan dan jernih. Suara melodi yang staccato menjadi bias karena suara iringan bas yang terlalu mendominasi.

Sebagai encore, Cauvin kembali membawakan karya lainnya milik sang ayah. Menurut Cauvin, lagu itu dibuat oleh ayahnya untuk dirinya. Karya modern yang dimainkan dengan baik ini menjadi akhir dari satu malam milik gitaris muda yang amat memukau itu. Cauvin bukan saja menempatkan diri sebagai salah satu gitaris klasik papan atas dunia, namun juga dengan ketekunannya pada dunianya, menginspirasikan banyak penonton untuk tetap dinamis seperti gayanya dalam berkesenian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *