Ojang

Han

ya buntutnya yang terlihat ketika aku tiba di peron. Ulat raksasa dari besi rongsokan itu berlari menjauh dari pandanganku. Suaranya tertinggal di kedua telingaku yang siap menggerutu.

“YAH…ketinggalan! Lo sih pake kencing segala!”, hardikku pada kawan yang hanya memajang bibirnya yang terkatup melengkung, seakan berbunyi, “Maafin gua deh”. Lutut rasanya malas untuk tetap bertahan menahan berat badan ditambah carrier 80 liter yang nangkring di punggung. Kuincar kursi biru yang kumal dan bopak di sandarannya itu. Lantas kududuki. Kusulut api pada sebatang rokok.

“Kereta ke Rangkasbitung berikutnya 1 jam lagi, Mas”, jawab petugas stasiun tanpa kutanya.

***

Hari itu gerbong sesak dengan lautan manusia berbagai rupa. Membuat kami berdiri bergelantungan, terombangambing dalam laju. Seakan semuanya menghambat kami untuk tualang ke pedalaman desa Kanekes. Pedagang hilir mudik di sepanjang gerbong. Melompat dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Menjajakan dagangan. Melawan hidup.

Berbagai aroma tubuh hadir menyeruak di atas gerbong. Saling tindih mereka. Ada bau manusia pagi. Bau pelajar. Bau pengamen. Bau pengemis. Bau pedagang. Bau preman. Bau pencopet. Dan tentu saja, tak ada bau koruptor di sini. Koruptor enggan menyumbang bau di atas gerbong kereta. Bau mereka bersemayam di gerbong kelaliman.

Lantai kereta entah warnanya apa. Aku seperti tidak bisa lagi membedakan mana warna dasar, mana noda kotoran. Sampah gelas plastik, kulit salak, lumpur, bungkus permen, ludah, dan kulit mangga membanjiri lantai gerbong. Seakan seisi makhluk di dalam gerbong sepakat, kita di dalam tong sampah raksasa.

Jendela banyak yang tidak berkaca. Kalaupun berkaca, selalu tidak utuh. Kalaupun utuh, sudah pasti tidak bening. Dan yang pasti, setiap gerbong tidak ada pintu. Biar angin sejuk menghujan ke dalam gerbong, mungkin begitu pikir pengelola.

Aku dan dua orang kawan saling melempar pandang. Ingin mengeluh, rasanya manja. Ingin marah, nanti dibilang tidak dewasa. Tertawa juga tidak pas. Tersenyum mungkin lebih baik. Walau penuh kebohongan. Dan hati memaki keadaan: kereta api di Indonesia parah!

***

Moncong kereta merapat di peron stasiun Parung Panjang. Aku melihat seorang remaja pria yang tangan kirinya buntung itu ditendang keluar oleh seorang preman.

Gua kan udah bilang, giliran luh nanti!”

“Iya, Bang…ampun Bang…ampun”, anak sebelah tangan itu bergegas kabur sambil meringis. Matanya berair. Siap menangis.

Aku ingat. Itu tukang sapu yang tadi mintaminta padaku. Ada belasan jumlahnya tukang sapu anakanak seperti dia. Mereka hidup dari kereta. Menyapu kolongkolong tempat duduk dengan menggunakan sapu yang gagangnya dipatahkan atau menggunakan tangan kosong. Kemudian menadahkan tangan pada penumpang.

“Berapa stasiun lagi, sih?”, tanyaku pada kawanku yang sedang asik menghirup nikotin.

Tau deh! Tanya orang, gih!”, balasnya malas.

Kemudian kami hanyut dalam kebingungan. Seorang pemuda yang tampaknya penguasa gerbong menangkap bingung yang tersurat di raut kami.

“Mau ke mana, boy?”

“Rangkasbitung, Bang”, sergah temanku cepat. “Masih berapa stasiun, Bang?”.

“Masih jauh. Rangkas paling ujung. Tenang aja, luh!, tukasnya sok jago.

Dan kereta menjerit kencang. Terus merangsek menuju Barat.

