Orang Gila di Atas Panggung

“Kalau mereka sembuh, kita jadi kehilangan hak untuk disebut waras!”, bela N. Riantiarno ketika dihujani pertanyaan oleh lawan bicaranya, Cornelia Agatha. Dalam dialog tersebut, Nano memerankan Dr. Hopman, sedangkan Dr. Dasilva adalah peran milik Cornelia.

MEREKA berdua bersitegang, adu argumen, mengenai keyakinan mereka masing-masing terhadap masalah kejiwaan pasien-pasien sebuah lembaga syaraf. Dr. Dasilva yang cantik adalah seorang psikiater baru yang datang untuk membantu Dr. Hopman dalam menangani pasien-pasien jiwa yang tak kunjung waras. Tapi sialnya, ternyata paham kedua ahli kejiwaan tersebut bertolakbelakang. Dan inilah salah satu yang menjadi bumbu cerita untuk menghadirkan konflik.

Dalam adegan ‘Kenapa Leonardo?’ yang memuat lakon-lakon kemanusiaan dalam wajah yang lain, narasi singkat di atas ditontonkan begitu alot oleh Teater Koma. Waktu 2 minggu, 11-25 Januari 2008, dipakai dengan amat kompleks oleh para penggiat Teater Koma untuk membangunkan sebuah teks mati, menjadi sebuah miniatur kehidupan yang bernyawa untuk diproyeksikan di atas panggung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Melanjutkan narasi singkat di atas, isi konflik Dr. Hopman dengan Dr. Dasilva adalah mengenai keyakinan kuat Dr. Dasilva, bahwa kesembuhan para pesakitan tersebut dapat dicapai melalui metode psikiatris, bukan dengan usaha medis yang menitikberatkan hanya pada fisiologis pasien. Hal yang terbantah begitu kuat dari Dr. Hopman, kepala lembaga syaraf tersebut. Hingga akhirnya merelakan keyakinan Dr. Hopman yang begitu kuat untuk menjajal metode penyembuhan yang ditawarkan oleh partnernya, Dasilva.

LAKON yang dibuka dengan ‘pameran’ kegilaan masing-masing pasien tersebut, dengan serta merta menyeret para penonton untuk sadar bahwa kegilaan pasien juga bermukim dalam pikiran dan tindakan kita sehari-hari. Adanya Martin (diperankan Budi Ros), tokoh sentral, yang dulunya adalah seorang pengusaha yang kini mengalami amnesia, secara tersirat ingin mengingatkan kita, bahwa kegilaan timbul dari sebuah kesengajaan orang-orang di sekeliling kita. Kiranya tuntutan istri Martin sendirilah yang membuatnya begitu lupa akan dirinya dan dunianya.

Lalu berturut-turut memamerkan kegilaan Bu Risah (Sari Madjid) yang parkinson dan terobsesi untuk mengeksplorasi dialog jenaka antar benda mati, Profesor Karuso (Dudung Hadi) yang hafal segala jenis musik Barat, Pak Ndus (Dorias Pribadi) yang tergila-gila dengan kehidupan angkasa raya dan memiliki indra penciuman amat tajam, Rebeka (Tuti Hartati) yang manja dan sering pingsan, dan terakhir Pak Miring (Joko Yuwono/Adri Prasetyo) yang untuk berdiri tegak harus mengenakan kacamata yang dimodifikasi dengan bandul untuk menyeimbangkannya.

Hingga akhirnya, kegilaan Martin berubah wujud menjadi Leonardo Baru. Sebuah obsesi yang berhasil dipenuhi Dr. Dasilva, yang ternyata memakai Martin sebagi subyek penelitiannya demi mendapatkan gelar PhD. Pada karakter barunya tersebut – yang disebut-sebut sebagai Manusia Renaisans abad 21 – Martin yang mampu menirukan berbagai macam puisi, suara, nyanyian, angka-angka, malah makin kacau dan ‘konslet’. Dan hal ini yang membuat Dr. Dasilva mengalami penyesalan, karena kemampuan Martin dimanfaatkan pihak militer dan politisi untuk kepentingan mereka. Hingga akhirnya berujung pada kesadisan Martin yang menghunuskan pedang ke Dr. Robet (Yulius Buyung).

