Ia berdiri, bersikeras menyampaikan sesuatu lewat gerak dan mimiknya. Kalau ia tidak bersuara, bukan berarti ia seorang bisu.
WAJAHNYA nyaris ditutup putih kalau bibirnya tidak diwarnai merah. Posturnya tinggi dengan rambut ombak beruban yang tampaknya tidak pernah disisir. Ia, lelaki itu, bicara banyak hal mengenai kehidupan. Tapi bukan Bizot namanya kalau ia menggunakan suara untuk bercerita. Cukup gerak dan mimik. Itu saja.
Bizot adalah seorang pemain pantomim dari Prancis. Sabtu, 7 Juni 2008 lalu, ia tunjukkan seni berkomunikasinya itu pada khalayak ramai di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Dengan setelan kemeja putih yang jauh dari kesan rapih, serta dipadu celana panjang hitam, ia berhasil bercerita tanpa suara sedikit pun. Tapi sungguh, bohong bila ada yang bilang tidak mengerti. Karena Bizot mengolah tubuhnya sedemikian detil untuk berpantomim.
Sehari sebelumnya, 6 Juni, Bizot sudah pentas di Gedung Kesenian Jakarta. Tapi, seniman yang sudah bergelut 30 tahun lebih ini merasa perlu untuk membagi pengalaman kultural ini kepada publik yang lebih luas dan beragam. Itulah sebabnya, acara yang diselenggarakan CCF dalam rangka Festival Seni Budaya Prancis 2008 ini, dirayakan dengan lebih merakyat di Taman Menteng.
Di salah satu sudut lapang yang pelit penerangan, dan ditingkahi berpuluh anak muda yang bermain skate board di sudut lainnya, di situlah Bizot menyapa khalayak dengan amat personal, intim. Sejak lakon pertama digulir ia sudah menjadi daya tarik. Karena itu, puluhan orang mengerubunginya, persis seperti semut yang mengerubungi gula. Toh, seni pantomim yang ditampilkan Bizot memang manis. Bahkan mungkin menjadi salah satu pengalaman termanis sebagian orang yang jarang disapa dengan intimitas kesenian.
Pantomim adalah sebuah seni gerak yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Mesir Kuno dan India, menurut Aristoteles. Aristoteles menguatkan pendapatnya ini dengan memperlihatkan bahwa banyak sekali diketemukan relief-relief pada candi dan piramida yang menggambarkan laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan gerakan, tapi bukan tarian.
Secara estimologis, pantomim berasal dari bahasa Yunani yang berarti serba isyarat. Jadi, pantomim memang tidak membutuhkan bahasa verbal untuk menyampaikan pesannya. Maka itu sering disebut seni bisu. Tapi justru dalam keheningannya itu, pantomim mengajak manusia untuk mempertanyakan, menertawakan, menelanjangi diri sendiri.
Setidaknya hal itu yang kita bisa lihat dari pertunjukkan Bizot. Ada beberapa lakon seperti Pantai, yang mempertontonkan kedunguan manusia. Atau lakon dadakan, Menjadi Perampok (diminta penonton), yang menelanjangi sifat naluri manusia yang tamak, juga gagal – lakon diakhiri dengan kisah sang pencuri yang ketika berhasil membuka kode brankas, setelah dibuka ternyata ada polisi di balik pintu.
Bizot sangat sederhana dalam mengolah gerak, ia tak memakai metafora yang berlebihan, atau konsep semiotika yang rumit, tapi bukan berarti membuatnya menjadi sangat sepele. Gerakannya memang tanpa basa-basi, tapi tetap membutuhkan proses berpikir untuk penonton mencernanya. Gerakannya yang sederhana tentunya bukan berarti sesederhana itu proses menekuni pantomim. Pada babak di mana para penonton diberi kesempatan untuk mengajukan tema lakon, Bizot tanpa pikir panjang mampu mempertontonkan tubuhnya dengan amat menarik dan imajinatif. Pasti banyak bacaan, diskusi budaya, dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat, yang memperkaya eksplorasi pantomim Bizot.
Lewat kesederhanaan dan intimitas gerak dan mimiknya, Bizot mengajarkan pada penonton untuk memaknai hidup lewat gerakan. Kecintaannya pada pantomim, membingkai lakonnya menjadi sebuah cermin refleksi bagi kita semua. Ada yang sadar?