Malam itu di segala sudut dipadati manusia. Lampu kelap-kelip. Suara dari panggung musik di 23/9 Park sangat bertenaga sampai di telinga. Sisa-sisa perayaan malam tahun baru masih terlihat dengan meriah. Wajar, sekarang tanggal 1 Januari 2010.
DALAM suasana seperti itulah saya sedang berdiri hendak menyeberang di jalan Pham Ngu Lao, Ho Chi Minh, Vietnam. Tapi baru selangkah kaki turun dari trotoar, mendadak ada perasaan sesal mengepung. Pasalnya, saya terlalu sering mengumpat kala berjalanraya di Jakarta, mengira hanya di Jakarta saya temui prilaku ganjil pengendaranya.
Di Ho Chi Minh, lebih baik simpan energi untuk mengumpat. Karena selain tidak ada yang mengerti umpatan Nusantara, jalanan di sini tampaknya sudah kebal umpatan. Mobil, bis, taksi, dan sepeda motor berlarian tanpa kasihan pada pejalan kaki. Mereka banting setir kanan-kiri dan menyemprot klakson dengan mimik tanpa dosa. Namun ada yang berbeda antara klakson di Jakarta dengan di Ho Chi Minh. Di Jakarta, klakson bernada angkuh, marah, dan stres. Sedang di Ho Chi Minh, klakson lebih dimaknai sebagai pemberitahuan, “Hei awas, saya di sini!” Satu lagi, usia bunyi klakson di Ho Chi Minh lebih panjang, dari subuh hingga tengah malam. Begitulah Ho Chi Minh sebagai sebuah kota mengemukakan dirinya.
***
SAYA tidak sendiri. Ada dua teman dari Jakarta yang turut serta dalam perjalanan ini. Kami bermalam di Pham Ngu Lao, sebuah daerah yang berada di Distrik 1. Kawasan ini banyak dijejali turis beransel dengan dana minim, persis jalan Jaksa di Jakarta Pusat. Hanya saja, Pham Ngu Lao jauh lebih besar, hidup, dan ramai.
Di kawasan ini, berjejer begitu banyak penginapan, kafe, restoran, pedagang buku, kios penyewaan sepeda motor, biro perjalanan, kios buah, salon, toko sovenir, hingga pedagang kaki lima dengan segala macam varian dagangan. Pilihan kelasnya pun beragam, dari kelas atas sampai kaki lima. Ada penginapan cukup mewah dan berpendingin ruangan, namun ada juga penginapan berkipasangin berupa rumah tinggal yang berada di gang kecil.
Kami bermalam di dua tempat yang berbeda. Pertama di Me, Them, House, Bed, and Breakfast Guest House yang berada persis di jalan Pham Ngu Lao yang bersebrangan dengan 23/9 Park – sebuah taman besar yang indah dan terawat, yang berfungsi benar sebagai ruang publik bagi warganya untuk rekreasi, jalan santai, berolahraga, pelaksanaan pentas seni, sampai pacaran.
Di penginapan ini, per kepala dikenakan tarif $7 per malam. Kamarnya (dormitory) berpenyejuk udara berisi tiga ranjang dua tingkat. Kami berbagi ruang dengan seorang perempuan muda dari California, pemuda Korea, dan karyawan muda asal Prancis. Selain fasilitas seperti kulkas, kamar mandi, lemari, dan televisi, di pengiapan ini tiap pagi ada jatah sarapan dengan beberapa menu yang bisa dipilih.
Bui Vien adalah jalan tempat kami menginap pada malam yang lain. Tarifnya lebih murah, US$4 per orang per malam. Kamarnya untuk tiga orang, sehingga kami tidak perlu berbagi lagi dengan orang lain. Hanya saja, interior dan fasilitasnya tidak sebaik penginapan sebelumnya. Kami juga tidak mendapat sarapan di penginapan yang pintu pagar gesernya sudah dikunci pada tengah malam ini – penjaganya tidur di ruangan resepsionis. Kalau rasa lapar menyerang, dengan sedikit ketegaan kami terpaksa membangunkan si penjaga.
