Menyelamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci

Ilustrasi tumpukan surat kabar

Ancaman atas keberlangsungan bisnis pers di Indonesia terjadi bukan sekadar karena adanya wabah Covid-19. Jauh sebelumnya, peralihan teknologi cetak ke digital telah membuat kemampuan ekonomi banyak perusahaan pers menjadi oleng, dan tak sedikit pula yang akhirnya berhenti terbit.

Ini tentu bukan problem di Indonesia saja, tapi juga di negara lain. Selain karena kegagapan banyak perusahaan pers beradaptasi dalam ekosistem digital, dominasi Google dan Facebook atas perolehan kue iklan digital juga dianggap menjadi penyebab menurunnya pendapatan bisnis media. Karena itu, harapan agar pemerintah memberikan insentif ekonomi bagi bisnis media sangat bisa dimengerti.

Beberapa waktu lalu Dewan Pers bersama Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media mengajukan tujuh bentuk insentif demi menolong keberlangsungan bisnis media di tengah wabah Covid-19. Namun, visi dari permintaan insentif tersebut sifatnya jangka pendek, seolah penyelamatan bisnisnyalah yang menjadi tujuan, bukan jurnalisme itu sendiri—meski tentu dalam kondisi sekarang hal ini bisa dipahami.

Jurnalisme memang perlu diselamatkan, namun dengan pendekatan yang lebih visioner. Dan itu tidak bisa menggunakan sekoci berupa insentif jangka pendek.

Mengapa menyelamatkan jurnalisme?

Beberapa orang barangkali meyakini bisnis jurnalisme cukup dikelola dalam logika pasar. Artinya, jurnalisme akan bertahan dan tumbuh kalau pasar menghendaki, atau stagnan dan mati kalau pasar tak berselera lagi. Cara pikir demikian tidak melihat posisi jurnalisme sebagai barang publik (public goods).

Jurnalisme perlu dilihat sebagai barang publik karena perannya vital dan belum tergantikan bagi demokrasi. Ketika jurnalisme lenyap, demokrasi berjalan dalam gelap. Keadaan ini membuat kekuasaan tak bisa diakses dan diperiksa, sebagaimana hal itu biasa diperankan oleh jurnalisme. Tanpa pengawasan, kekuasaan (ekonomi, politik, sosial, atau budaya) bisa sewenang-wenang. Kerja jurnalismelah yang memastikan tiap warga mendapat asupan informasi yang memadai agar bisa berpartisipasi menyuarakan penyimpangan kekuasaan, dan ini dibutuhkan bagi demokrasi.

Dalam konteks itulah jurnalisme perlu dilihat sebagai barang publik yang sebaiknya tidak dikelola dalam logika pasar. Keberadaannya dibutuhkan semua orang—terlepas orang mau menggunakannya atau tidak. Seperti barang publik lainnya yang ketersediaannya perlu terus dijamin, kelangsungan jurnalisme juga perlu dijamin karena ia belum bisa digantikan dengan kerja-kerja penyuplai informasi lainnya.

Sebuah artikel di The New Yorker memberi gambaran tentang hal tersebut. Artikel berjudul “What Happens When The News Is Gone” itu menggambarkan situasi di Pollocksville, kota kecil di North Carolina, Amerika Serikat (AS), ketika surat kabar lokal di sana berhenti terbit. Salah dua dampaknya adalah ketidakmampuan warga untuk mengantisipasi bencana banjir dan ketidakmampuan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah kota. “Bagaimana mau bersuara kalau saya tidak tahu apa-apa?” kata seorang warga.

Cerita barusan memperlihatkan relevansi jurnalisme buat publik, mulai dari melayani kebutuhan praktis dalam keseharian warga hingga demi merawat demokrasi. Jurnalisme yang terancam mati, karenanya, perlu diselamatkan. Dan negara perlu campur tangan menyelamatkan jurnalisme.

Negara dituntut punya peran karena negara punya kepentingan dan kewajiban pada sehatnya demokrasi dan tersedianya barang publik. Negara perlu menjamin ekosistem yang membuat barang publik seperti jurnalisme bisa tetap ada dan relevan.

Pembiayaan pers yang disokong negara bukanlah hal baru. Model pembiayaan TVRI, RRI, atau BBC di Inggris adalah contohnya. Tentu model ini tidak sempurna dan karenanya butuh disempurnakan. Namun, model pembiayaan publik semacam ini membuat jurnalisme bisa dikelola bukan sebagai komoditas semata, melainkan sebagai barang publik. Karena itu, yang kini diperlukan adalah imajinasi yang melampaui model pembiayaan jurnalisme komersial.

Bagaimana menyelamatkan jurnalisme?

Dengan melihat pengalaman di negara-negara lain, tulisan ini mengajukan beberapa gagasan yang bisa menjadi dasar bagaimana negara bisa membantu jurnalisme. Tentu, gagasan dalam tulisan ini butuh diperkaya oleh pendapat tambahan.

Pertama, perusahaan pers yang ingin dibantu perlu mengubah entitasnya dari yang berorientasi laba menjadi nirlaba. Status nirlaba tentu tidak berarti membuat perusahaan pers tidak boleh mencari pendapatan. Perbedaannya ialah, pendapatannya itu utamanya harus dipakai untuk mengongkosi kerja jurnalisme, bukan dipakai untuk memperkaya pemilik perusahaan semata.

The Salt Lake Tribun, harian di Utah (AS) melakukan hal ini pada 2019. Status barunya ini kemudian membuat Tribun bisa menerima donasi dari pembayar pajak. Apalagi, di AS ada aturan di mana pembayar pajak akan mendapatkan keringanan kalau memberi sumbangan pada badan-badan nirlaba.

Kedua, perusahaan pers yang ingin mendapat bantuan perlu mengubah struktur kepemilikan, tidak boleh ada kepemilikan tunggal atau saham mayoritas. Struktur kepemilikan barunya, misalnya, bisa melibatkan unsur serikat buruh media dan pembaca. Ini dilakukan, selain sebagai syarat pengelolaan barang publik, juga untuk menjamin demokratisasi di dalam tubuh organisasi media sendiri.

Di Ohio (AS), ada majalah seni dan budaya bernama The Devil Strip yang pada 2019 struktur kepemilikannya berubah menjadi kepemilikan yang berbasis komunitas. Warga Ohio yang merasa kebutuhan informasinya dipenuhi oleh media ini bisa berkontribusi dengan berdonasi. Dengan berdonasi, maka pembaca menjadi bagian dari struktur kepemilikan The Devil Strip dan mereka diberi peran dalam menentukan editorial majalah. Model kepemilikan semacam ini selain membantu nafas media malah menghasilkan bonus: dampak pada tingkat partisipasi warga.

Ketiga, perlu didirikannya badan independen yang mengelola dana bagi jurnalisme. Badan ini perlu melibatkan publik yang beragam, terutama dari kelompok marjinal, sebagai dewan pengawas. Selain untuk menjamin ketepatan dan keadilan penentuan distribusi bantuan, cara ini juga untuk mengatasi independensi media terhadap pemerintah. Lewat skema ini, dana bukan diberikan oleh pemerintah, sehingga media penerima dana tidak perlu mengurangi sikap kritisnya demi mendapat bantuan.

Finlandia memiliki lembaga semacam ini, yang tugasnya mengelola pajak publik untuk kemudian didistribusikan kepada media publik mereka bernama Yle. Di New Jersey (AS) ada Civic Information Consortium yang pada 2018 menyiapkan dana 2 juta dolar demi memastikan warga New Jersey mendapatkan informasi bermutu tentang komunitas mereka. Di Kanada ada Local Journalism Initiative—meski lembaga ini dikritik karena bantuan lebih banyak diberikan kepada perusahaan media besar.

Keempat, bantuan dari negara tak harus selalu berupa uang tunai. Memberi insentif pengurangan pajak bagi individu wartawan seperti di Prancis atau menyediakan dana hibah bagi pelatihan wartawan seperti di Austria, bisa menjadi contoh. Poin penting di sini adalah perlunya negara menjamin adanya ekosistem yang bisa merawat keberlangsungan bisnis pers yang sehat dan bermutu. Karenanya, bentuk bantuan negara bisa juga berupa jaminan kesejahteraan wartawan, pendidikan publik mengenai kerja pers, atau mengoreksi dominasi Google dan Facebook serta sentralisasi kepemilikan media.

Tantangan di Indonesia

Kemudian, tantangan apa yang perlu dipertimbangkan kalau gagasan ini hendak dijalankan?

Pertama, saat ini belum ada data komprehensif yang bisa digunakan untuk memetakan dan memahami bisnis media di Indonesia. Data ini diperlukan untuk bisa menentukan perusahaan media mana yang perlu lebih mendapat bantuan, metode apa yang terbaik dalam membantu, dan lain sebagainya.

Kedua, perlu ada perbaikan profesionalisme kerja jurnalisme, terutama jurnalisme daring yang mutunya sering dikeluhkan. Bagaimana publik mau mendukung pers kalau bisnisnya ini tidak berorientasi melayani warga dengan menyediakan informasi bermutu yang mengemansipasi posisi warga?

Ketiga, adanya dominasi perusahaan media besar di Jakarta yang lebih berpotensial mendapatkan keistimewaan untuk mengakses bantuan. Hal ini juga terkait dengan konglomerasi media yang praktiknya sudah harus dikoreksi segera.

Keempat, adanya kecenderungan (pejabat) pemerintah yang kerap berpikir bahwa lembaga atau individu yang dibiayai negara harus memiliki posisi politik yang sama dengan pemerintah. Mental paternalistik semacam ini kerap tergambar misalnya lewat ungkapan pejabat publik yang ingin mengontrol individu penerima beasiswa negara yang punya pandangan berbeda dengan pemerintah.

Jurnalisme, sekali lagi, perlu diselamatkan. Kali ini barangkali ia cukup diselamatkan dengan menggunakan sekoci darurat. Tapi setelah wabah ini berakhir, penyelamatan atasnya membutuhkan pertolongan lebih dari itu.

Dimuat di Kompas, 8 Juni 2020

 


Photo by AbsolutVision on Unsplash

One thought on “Menyelamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *