Di Ukraina, musik seni atau musik serius jauh dari hingarbingar layaknya negara Eropa lainnya. Namun siapa sangka, justru hingarbingar yang tak terjadi di sana malah terjadi di luar Ukraina. Sabtu (19/07) lalu, riuhnya melanda Jakarta.
MASYARAKAT musik klasik mungkin tak bisa percaya begitu saja bila mendengar sebuah resital piano dipadati begitu banyak penonton, yang meluber hingga duduk di tangga panggung, bahkan hingga beberapa penonton duduk berjarak tak lebih dari dua meter di sekeliling piano. Tapi itulah yang memang terjadi di resital seorang pianis muda Ukraina kelahiran 1987, Vitaly Pisarenko.
Tentu bukan sebuah kondisi ideal – juga bukan maunya sang pianis – untuk menyelenggarakan resital dalam kepadatan dan keriuhan seperti itu. Namun kedatangan penonton yang melebihi kapasitas tempat duduk – juga ruang untuk berdiri! – gedung Erasmus Huis, Kuningan, mau tak mau mengharuskan demikian. Toh sampai akhir, resital yang digelar sebagai rangkaian tur pemenang The 8th International Franz Liszt Piano Competition ini tidak membuat Pisarenko gentar. Bahkan sebaliknya, membuat penonton gentar menyaksikan kemampuan bermusiknya.
Sangat menarik bila menyaksikan resital Pisarenko sambil mengetengahkan wacana tentang peta kekuatan musik Ukraina di Eropa. Ternyata, di tengah kepungan negara Eropa lainnya seperti Jerman, Austria, Perancis, Belanda, Polandia, yang langganan mencetak musisi-musisi kaliber dunia, Ukraina mampu menorehkan prestasi dari salah seorang seniman mudanya yang amat berbakat.
Ukraina sendiri memang jauh dari geliat musik seni di kancah internasional. Tak banyak komposer dan musisi kelas dunia yang berasal dari negara ini. Memang tercatat beberapa nama seperti Mykola Lysenko, Kyrylo Stetsenko, Mykola Leontovych, atau Levko Revutsky, sebagai komposer asal Ukraina. Namun tak cukup memperlihatkan kekuatan musik Ukraina di kancah dunia. Para komposer tersebut pun lebih banyak berkarya dalam semangat lokalitas yang mengusung musik tradisi dan bahasa setempat.
Menjadi tak heran bila sejenak kita mundur ke belakang melihat akar budaya musik Ukraina. Di te ngah berjayanya musik Eropa tempo dulu, musik tradisional Ukraina seperti tidak terpengaruh olehnya. Ini terlihat dari karakternya yang menggunakan tangga nada minor pada kebanyakan musik rakyatnya, yang mengindikasikan tidak memikatnya konsep mayor-minor gaya musik Barat (Eropa) pada umumnya bagi mereka. Musik Ukraina lebih banyak dihasilkan dari persilangan bunyi musik Asia dan Eropa yang mereka padukan, yang amat sulit dilagukan dalam aturan musik Barat pada umumya. Persilangan itu mungkin diakibatkan dari letak negara pecahan Uni Soviet yang ada di timur Eropa ini, yang berbatasan langsung dengan Laut Hitam dan dikelilingi negara-negara Eropa timur lainnya seperti Rusia, Hungaria, Belarusia, Polandia, Rumania, dan sebagainya.
Setelah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1991, negara yang pernah bermasalah dalam pemilu presidennya di tahun 2005 sehingga perlu melakukan pemilu ulang ini, sebenarnya punya beberapa tokoh musik lainnya yang bukan keturunan asli Ukraina, tapi pernah berkarya di sana. Salah satunya adalah anak bungsu dari Wolfgang Amadeus Mozart, yakni Franz Xavier Mozart. Lalu tercatat juga nama Isaak Dunayevsky, Rheinhold Gliere, dan Yuli Meitus. Sedang komposer asal Ukraina sendiri seperti Mykola Roslavets, Berezovsky, Vedel, Mykola Fomenko, Titov, Yuri Oliynyk, atau Zenoby Lawryshyn memilih hijrah dan berkarya di negeri lain.
Kehadiran seorang warga Ukraina, Vitaly Pisarenko, di tengah-tengah dunia musik klasik seperti memperlihatkan bahwa sejarah tidak pernah memihak siapa pun. Negara ‘miskin’ musisi dunia seperti Ukraina pun mampu bersaing dengan negara-negara lain yang amat bersejarah dalam bidang musik. Bahkan, kejeniusan Pisarenko bukan saja membuktikan mampu bersaing, tapi juga menjadi yang terbaik dalam ajang kompetisi yang paling bergengsi di dunia ini – selain Chopin Piano Competition dan Mozart Piano Competition.
Pisarenko pada malam itu hadir amat memukau dan mungkin nyaris membuat para penonton kehilangan kata-kata. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sejak awal hingga usai, Pisarenko hanya bertekun di atas tuts pianonya. Nada demi nada ia olah sedemikian rinci dan presisi. Baginya, membagikan pengalaman bermusik yang menakjubkan sudah lebih dari cukup dari pada berkata-kata dalam bahasa verbal.
Setelah beberapa hari sebelumnya tampil di Yogyakarta dan Semarang, ia memulai perkenalannya dengan sebuah nomor milik Franz List (1811-1886) berjudul Valse Impromptu. Sedikit pun ia tak terganggu dengan keadaan resital yang kurang ideal tersebut karena padat penonton. Komposisi berirama waltz ini diluncurkan dari jemarinya dan mengesankan sebuah improvisasi tanpa teks. Sungguh lepas dan ekspresif.
Nomor kedua pun sama memukaunya. Karya berjudul Polonaise No. 2 ini sungguh hidup dibawakan Pisarenko. Polonaise adalah bentuk musik yang berdasar pada irama tari dari Polonia yang banyak berkembang di Prancis. Dalam birama ¾ yang enerjik, karya ini seakan bernuansa tarian yang heroik. Lalu meluncur pulalah nomor-nomor berikutnya yang lain dari Franz Liszt seperti Sonetto 104 del Patrarca, Valse de l’opera Faust de Charles Gonoud, Vallee d’Obermann, dan tentu saja karya Liszt yang monumental, Hungarian Rhapsody No. 2.
Karya-karya Liszt memang sarat dengan virtuositas, akrobatik, tapi juga dalam dan menyentuh. Semasa hidupnya, Liszt memang terkenal dengan permainannya yang virtuoso, namun tak jarang membuat pendengarnya tersedu. Pada Pisarenko, aura Liszt muncul kembali. Pisarenko bukan saja dianugerahi bakat mekanik dan motorik, tapi juga mentalitas dan musikalitas yang luar biasa. Pada karya Vallee d’Obermann atau Hungarian Rhapsody, misalnya, kekuatan Pisarenko yang mampu menselaraskan kemampaun teknik dan rasa amat terlihat.
Karya Franz Schubert (1797-1828) berjudul Standchen juga turut dibawakan dengan amat manis, syahdu, dan menyentuh. Ada kesedihan sekaligus rasa cinta mendalam. Karya yang sebenarnya ditulis untuk vokal ini memberi warna lain pada resital yang dikuasai karya-karya Liszt ini. Ya, itu karena sebagai pemenang pada kompetisi Franz Liszt, sebuah kompetisi tiga tahunan sejak 1986 (100 tahun sejak kematian Lizt), Pisarenko dituntut untuk mampu membawakan karya-karya sang komponis Hungaria yang jadi barometer pianis dunia tersebut.
Kecanggihan Listz dalam berkarya, ternyata mampu merangsang lahirnya sebuah kompetisi piano terbesar yang pernah ada, yang kemudian melahirkan musisi-musisi terbaik macam Vitaly Pisarenko, orang Ukraina, sebuah negeri yang jauh dari hirukpikuk dunia musik seni. Namun, kapan pemenang kompetisi macam ini lahir dari negeri yang juga jauh dari hirukpikuk musik seni seperti Indonesia, mengikuti jejak Wibi Soerjadi, seorang pianis Belanda keturunan Indonesia yang menjadi pemenang ketiga di kompetisi ini pada 1989 silam?
Widi Soerjadi?? Bukannya Wibi Soerjadi???