***

Banyaknya penumpang yang turun menyisakan beberapa bangku kosong. Dengan lincah kuterkam itu bangku untuk melumat pegal. Seorang pemuda yang sedari tadi memperhatikan kami, ikut meletakkan pantatnya di bangku depanku.

“Mau ke Rangkas ya, Mas?”, ucapnya santun.

“Iya nih”, aku berusaha meramahinya.

“Sama. Saya juga mau ke Rangkas. Mau ke mananya?”, serunya mau tahu.

“Kami bertiga mau main ke Baduy”, kali ini temanku yang menjawab.

“Wah! Kita searah, Mas! Saya tinggal di Ciboleger, perbatasan ke Baduy. Sudah sering ke sana?”.

“Sudah dua kali sama ini”, aku berujar senang karena dapat teman seperjalanan. “Dari stasiun Rangkas naik apa untuk ke sana, ya?”.

“Naik angkot ke terminal. Lalu sambung mobil Colt sampai Ciboleger. Kurang lebih 2 jam”.

Lalu perkenalan berlanjut. Pembicaraan menghangat. Memanjangkan durasinya.

***

Aku menurunkan carrier dari punggung. Begitu pula kedua temanku. Kami memutuskan untuk istirahat dan mengisi perut di sebuah warung di Ciboleger. Sebuah tempat perbatasan menuju desa Kanekes, desa bermukimnya suku Baduy. Batasnya ditandai sebuah tugu saja. Tidak besar. Tapi cukup menyita pandangan.

Ojang, nama pemuda yang kami kenal di kereta tadi sudah turun dari mobil Colt 1 kilometer sebelum kami. Berulang kali dia menawarkan diri untuk singgah dulu di rumahnya. Sekedar istirahat mengisi tenaga untuk ke Baduy esoknya. Tapi kami memutuskan untuk lanjut saja. Tentu dengan terlebih dahulu saling bertukaran nomor ponsel dengannya.

Dari obrolan di kereta, aku tahu Ojang sangat pintar untuk pemuda di suatu daerah terpencil macam Ciboleger. Ia seorang siswa SMU yang duduk di tingkat akhir. Pembicaraan kami yang merambah masalah budaya, ekonomi, sampai teknologi, menambah kekagumanku pada pemuda berperawakan sedang dan berambut klimis ini.

Ojang juga membekali kami dengan pengetahuan seputar Baduy. Dia begitu peduli terhadap kami yang dikenalnya belum sampai setengah hari. Entah mengapa, tibatiba saja ada perasaan begitu intim datang menyergapku. Mendadak aku merasa amat dekat dengan Ojang.

“Hatihati dengan warga Ciboleger yang menawarkan diri untuk mengantar masuk ke Baduy. Mereka sering mengharap sejumlah uang yang tidak kecil dari kalian. Kasihan suku Baduy, mereka dijadikan komoditi”, ungkap Ojang penuh sesal. Katakata ini yang terus membuntutiku dalam tualang. Bayanganku meluncur sekejap ke dalam percakapan di kereta tadi.

***

“Untuk apa kamu ke Jakarta, Jang?”, temanku mulai penasaran.

“Ke Pinangsia”.

“Pinangsia di Glodok?”.

“Iya”.

“Pinangsia? Astaga! Jauh amat mainnya? Untuk apa?”, berondong pertanyaannya penuh penasaran mengepung Ojang.

Tanpa menjawab Ojang menyerut resleting tasnya, dan mengeluarkan sebuah benda di dalam plastik hitam. “Beli ini”, ujarnya lemah, nyaris tak terdengar. Kalah dimakan bisingnya suara kereta.

“HAH!? Jadi kamu menempuh perjalanan satu harian dari Ciboleger ke Pinangsia hanya untuk membeli tinta printer!?”, mendadak aku yang mengantuk menjadi berapiapi.

“Habis di kampung saya ga ada yang jual, Mas”, kalem sekali Ojang membela diri.

