Orkestra Itu Menyenangkan!

Apa yang Anda pikirkan dengan kata ‘orkestra’?

BANYAK dari kita pasti mengasosiasikan orkestra sebagai sesuatu yang mewah, prestisius, konsumsi jetset, seni bernilai tinggi, kaku, konservatif, dan lain-lain. Kalau nonton orkestra harus duduk tenang di ruang gelap, tanpa gerak, tanpa suara, kalau bisa tanpa kedip – agar dianggap berbudaya. Duduk pun diatur diri sedemikian anggun, kostum pun harus dipilih teliti, minimal setara dengan pakaian pesta.

Kalau Anda tetap berpikir – atau berandai? – seperti itu, siap-siap untuk merasa keliru bila menyaksikan orkes yang satu ini. Karena, di tangan mereka, persepsi tentang orkes yang selama ini melekat di pikiran dibuat jungkirbalik. Pesannya menjadi begini kira-kira: orkestra itu menyenangkan!

Untuk lebih meyakinkan Anda, selain membaca catatan kecil ini, sebaiknya Anda berada di Balai Sarbini pada 9 Juni 2008 lalu. Di sana, dua kelompok orkes besar melebur menjadi satu, Nusantara Symphony Orchestra (NSO) dan Tokyo City Philharmonic Orchestra (TCPO). Mungkin lewat mereka, Anda paham apa yg dibicarakan pada paragraf di atas.

Malam itu, konser dua kelompok orkes yang sama-sama terkemuka di negaranya masing-masing, Indonesia dan Jepang, mengadakan konser yang dikhususkan bagi pelajar. Maka tak heran, sejak di pelataran gedung wajah-wajah muda menyesaki suasana menjelang pementasan. Kesesakan itu ditambah dengan ikut melubernya penonton berkebangsaan Jepang. Jelas saja, konser ini memang digelar dalam rangka 50 tahun persahabatan Indonesia – Jepang.

Di bawah baton Hikotaro Yazaki, orkestra mengalunkan nomor-nomor karya yang sudah populer, bahkan oleh awam sekalipun. Misalnya saja sebagai nomor pembuka mereka membawakan karya W.A. Mozart (1756-1791) yang berjudul Overture from Operas ‘Le Nozze di Figaro’. Karya yang termasuk dalam jenis opera Buffa, yang menceritakan tentang perseteruan antar rakyat golongan atas dan bawah ini dimainkan dengan amat ringan. Sejak not pertama dibunyikan, kesan melayang milik komposisi jaman Klasik ini sudah terasa. Sapa menyapa antar instrumen terjadi dengan amat rukun.

Symphony No. 5 milik Beethoven (1770-1827) yang sudah dibawakan pada konser NSO 24 Mei lalu, dibawakan kembali, namun dalam kesan yang berbeda. Kali ini tidak seringan dahulu, tapi lebih bertenaga. Tentu saja memang karena jumlah pemain yang lebih banyak. Namun selain itu, ini menandakan bahwa musik tak perlu ditafsir berulang dengan cara yang sama. Musik haruslah dinamis dan terus berkembang jelajah tafsirnya, bahkan bila dimainkan oleh orang yang sama –maksudnya konduktor yang sama. Karya komponis Jerman ini hanya babak pertama yang dimainkan.

Karya dari Leroy Anderson (1908-1975) komponis Amerika menjadi amat menghibur. Ada Typewriter yang mencoba mengolah imitasi suara mesin tik dalam sebuah orkes. Sang solois yang duduk di sebelah Yazaki menggunakan mesin tik sungguhan yang menghasilkan efek ritmis perkusif sepanjang lagu. Seperti mesin tik, suara ketika menggeser kertas dan bunyi bel penanda juga diimitasi oleh perkusi.

Syncopated yang ditulis pada tahun 1945 juga tidak kalah seru dan jenaka. Namun yang membuat semakin cair suasana di Balai Sarbini ada pada lagu Plink Plank Plunk. Yazaki tanpa malu-malu bergoyang pinggung mengikuti irama. Sesekali ia berikan tanda sebelum not up beat masuk sehingga para pemain berbunyi dengan seragam. Suara jenaka instrumen gegek yang di-pizicatto ini makin menarik ketika pemain contrabass memutar-mutarkan instrumen layaknya musisi jazz.

Menambah semaraknya suasana, karya dari komponis muda Selandia Baru, Chris Watson (1976) berjudul Jangeran didaulat untuk dibawakan. Karya ini menjadi menarik, karena selain berdasar komposisi orang Indonesia – melodi ditulis oleh Otto Sidharta – karya ini merupakan simbol pertemuan antar Barat dan Timur. Sekaligus menegaskan hubungan baik dua negara yang amat berbeda secara politik, ekonomi, kepercayaan, juga budaya, tapi mampu melebur harmonis dalam kesenian. Diambil dari bahan asli Indonesia (Bali) kemudian diolah dalam medium yang khas Barat (orkes). Namun ciri keduanya, Barat dan Timur, tetap terasa dalam identitasnya masing-masing.

Sekelompok pemain gamelan pimpinan I Gusti Kompiang Raka bersinergi dengan orkestra membawakan melodi. Kemudian untuk melayani kebutuhan visual, penari Bali, Anak Agung Gede Ariawan, ditampilkan. Lampu merah marun keunguan menyiram tubuh sang penari yang begitu asli membawakan tanpa modifikasi gerak.

Karya-karya dari Peter Ilyich Tchaikovsky, Jean Sibelius, dan Georges Bizet kemudian susul menyusul menambah nikmatnya penonton menyaksikan – atau untuk yang pertama kali berkenalan – dengan orkestra. Yazaki dan pasukan musiknya yang berdinamis – bukan kompromi – dengan publik Indonesia yang agak asing dengan musik Barat ini, dilempari panjangnya tepuk tangan dan elu-eluan dari berbaris-baris kursi. Sehingga Yazaki melempar balik pulalah hadiah encore sebanyak dua buah milik Bizet dan Redetzki March yang terkenal milik Richard Strauss.

Jadi, bagaimana orkestra menurut Anda?

One thought on “Orkestra Itu Menyenangkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *