Whoever controls the media, controls the mind
– Jim Morrison –
APAKAH arti dari fakta ini: ratusan jumlah media massa yang beredar di Indonesia, tapi dimiliki hanya oleh 12 kelompok bisnis? Berlebihankah jika ini diartikan bahwa hanya 12 orang pengusaha yang mengatur arus informasi kita hari-hari ini? Hanya 12 orang, yang tidak bisa ditebak motif ekonomi dan politiknya, yang mengarahkan jenis informasi apa saja yang dianggap perlu bagi 250-an juta jiwa penduduk Indonesia.
Tren kepemilikan media yang terpusat ke beberapa orang memang menjadi tren global yang turut dianut di Indonesia. Regulasi yang lemah, alpanya negara, mesranya hubungan kepentingan politik dan bisnis, dan melemah-dilemahkannya publik menjadi faktor yang mengizinkan semua ini terjadi. Alhasil, oligarki media tengah terjadi di Indonesia. Sekelompok kecil elit menguasai dan mengarahkan opini dan pengaruhnya.
Keadaan seperti demikian tentu tidaklah menggembirakan bagi Anda yang percaya bahwa keberagaman, keadilan, dan kesamaan peluang adalah secuil syarat untuk menjadi mayarakat yang lebih beradab, di mana problem mendasar seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan bisa segera enyah atau berkurang dari republik ini. Namun situasi ekonomi-politik yang ada, menjauhkan kita dari cita-cita bersama tersebut. Sebab media massa yang dituntut menjadi salah satu pilar demokrasi, malah berpotensi meruntuhkan bangunan demokrasi yang sudah ada.
Kepemilikan media yang monopolistik seperti sekarang ini, amat berbahaya bagi alam demokrasi kita karena peluangnya untuk mencemari ruang publik kita. Karena ruang publik yang sehat adalah keniscayaan bagi negara demokratis seperti Indonesia. Ruang ideal seperti itu memungkinkan masing-masing warga dan komunitas menyemai gagasan, mempertemukan cita-cita, dan melatih toleransi atas berbagai pendapat yang tak sebunyi.
Tapi dengan situasi industri media yang sedemikian, yang bersaling-silang dengan kepentingan politik dan bisnis, publik perlu mempertanyakan lagi peran media massa. Publik perlu menggugat haknya atas informasi dan kedaulatan posisi politiknya yang direbut oleh perusahaan media yang kemaruk. Bahkan, lebih jauh lagi, publik perlu meragukan dan mengkhawatirkan segala pesan yang lahir dari media.
Maksudnya, sejauh mana Anda yakin bahwa sebuah informasi adalah kenyataan yang sesungguhnya? Sejauh mana Anda percaya bahwa sebuah media tidak melakukan manipulasi sebuah informasi, saking terlalu kompleksnya hubungan antara jaringan bisnis satu dengan yang lainnya? Seberapa berani Anda bertaruh bahwa media tidak memberitakan kebohongan demi propaganda ideologi politik yang bertalian? Tidak ada informasi yang bebas nilai. Informasi adalah realitas yang sudah diberi makna—dan sialnya, kebanyakan diberi makna yang menguntungkan atau tidak mencelakai si produsen informasi.
Maka, adalah sebuah mitos, bila dikatakan bahwa media massa bekerja untuk publik. Itu hanyalah cita-cita. Cita-cita yang menjelma ilusi. Karena pada hari ini, kenyataan berkata lain, dan itu tengah kita hadapi sekarang: industri media menjelma tak ubahnya industri lainnya yang lebih mengedepankan keuntungan ketimbang kepentingan publik. Di tengah situasi ini, hanya ada dua pilihan untuk kita bersikap, tunduk atau menolak. Saya memilih yang kedua.
Dimuat di Ultimagz edisi Februari 2013