Perempuan dan Musik

Bila catatan ini berbau perempuan, jangan Anda anggap ia ada dalam rangka hari Kartini. Bukan juga dalam rangka mewakili golongan yang menyuarakan tentang masalah bias jender. Lebih keliru lagi kalau catatan ini dihubung-hubungkan dengan undang-undang cabul yang lahir baru-bari ini. Bukan. Bukan demi semua itu.

CATATAN kecil ini ada sebagai ‘gong’ untuk menandai sebuah peristiwa musik yang terjadi pada 13 November 2008 dari seorang perempuan. Ia seorang Prancis. Ia seorang gitaris. Masih muda. Cantik. Maud Laforest namanya.

Sama-sama kita ungsikan dulu nama perempuan cantik satu ini yang jagoan gitar. Karena tanpa perlu dipuji-puji dalam catatan ini, ia sudah jauh meninggalkan tinjauan yang nanti akan muncul di bawah. Maka, lebih baik larut dalam konteks yang lebih besar: perempuan dan musik. Mari. …baca lebih lanjut

Gado-Gado Bunyi Discus

Sudah lama saya dengar nama besar Discus di kancah panggung musik tingkat dunia, tapi baru kemarin bisa mencicipi langsung bunyi mereka.

WALAU untuk mencicip bunyi mereka saya harus melanggang jauh dan mengendus selukbeluk sisi selatan kota Jakarta, terhimpit dalam keegoisan pengguna jalan raya, saya manut saja. Bukan untuk terlena dalam histeria macam groupies pada band idolanya. Tapi berada dalam posisi sadar untuk melihat produk seni yang Discus tawarkan. Adakah yang didapat sepulangnya?

Discus adalah sekelompok band yang sulit untuk saya definisikan aliran musiknya. Ada jazz di sana, ada rock di situ. Ada pop di sana, ada etnik di situ. Poin lebihnya, unsur musik avant-garde­ (untuk selanjutnya disebut ‘garda depan’) – genre bermusik yang masih jauh dari hirukpikuk dunia musik, digarap mereka tanpa malu-malu lagi. (Ya! Saya menyebut ‘genre bermusik’, bukan ‘genre musik’, karena garda depan bukanlah sekedar sebuah produk seni, tapi aktivitas pemikiran). …baca lebih lanjut

Bli Bach

Sepenggal karya musik dari Johann Sebastian Bach (1685-1750) menyeruak dalam gulita. Bunyi dari biola solo itu menyapa penonton yang hanyut dalam redupnya penerangan di ruangan. Kalau bunyi punya tangan, penonton mungkin sedang dibelai. Untuk sekedar menyapa.

SAYUP-SAYUP gulita diusir oleh nyala lampu yang dinyalakan perlahan dengan amat lembut. Terlihatlah sosok lelaki tua brewokan memanggul biolanya. Ia berdiri di belakang penyangga partitur (music stand/score stand) yang diselimuti kain hitam panjang yang dibalut warna hijau yang jatuh vertikal di bentangan kain. Mirip kasula yang dikenakan seorang pastur ketika memimpin ibadat.

Kemudian tingkah seorang penari yang dibungkus kain putih berkerangka dua bilah stik (semacam tongkat) bergerak dari sisi kanan panggung. Dengan amat misterius, penari yang belum menampakkan diri ini – karena masih bersembunyi di balik kain yang menyerupai kerudung raksasa, laksana pasukan karvaleri – berdiam di satu titik, di sisi kiri panggung. Dari lintasannya yang horizontal, dia meninggalkan jejak berupa kain merah yang teramat panjang. Mata penonton pun dibuat be rjalan menyapu seisi panggung, untuk menikmati sajian visual yang disuguhi. …baca lebih lanjut

Infinity: Konser Komponis Masa Depan

KAMIS malam – orang Indonesia lebih senang menyebutnya ‘malam jumat’. Di lembar kalender terpampang gamblang: angka empatbelas bulan delapan. Para Pramuka sedang asik merayakan hari jadinya. Di sudut lain, sekelompok muda juga asik merayakan sesuatu. Bukan hari jadi, melainkan merayakan bunyi – atau malah turut merayakan keheningan (?).

Mereka adalah komponis-komponis muda yang mengolah diri untuk terus bersahabat dengan gagasan – tentunya gagasan musik. Menekuni dunia ide memang butuh tekad dan stamina yang besar. Tak jarang para penekun itu mundur pelan-pelan setelah mengetahui bahwa dunia instan lebih mudah digauli, namun miskin pemaknaan. Nah, di tengah gejala-gejala semacam itu, maka kiranya para penekun gagasan perlu berada dalam satu kelompok atau komunitas. Di dalam koloni macam itulah, simbiosis mutualisme untuk saling memberi, menguatkan, kemudian meneguhkan dalam jalan hidup berkesenian terjadi begitu erat. Seakan tak ada habisnya energi untuk tetap bertekun. Eneri-energi tersebut kemudian lebur dalam satu perguyuban para komponis muda berama The Circle. …baca lebih lanjut

Hery Budiawan dalam Second Stage

BANYAK seniman-seniman besar yang bahan dasar ciptaannya berasal dari realita di sekitarnya. Realita temuannya – atau bikinannya – tersebut direkonstruksi sedemikian rupa demi melayani ide sang kreator. Dan memang benar, buah dari pohon ide tersebut setidaknya mengandung refleksi atau cermin representatif – terlepas dari berhasil atau tidaknya – atas realita-realita yang diolahnya menjadi karya seni.

Dalam karya sastra, misalnya, kita bisa memahami maksud di atas dengan menyelami karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Banyak novelnya yang mengambil konteks realita sosial. Misalkan Tetralogi Pulau Buru-nya – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah – yang merekonstruksi keadaan pergerakan nasional Indonesia yang masih dalam tahap embrio. Sastrawan lain kita tahu ada nama Nawal El Saadawi dari Mesir, Leo Tolstoi dari Rusia, atau Remy Sylado dari tanahair yang terpikat untuk membaui karya-karyanya dengan realita. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma dengan lantangnya menyerukan perlawanan terhadap pembungkaman atas fakta-fakta kebenaran dengan kumpulan artikelnya yang dibukukan, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Lewat kredo Seno ini kita mahfum, bahwa terkadang karya seni melampaui batas-batas penyampaian pesan secara‘normal’. Karya seni mampu menjadi media alternatif ketika lewat media ‘normal’, pesan-pesan berguguran menjadi kehampaan yang tak terpakai – namun saya tidak bilang karya seni itu ‘abnormal’. …baca lebih lanjut

Shall We Dance?

Shall we dance? Yes, we are!

SEPATUTNYALAH jawaban mengiyakan kita berikan bila disodorkan pertanyaan di atas ketika menikmati suguhan musik dari St. Theresia School Orchestra (STSO). Bukan untuk basa-basi atau sekedar menyemangati gairah bermusik musisi-musisi muda tersebut, tapi karena memang musik yang mereka mainkan berhasil membuat penonton tak malu-malu lagi mengakui bahwa penonton ikut bergoyang, menari.

Itulah yang kira-kira tampak dari konser orkestra milik STSO pada 26 Juli 2008 lalu di Balai Sarbini, Jakarta Selatan. Dengan tajuk ‘Shall We Dance?’ – sebenarnya tidak ditulis dengan ‘tanda tanya’ (?) – tema tersebut memang menunjukkan bahwa mereka akan membawakan lagu-lagu tarian dan ritmis. Tidak seluruhnya lagu tarian, misalnya pada lagu pembukaannya, Simfoni No. 40. …baca lebih lanjut