Di kawasan Pham Ngu Lao, bukan saja bangunan, jenis manusianya pun beragam. Ada lelaki tukang pijat keliling yang bersepeda sambil membunyikan “crek, crek, crek”. Ada penjaja juhi bakar bersepeda. Ada germo yang rajin menyapa menawarkan perempuan. Kalau ditolak, ia beralih menawarkan ganja. Ada penjaja keliling lain seperti tukang koran, tukang baju, tukang makanan kecil, sampai tukang cindera mata. Ada tukang becak yang mangkal di beberapa titik. Ada tukang tambal ban, pengemis, sampai penyandang cacat atau para jompo penjual lotere. Ada juga wanita dan waria penjaja seks yang jemput bola menggunakan sepeda motor.
Ada yang berbeda dan menarik dari tukang ojek di sini. Selain aktif menyapa menawarkan jasa, mereka turut membawa perangkat promosi, seperti album foto berisi lokasi-lokasi wisata, foto para pelanggannya yang kebanyakan bule, sampai testimoni tulisan tangan dari pelanggannya untuk meyakinkan calon pemakai jasanya. Semua perangkat itu mereka bawa di dalam tas atau di bagasi bawah jok sepeda motor.
Karena bertiga, kami memakai strategi lain: satu orang ikut si tukang ojek, sedang dua orang lainnya menyewa sepeda motor. Untuk penyewaan sepeda motor sehari penuh, kami dikenai biaya 120 ribu Dong (sekitar Rp 70 ribu). Dan untuk jasa ojek mengantar ke beberapa lokasi, tiap-tiap kami dikutip $5.
Katedral Saigon Notre-Dame Basilica, sebuah gereja Katolik peninggalan Prancis, adalah lokasi kedua yang diantar Cuong, si tukang ojek, setelah kami mampir sebentar melihat Sungai Saigon, yang airnya keruh dan dijadikan sarana transportasi air.
Notre-Dame merupakan bangunan bergaya neo-Romanesque yang didirikan pada akhir abad ke-19. Temboknya yang tersusun dari batu bata merah, langsung berhadapan dengan jalan raya, persis seperti bangunan-bangunan tua di Kota Tua, Jakarta Barat. Di depannya, berdiri sebuah patung Bunda Maria yang dikelilingi taman kecil yang asri dan diramaikan burung-burung merpati yang sesekali bertengger di atas kepala Sang Bunda. Sayang, ketika kami berkunjung, gereja yang juga memiliki layanan misa berbahasa Inggris ini sedang tidak beroperasi, sehingga kami hanya cukup puas mengaguminya dari luar.
Namun tak jauh dari Notre-Dame, hanya sepelemparan batu, berdiri dengan gagah sebuah Kantor Pos (Bưu điện thành phố) dengan bergaya gothic. Arsiteknya adalah Gustave Eiffel, yang juga mengarsiteki menara Eiffel di Paris. Pemerintah setempat tampaknya fasih betul menghargai sejarah, sambil memaksimalkan fungsi kantor pos sebagai salah satu tujuan wisata yang menarik dan berkesan. Karena selain bebas diseliweri para wisatawan – padahal aktivitas kantor pos sedang berlangsung – terdapat toko cindera mata dan foto Ho Chi Minh, Bapak Republik Vietnam, berukuran besar.
Perjanjian dengan Cuong, bahwa kami akan diantar sampai jam lima atau enam sore hari. Maka, masih tersisa waktu untuknya mengantar kami ke beberapa lokasi lain seperti War Remnant Museum (Museum Perang), Pasar Cho Binh Tay di daerah pecinan Cholon, dan Klenteng Tuệ Thành.
War Remnant Museum padat sekali ketika kami kunjungi. Di halamannya dijejer kendaraan-kendaraan perang, dari tank, helikopter, pesawat tempur, sampai yang berfungsi sebagai senjata pembunuh massal. Ini adalah museum yang mengambil sudut pandang Vietnam Utara dalam mengisahkan perang Vietnam melawan Amerika. Pengunjung mana pun pasti menaruh simpati kepada Vietnam. Bahkan saya sempat melihat seorang pengunjung bule yang geleng-geleng dan mengutuk Amerika.
Bagaimana tidak, di dalamnya dihadirkan foto-foto dan gambar mengenai kekejaman serdadu Amerika. Segala bentuk penyiksaan berikut peralatannya hadir sebagai koleksi museum. Yang paling mengerikan, di salah satu tembok, dijejerkan foto wajah korban perang. Ada yang mukanya rusak, organ tubuhnya hancur, dan segala kondisi mengerikan lainnya. Dan kalau Anda ada bersama kami di Tiger Cages, bangunan bekas penjara yang terpisah dari bangunan utama, kita pasti sama-sama meyakini kalau perang bukanlah sebuah ide yang baik. “An eye for an eye will make us all blind,” kata Mahatma Gandhi.
Akhirnya Cuong mengakhiri jasanya dengan meninggalkan kami di sebuah kedai makan nasi Hainam yang menjadi favorit warga di sana. Perut terisi, tapi kaki sudah kempis. Peduli setan! Kami lanjutkan berjalan kaki sekitar 3 kilometer untuk sengaja menyambangi Golden Dragon Water Puppet Theatre di Labour Cultural House di Jalan Nguyen Thi Minh Khai, Distrik 1. Ada pertunjukan tradisional wayang air digelar tiap malam di sana dengan harga tiket 70 ribu Dong per kepala (sekitar Rp. 50 ribu).
Pertunjukan ini dimainkan di panggung yang berupa sebuah kolam. Latarnya berupa bangunan kerajaan dengan diiringi ansambel musik tradisional Vietnam di sisi panggung. Boneka-boneka yang dikendalikan oleh beberapa orang dalang di balik panggung ini mengolah air menjadi medium pentas yang punya nilai artistik tersendiri. Air membentuk bagaimana wayang tersebut ditampilkan dalam gestur dan profil yang khas. Walau menggunakan bahasa Vietnam, pertunjukan ini cukup merepresentasikan potret kehidupan budaya dan sejarah Vietnam.
Ada banyak yang didapat dari perjalanan hari ini, bahwa kesemua lokasi wisata di Ho Chi Minh menyajikan data sejarah dan budaya yang membentuk Vietnam sebagai sebuah bangsa. Juga kemegahan, keterawatan, dan profesionalisme yang ada seperti menyentakkan saya bahwa negara ini baru saja porak poranda akibat perang dengan Amerika di tahun 1975. Dan hanya dalam 35 tahun, mereka membangun negaranya kembali dengan menakjubkan. Maka tak heran, negara sosialis ini masuk dalam grup ekonomi Next Eleven dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Asia Tenggara.
***
KAKI dan mata saya terasa sangat akrab dengan kota ini pada kedatangan kedua saya di awal Juni tahun ini, tepatsetengah tahun setelah kedatangan pertama kali. Bau kota ini masih sama. Pham Ngu Lao pun masih sama, masih ramai dengan wisatawan yang kebanyakan para bule. Tapi entah mengapa, keramaian dan kegempitaan wisata di sini malah membuat saya merenung.
Dalam setengah tahun saja, begitu banyak perubahan di wilayah ini. Usaha baru bermunculan. Kedai makan bercitra eksklusif menjadi semakin ramai, meminggirkan mereka yang selama ini hidup di tepian. Pub dan diskotik juga bertambah. Begitupun lokasi mangkal para pekerja seks. Sedang warganya mengorbankan keluarganya dengan menghilangkan ruang privat dalam rumah demi dijadikan penginapan. Inikah ekses negatif yang dihasilkan turisme?
Negara mengeruk keuntungan besar dengan mengorbankan suatu kelompok masyarakat. Dan masyarakat di kawasan turisme, bak ayam potong yang hidupnya hanya dipersembahkan bagi keriangan manusia lain, khususnya manusia dari barat sana, yang bersikap serasa memiliki seluruh dunia dengan tidak mengindahkan hal-hal etis yang berlaku di suatu budaya.
“Tinnnnnnnnnnnnnn…! Donnnnnnnnnn…!” semprotan klakson dari jalanan membuyarkan lamunan saya. Dari trotoar tempat saya duduk ini, sayup-sayup terdengar kembali dentuman musik disko antarpub yang seakan saling meledek. (ROY THANIAGO)
Kata “kepu(si)ngan” pertama kali dibaca di buku Erie Setiawan, Short Music Service
Dimuat di Koran Tempo, 3 Oktober 2010, dengan judul “Kepungan Klakson di Pham Ngu Lao”
keren! ajak2 dunk kalo backpaker-an lagi. he2.
Boleh2! Nanti kuajak ya, awas kalau nolak!