Ingin menangis rasanya setelah mendengar cerita Ojang. Dia menghabiskan waktu 10 jam untuk pulang pergi Ciboleger – Pinangsia hanya untuk membeli seuprit tinta printer. Tinta printer yang adalah instrumen penunjang pendidikan ternyata sulit sekali didapatkan di kampung Ojang. Pikiran ini teriris sebilah belati yang penuh darah kebohongan. Aku melihat belati itu digenggam erat oleh para pejabat.

***

Duapuluh menit lagi kereta dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung tiba. Aku dan kedua temanku berdiri gagah di antara puluhan manusia yang berjejeran di peron. Ya, kami bertiga mengambil cuti bersamaan untuk tualang ke desa Kanekes lagi. Tentunya dengan singgah ke rumah Ojang terlebih dahulu. Dan aku sengaja tak memberi tahu terlebih dahulu kepadanya. Ingin memberi kejutan, begitu pikirku.

Di waktu yang sama sekali lain dari kali lalu. Bumi sudah satu kali mengelilingi matahari sejak aku meninggalkan desa Kanekes yang damai. Namun aku masih terbenam dalam pada lumpurlumpur memori tentang Ojang dan kisahnya. Sepanjang putaran matahari itu pulalah hubungan pertemananku dengan Ojang bertambah dekat. Sesekali aku yang mengirim SMS kepadanya. Pada satu kali aku yang menangkapnya mengirim SMS kepadaku. Begitu juga pada temanku yang lain.

Sepanjang perjalanan, aku menanti Ojang dengan tidak sabaran. Di sakuku terselip secarik kertas kumal yang tertulis dengan lengkap alamat rumah Ojang. Sudah lama aku ingin bertemunya. Apalagi sekarang dia sudah lulus SMU dan bekerja mengumpulkan uang. Ya, uangnya tak cukup untuk membiayai keinginannya untuk kuliah jurusan teknologi informasi di Jakarta.

“Ciiiiiiittttt…!!!”, kereta mengerem dengan amat mendadak. Seisi penumpang terjungkal. Para perempuan berteriak histeris. Bayi yang sedang menetek menangis dengan amat hebatnya. Tanganku refleks bergerak, berusaha menggapai sesuatu untuk menahan tubuh. Untungya kereta dapat berhenti darurat dalam keadaan selamat. Tak ada yang terluka karenanya.

Para penumpang kemudian menyeruak lari keluar dari gerbong menuju peron. Tanpa dikomando mata mereka tertuju jauh ke depan. Tercengang.

“Ada kecelakaan!”, teriak seorang bapak berkumis yang menenteng sebuah peti kayu bermuatan anak ayam negeri yang dicat warnawarni.

Dari arah berlawanan, sebuah gerbong kereta terlempar dari kawanan gerbong lainnya. Rodanya keluar dari lintasan rel yang seharusnya. Petugas stasiun sibuk berlarian ke arah gerbong yang terbalik. Paramedik yang hanya berlima dibuat kelimpungan. Ada sekitar limabelas penumpang di dalam gerbong itu. Semuanya tergeletak. Sekarat.

Aku dan kedua temanku lari mendekat. Kami lihat seorang pria muda dibopong dengan tandu. Tangannya memeluk erat beberapa buah map coklat. Tubuhnya kuyup darah. Kemeja kerjanya dibanjiri merah. Dari parasnya aku teringat pada pemuda berani yang menembus lembah ketidakberdayaannya sendiri. Pemuda yang memerdekakan hidupnya dengan tidak berkata kasihan pada dirinya sendiri.

Aku hanya bergeming hingga teriakan temanku membuatku sadar, “Hey!!! Itu Ojang!!!”.

Petojo, 7 Januari 2008

Dimuat di Kompas.com, 1 Juni 2009

2 thoughts on “Ojang

  1. awalnya saya berpikir ini kisah nyata, huhuhu bikin terharu.cerpen yang bagus,salam kenal dari kami 🙂

  2. Wauduhhh, ternyata fiksi yah?…Saya kira kisah nyata. Sangat realistis sekali. What a beautiful story 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *