“Gitar adalah instrumen yang paling mudah dimainkan secara jelek”
– Arthur Sahelangi –
UNGKAPAN di atas tidaklah keliru. Diucapkan oleh Arthur Sahelangi, seorang pengajar gitar klasik Indonesia yang sudah senior. Pasalnya, masyarakat sering kali menganggap gitar adalah alat musik yang mudah dimainkan. Gitar selalu dibawah bayang-bayang superior piano atau biola. Memang, gitar amat mudah dimainkan, tapi secara jelek. Dan sulit untuk bermain baik, apalagi mempesona.
Bukan apa-apa, instrumen ini pun baru berkembang di abad 18, jauh sebelum piano dan biola sudah berkembang lebih dulu. Dalam sejarah musik, posisi gitar di panggung pertunjukkan sebagai solois baru terjadi di abad 19, ketika seorang Andres Segovia membawa gitar menjadi primadona baru. Jadi, gitar memang belum memiliki standarisasi seperti pada piano, baik secara instrumentasi, teknik, maupun repertoar. Berbeda dengan piano yang pada segi instrumentasi, misalnya, memiliki standar pada merek Steinway. Atau di segi teknik, berbagai macam versi teknik piano dibukukan dalam karya Czerny atau pun Burgmuller.
Gitar pun memiliki keterbatasan pada rentang nada, produksi suara yang tidak terlalu resonantif, juga stabilitas nada. Namun semua keterbatasan itu kiranya tak dapat mentolerir gitar untuk bermain buruk, atau tak semusikal piano. Justru karena kekurangannya, gitar harus mencari bentuk-bentuk pencapaian bermusik yang khas. Yang hanya dimiliki oleh gitar saja, tidak di instrumen lain.
***
Di Erasmus Huis pada tanggal 7 Juli 2008, seorang gitaris dari Bali, Lianto Tjahjoputro mencoba menekuni musik lewat instrumen sintal tersebut. Sejak pertama menginjakkan kaki di panggung, kesan hangat dan karib darinya menyergap seisi ruangan. Dengan ramahnya Lianto menyapa penonton yang duduk rapih di hadapannya. Keramahan dan kehangatannya ini, membuat penonton seakan berada dalam sebuah resital pribadi di sebuah ruang keluarga yang tidak besar. Sungguh intim dan bersahabat.
Lianto mempunyai kepercayaan diri yang amat tinggi di atas panggung. Sekali pun Ia tidak termakan omongan akan kejamnya suasana di atas panggung. Sebaliknya, Ia malah mencairkan suasana tegang yang ada pada diri penonton. Sehingga berderailah tawa yang meliuk-liuk sepanjang resital malam itu.
Hampir tiap karya yang hendak dibawakan, didahului oleh bincang-bincang singkat. Bercerita kenapa karya ini dimainkan olehnya, apa sejarah karya tersebut, atau pun hal-hal di luar musik yang punya kaitan dengan karya. Begitu pun ketika Lianto hendak membawakan karya gubahannya sendiri, Praludium Magnetis. Ia menuturkan, kalau karya bernuansa spiritual ini digubahnya setelah didahului puasa selama 3 hari. Lagi, katanya, Ia juga memasukkan unsur dari 5 agama resmi di Indonesia dalam karyanya. Lagu ini terkesan berat dan gelap karena senar 6 ditala hingga mencapai nada B.
Lalu mengalirlah karya yang sangat populer dari F. Tarrega (1852-1909), Recuerdos de la Alhambra, yang berarti, kenangan akan kota Alhambra. Melodi pada karya ini dibawakan oleh register atas secara tremolo. Lewat Lianto, tremolo ini tidak hadir dengan ritmis. Melodi terkesan sepotong-potong, terpenggal-penggal. Belum lagi ketika dihadapkan pada bagian antar melodi yang berjarak jauh dan dimainkan dalam posisi barre. Karena pada bagian ini antar not tidak terjembatani dengan baik dan sering memotong harga not.
Di nomor berikutnya, yakni sebuah karya dari komponis Spanyol jaman Romantik, J. Gimenez (1854 -1923) berjudul La Boda de Luis Alonso ”Intermedio” menjadi pilihan Lianto. Sejak awal lagu, Lianto yang kelahiran Banyuwangi tahun 1963 ini membawakan dalam tempo yang terburu-buru. Maka tak heran, jarinya terus menerus berkejaran dengan tuntuan tempo. Sehingga Ia tidak lagi memikirkan frase, dan itu yang menyebabkan pulsasi lagu ini menjadi tidak jelas.
Sebuah lagu yang juga amat terkenal dari Franz Schubert (1797-1828) berjudul Ave Maria menggoda gitaris yang pernah berguru pada gitaris dunia Elliot Fisk di Jerman ini. Manisnya lagu yang biasanya dibawakan oleh instrumen piano atau organ ini kemudian ditranskrip Lianto ke dalam aransemen gitar tunggal. Namun sayang, hasil transkrip ini kurang berhasil. Setidaknya nuansa syahdu dari karya tidak mampu hidup pada trankripsi di gitar. Resonansi yang tidak maksimal, melodi yang dibunyikan secara tajam, dan penempatan melodi dalam akor yang tidak berjalan mulus karena terlalu banyak pergerakan dengan interval yang jauh, menjadikan karya ini terkesan ringan dan kering.
Secara teknik, kecepatan jari Lianto memang tidak diragukan lagi. Jarinya seperti dengan santainya menerkam leher gitar tanpa dosa. Namun sayang, kecepatan itu tidak dimainkan dengan bersih dan bebas dari slip. Hal ini terlihat dari karya Caprice No. 24 milik N. Paganini (1782-1840). Banyak not yang tidak bunyi membuat artikulasi menjadi kabur, dan dengan demikian justru membuat karya terkesan sepele dan hanya memberi hiburan lewat akrobat jari semata.
Berturut-turut, karya-karya yang dibawakan seusai jeda adalah Requiem milik G. Verdi (1813-1901), Campanella milik Franz Liszt (1811-1886), Toccata BWV 564 bagian Adagio dan Suite BMW 1006 bagian Prelude yang keduanya milik J.S. Bach (1685-1750). Hingga sampai pada nomor terakhir, sebuah repertoar yang amat berat, Hungarian Rhapsody No. 2 dari F. Liszt. Karya untuk piano ini dibawakan Lianto dengan memakai hasil transkripsi gitaris Jepang, Yamashita. Seperti karya-karya sebelumnya, agresivitas dan gaya ekspresif dari Lianto amat mendominasi suasana resital malam itu. Sayang, penonton yang tak sabar keburu pulang lebih awal, sehingga tak menyaksikan 3 buah encore dari Lianto yang membuat resital tersebut semakin hangat. Semakin intim.
Wouuuww what a nice article you’ve made, pal…!! feels deep and wide… yeah, keep rockin…
Analisisnya keren mas,kayaknya mas roy ini jago gitar ya..Banyak istilah yg aku gak mudeng..hehe..Untuk urusan instrumen gitar,aku paling demen ama lagu “Manhattan”-nya Eric Johnson. 🙂