Festival Lima Gunung XIII adalah festival kesenian tahunan yang digiati Komunitas Lima Gunung. Pada 23-24 Agustus 2015, setelah sekian tahun batal melulu, saya akhirnya bisa menyaksikan langsung riangnya warga desa merayakan kesenian. Buat saya, inilah festivus yang sebenarnya: tradisi pesta komunitas. Ia ada dan diadakan untuk komunitasnya, para penghayat kebudayaannya. Di sini, orang luar adalah tamu, bukan calon konsumen. Setiap orang diperlakukan setara, termasuk Wakil Presiden Boediono yang dibiarkan duduk lesehan di tanah berbaur bersama penonton lain pada pelaksanaan festival di tahun-tahun sebelumnya.
Komunitas Lima Gunung adalah paguyuban warga beberapa dusun yang tinggal di daerah yang dikelilingi 5 gunung di Magelang, Jawa Tengah (Merbabu, Merapi, Sumbing, Andong, dan Menoreh). Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, sambil melakukan kesenian di kelompoknya masing-masing di tiap dusun. Komunitas ini diinisiasi oleh Sutanto Mendut. Ketika pertama kali saya berkenalan di rumahnya pada 2009, Pak Tanto bicara dari jam 5 sore hingga 6 pagi keesokan harinya. Tanpa henti. Pembicaraan berhenti karena saya akhirnya memberanikan diri untuk memberitahu jam saat itu. Saya hampir menangis bahagia ketika akhirnya bisa tidur.
Festival ini menolak sponsor. Sitras Anjilin, pemimpin sanggar Tutup Ngisor, mengatakan pada saya alasannya, “Ya, karena kami merasa kuat, jadi tak perlu sponsor.” Saya sungguh belajar banyak dan bahagia berada di festival ini. Sementara itu, seniman metropolitan yang wara-wiri masuk media dan festival internasional, masih saja mengeluh soal ketidakberpihakan negara—walau ini benar.
Hal lain yang penting buat saya adalah, festival ini akan menjadi perangsang bagi munculnya ide dan bentuk kesenian baru di masing-masing dusun.
Komunitas Lima Gunung, hormat dan salut saya belum putus sampai hari ini.
*Foto lainnya bisa dilihat di sini.