sebutir nasi dalam makan siangku
memakiku ganas
aku tak terkejut
ini yang kelima dalam selasa ini
:menanyakan nasibnya
aku jadi sebal dibuatnya
bukan lantaran makiannya,
tapi provokasinya terhadap penghuni piring
tongkol, tahu, dan labusiam ikut-ikutan memaki
bahkan kuah kari berlagak pandai di depan hidungku
“makilah aku, dan kalian mati”,
aku tak mau kalah
“kukunyah dan kuhancurkan kalian
dengan gigigigiku yang terkenal bengis
kulelap ke dalam kerongkongan
dan kupenjara dalam perutku yang rakus berhari-hari”,
sambungku mengumpat
“gelaplah kalian, matilah tarian!”
sebutir nasi tetap memaki
dibarengi orkestra lauk pauk dengan tatapan sinis
mereka makin keras teriak
setelah garpu di tangan kiriku jatuh ke kolong meja
dan tak bisa diambil
sendok menjadi pengecut setelah sendiri
ia tersenyum menatap makian
aku dipojokkan
aku diadili
sebutir nasi yang terpulen berhardik keras
kali ini,
“keluarkan pernyataan terhadap nasib kami!”
susul tahu tak mau ketinggalan:
“ya! setelah kami hilang ditelan waktu,
kehidupan yang baru harus bernyanyi dengan merdeka!”
seisi penghuni piring makin riuh
mereka membikin tarian ombak di lautan ricuh
mengacung-acungkan kepal ke mukaku
jurus diplomatis kuperaga,
“kita lihat besok apa yang kukeluarkan,
di jamban”
seisi piring senyap
sebutir nasi bersembunyi di bawah labusiam
dimakan angin mereka
4 april’07 yang baru
kos raflesia, karawaci
damn! gw jadi kaya mbaca cerpen sekelas karya radhar…beda gaya sih, tapi lo mesti nambahin daftar karya terus2an men…
Hihihi.. bagus! Gw suka puisi. Gw copy paste ya. Thx.
nice…kena banget sajak nyalaku di koran tu massalam kenal ah
nice kksajaknya kena bangetmasuk korang laku tuh, hehesalam kenal