SEPERTI pementasan-pementasan lain Teater Koma yang berbumbu komedi, pada pementasan yang menginjak produksi ke-112 ini, hal tersebut tidak hilang. Bahkan memberi sentuhan segar yang mengawal lakon kering ini hingga usai. Dan seperti biasa, ketelitian para awak Teater Koma pada hal-hal artistik tetap disajikan dengan amat detil terhadap properti dan seting panggung. Itulah yang nampak begitu nyata pada rak-rak buku yang ditempati dokumen-dokumen. Semua nyata, tanpa mengedepankan semiotik, walau lakon ini sendiri sulit untuk dikategorikan realis murni.

Namun baru kali ini aku merasakan ingin cepat selesai ketika menontonnya pada 12 Januari 2008. Kusaksikan diriku beberapa kali menguap, menata kantuk. Tidak seperti antusiasku pada lakon-lakon Teater Koma yang sebelum-sebelumnya.

Bagiku, lakon yang cukup berat ini dimainkan dengan amat kering dan monoton. Hanya 2 kali seting panggung berubah wajah: seting lembaga syaraf dan seting berasitektur Jepang. Dialog panjang yang mendominasi cerita, semakin membosankan ketika aku disadarkan bahwa pementasan kali ini bisu oleh ilustrasi musik.

Apalagi, plot-plot awal yang dibangun, tidak membingkai alur cerita dengan jelas. Sehingga membingunkan penonton mengenai kisahnya, latarnya, dan sebagainya. Ditambah lagi, buku acara yang memuat sinopsis dibagikan setelah lakon usai. Yang membuat penonton kehilangan pegangan untuk mengenali bentuk lakon.

Beberapa pujian kualamatkan pada peran yang dibawakan Budi Ros, N. Riantiarno, dan Sari Madjid. Mereka membiarkan diri dengan pasrah untuk dirasuki karakter tokoh yang mereka lakoni. Sebuah pencapaian seni lakon yang amat sempurna.

Cornelia Agatha sebenarnya berperan cukup memikat. Namun karakternya yang dilakoninya langsung sirna sekejap ketika kutinggalkan gedung pertunjukkan. Beda dengan ‘arwah’ ketiga aktor/aktris di atas, yang terus ‘hidup’ hingga hari ini. Olah vokal Cornelia juga belum memadai untuk bermain dalam gedung pertunjukkan yang besar.

Seorang teman, yang kebetulan kuliah kedokteran membisikkan bahwa ada istilah-istilah kedokteran yang keliru diartikan. Aku pun merasa janggal ketika Profesor Karuso menyepel istilah musik Fugue dengan ‘fugue’, bukan ‘fyug’. Atau mungkin itu penyebutan dalam bahasa lain, begitu aku berkilah atas kritik sendiri. Mungkin hal ini yang perlu lebih diperhatikan Teater Koma dalam pementasan lainnya. Yakni, pendalaman ilmu pengetahuan yang membumbui cerita. Tapi pada permainan kendo Martin, hal tersebut mengalir tanpa artifisial. Jujur.

Walau bagaimanapun juga, lakon berdurasi kurang lebih 4 jam karya Evald Flisar – seorang dramawan, novelis,cerpenis, esais, dan redaktur jurnal sastra tertua di negaranya, Slovenia – ini, patut mendapat apresiasi yang sepatutnya. Karena dengan konsisten, komitmen, dan ketangguhan yang dibangun serta dipelihara, Teater Koma mampu mendeklarasikan diri sebagai satu-satunya kelompok teater di Indonesia yang beriman mantap. Iman untuk terus percaya, bahwa mereka sedang berjalan, menggurat hidup dalam perjalanan kesenian yang teramat panjang, yang tak satu setan pun tahu. Pun mereka.

Selamat bertigapuluhsatu tahun! Teruslah berkoma, tanpa mengenal titik!

(Dokumentasi foto diambil dari http://www.suarapembaruan.com/News/2008/01/11/Utama/ut05.htm)

One thought on “Orang Gila di Atas Panggung

  1. belum terlalu mengikut perkembangan teater koma seperti lo sih roy. Tapi dari dua pementasan teater koma yang pernah saya tonton. Saya malah sudah lupa yang pertama. Tapi pementasan Kenapa, Leonardo ini justru mengundang rasa kekagumanku pada teater Koma. Bisa2nya tanpa musik mereka membuat penonton bertahan mendengarkan skrip yang begitu berat dan alot. Cara mereka membawakan cerita lewat karakter tokoh memang sudah sangat piawai. Mungkin maksud “iman” yang lo maksud begitu ya? ah, hanya roy yang tahu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *