SEBUAH OPINI oleh Tri Satya Putri Naipospos di KOMPAS edisi 13 Juni lalu, “Kekerasan pada Ternak”, menunjukkan bahwa memang ada soal tentang bagaimana hewan diperlakukan di republik ini.
Naipospos menulis, dalam hal kekerasan terhadap hewan, Indonesia tak mematuhi kaidah kesejahteraan hewan internasional. Ke depan, Indonesia tetap jadi sasaran kritik dunia internasional mengenai isu penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap hewan.
Televisi sebagai media yang berdaya jangkau luas dan berdaya bujuk jitu, termasuk pihak yang perlu dilibatkan dalam membangun pandangan masyarakat, terutama anak-anak, dalam perlakuannya terhadap hewan.
Beberapa tayangan yang melibatkan hewan dalam materi siarnya adalah Petualangan Panji, Gadis Petualang, Deny Manusia Ikan (ketiganya disiarkan Global TV); Dunia Air, Mancing Mania, Asal Usul Fauna (ketiganya disiarkan Trans 7), Berburu (Trans TV), dan Mata Pancing (MNC TV). Dari judul-judul tersebut, terciri dua pendekatan yang dipakai: (1) tayangan yang melibatkan hewan untuk tujuan pendidikan dan (2) tayangan yang melibatkan hewan sebagai ajang pemuas nafsu sesaat.
Pendekatan pertama jelas, bahwa dengan lebih mengenal makhluk hidup lain, penonton akan mengalami proses pembelajaran, mulai dari aspek ilmiah sampai religiositas. Pendekatan kedua pun sama jelasnya lewat aktivitas mempermainkan nyawa hewan demi kesenangan. Tayangan semacam ini seperti ingin memberikan pernyataan bahwa manusia pusat kehidupan ini.
Mancing Mania, Berburu, dan Petualangan Panji adalah jenis tayangan yang menganut pendekatan kedua. Judul pertama adalah tayangan yang menampilkan pengalaman orang memancing ikan lengkap dengan ritualnya: pemancing “bertarung” dengan ikan buruannya, mengangkat buruan ke atas kapal (kadang dengan ditombak), berpose gagah dengan buruannya untuk difoto, kemudian melempar kembali buruan ke air. Soal kelangsungan hidup selanjutnya ikan buruan tersebut? Itu tampaknya urusan yang tak terlalu penting.
Senada dengan itu, Berburu adalah tayangan yang memperlihatkan kegagahan—juga keangkuhan—manusia atas kuasanya terhadap makhluk hidup. Muatannya berupa aksi perburuan sekelompok orang terhadap hewan-hewan yang dianggap “eksotis”.
Salah satu episodenya, misalnya, mengusung misi berburu satu spesies babi hutan tertentu di suatu daerah. Tim menyusuri hutan dalam gelapnya malam. Seketika melihat seekor babi, mereka mengejarnya kemudian menembaknya. Babi itu terkapar. Dan salah seorang berkabar kepada penonton: “Pemirsa, ternyata ini bukan jenis babi yang kami cari. Perburuan akan kami lanjutkan.”
Anda ingin melihat aksi seseorang yang dengan sengaja mengusik habitat reptil? Maka tengoklah Petualangan Panji. Pemuda ini menyusuri hutan, gunung, sungai, bukit, dan lembah dengan tujuan mencari ular atau buaya, meringkusnya, dan melepaskannya kembali. Dalam tayangan ini kita “diajari”: ternyata alam bebas itu mengancam manusia dan hewan bernaluri untuk mendekati manusia, bukan menjauhi.
Lalu, apakah tayangan semacam ini berpotensi memberikan pemahaman yang keliru tentang alam? Anda bisa menjawabnya. Dan apakah hewan yang ada itu bagian dari properti atau bukan, pihak Global TV yang bisa menjawabnya.
Medium Televisi Sebagai Konteks
Perlakuan kekerasan terhadap hewan memang bukan sesuatu yang asing dan tabu di negara ini. Kita mengenal banyak kebudayaan di Nusantara yang melibatkan hewan dalam aktivitasnya. Adu domba di Garut, karapan sapi di Madura, adu ayam di Bali, dan di banyak tempat lain ada adu anjing dengan babi hutan, pacuan kuda, adu jangkrik, adu cupang, dan lain-lain.
Memang harus diakui, beberapa di antaranya menjadi arena kebringasan manusia, seperti judi dan sadisme. Tapi beberapa di antaranya, berpraktik di dalam konteks sosio-kultural masyarakat pendukungnya. Ada alasan substansif beraspek spiritual di dalam praktiknya. Dalam konteks ini, hewan bukan obyek dengan status sebagai benda kepemilikan. Bahkan, beberapa hewan punya posisi sosial tertentu sehingga mendapat perlakuan istimewa.
Namun sangat berbeda praktik demikian di dalam televisi, sebuah medium tanpa bingkai yang dengan wajah “ramahnya” hadir sampai ke ruang paling pribadi sekalipun. Tayangan hewan seperti ketiga contoh di atas, selain karena hanya berujung pada wujud naluri kemanusiaan yang dangkal, juga gagal memahami televisi sebagai medium penyampai pesannya.
Pertama, berbeda dengan kebudayaan tradisi yang khalayaknya terbatas, televisi justru bersiar dengan batasan yang tidak terukur siapa khalayaknya. Apakah anak-anak dan orang dengan kepekaan kekerasan tertentu berpotensi jadi penonton tayangan semacam itu? Tentu hak kelompok penonton macam ini harus dilindungi.
Kedua, televisi adalah media yang dalam siarannya meminjam frekuensi publik. Frekuensi ini dipinjamkan sementara oleh negara dengan asumsi lembaga penyiaran menggunakan haknya ini untuk tujuan kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya.
Dalam stasiun televisi swasta yang bersiaran nasional, yang melangkahi batas wilayah geokultural yang beragam, perspektif mana yang dipakai? Bukankah tingkat kepekaan terhadap kekerasan hewan di suatu budaya akan berbeda di lain budaya? Apakah perspektif di lain budaya boleh dibaikan, padahal frekuensi ini turut dimiliki oleh publik selain Jakarta?
Maka, sesekali mari ajukan pertanyaan berikut kepada tayangan semacam ini: Mentalitas masyarakat (terutama anak-anak) macam apa yang hendak dibentuk? Seberapa jauh anak-anak cukup mampu untuk tak menirunya? Apakah pembiasaan terhadap kekerasan, sadisme, dan darah berkontribusi terhadap maraknya aksi kekerasan manusia secara horizontal ataupun vertikal? Dan, bagaimana dengan pemenuhan kaidah internasional tentang kesejahteraan hewan?
Ah, untuk pertanyaan terakhir lebih baik dibatalkan saja.
Dimuat di Kompas. 16 Juli 2011
“Naipospos menulis, dalam hal kekerasan terhadap hewan, Indonesia tak mematuhi kaidah kesejahteraan hewan internasional. Ke depan, Indonesia tetap jadi sasaran kritik dunia internasional mengenai isu penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap hewan.”
Ternyata Rebublik ini tak hanya terkenal dgn anarki terhadap manusia, juga semakin mahir anarki terhadap hewan. Saluuuttt…
“…dlm hal kekerasan thd hewan, Indonesia tak mematuhi kaidah kesejahteraan hewan internasional. Ke depan, Indonesia tetap jadi sasaran kritik dunia internasional mengenai isu pnyiksaan & prlakuan semena-mena thd hewan.”
Trnyata Rebublik ini tak hnya terkenal dgn tindakn anarki thd manusia, kini juga semakin mahir brtindak anarki thd hewan. Saluuuttt…
awalnya sy jg mrs suka tanyangan tentang flora n fauna.. namun ktk tayangan yg disuguhkan memperlihatkan perlakuan manusia terhadap makluk lain hingga makhluk tersebut meregang nyawa.. tontonan itu menadi sgt menyeramkan..
bener bgt.. jd kelihatan sadis..