Beberapa tahun lalu, di bangku SMU, seorang guru sejarah melempar tanya di kelas, ”Soeharto dan Hitler, mana yang lebih jahat?”. Seisi kelas senyap tak ada suara. Satu-satunya suara datang dari alat pendingin ruangan.
SEORANG lain bernama Jozef Goebbels berkata demikian: ”Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya”. Pak Cik Goebbels yang merupakan mentri propaganda Nazi ini benar. Di negeri ini, Indonesia, sejarah dituliskan dengan mengulang-ulang kebohongan, hingga akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa 30 September 1965 merupakan suatu kejadian paling penting. Dianggap penting bukan saja karena di masa ini 500 ribu sampai 1 juta jiwa dibantai secara keji, yang menandai bahwa kita punya ingatan kolektif mengenai kebiadaban, tapi juga menyoal awalan suatu rezim kediktatoran yang sekaligus menandai dimulainya kegiatan bohong terbesar yang pernah ada di muka bumi.
Bohong tersebut dilancarkan lewat penyelewengan fakta sejarah yang menyusup ke benak setiap warga Indonesia, bahkan hingga ke generasi mudanya. Saya ingat ketika sekolah dulu, di mana setiap tahunnya persis tanggal 30 September, harus melawan kantuk demi tugas sekolah untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Lewat film itu, beserta catatan sejarah lain yang tersebar di berbagai buku, hingga buku pelajaran sejarah di Sekolah Dasar, masyarakat awam kadung meyakini militer sebagai pahlawan karena menumpas komunisme. Saat itu juga, rezim Soeharto dengan propagandanya berhasil menebar kebencian terhadap komunis dan siapa pun yang punya hubungan dengannya. Alhasil, suara lain mengenai peristiwa 1965 dibisukan, sehingga sejarah versi Orde Baru-lah yang lebih dikenal.
40 Years of Silence, sebuah film dokumenter karya Robert Lemelson, malah memecah kesunyian yang terjaga selama berpuluh-puluh tahun tersebut. Film ini mencoba menuliskan kembali ingatan mengenai peristiwa 1965 dari sisi korban. Pada 23 Juli 2009, film ini diputar di Goethe Haus, Jakarta, untuk pertama kalinya bagi publik Indonesia.
Film ini mengisahkan empat keluarga yang menjadi korban tragedi 1965-1966. Keluarga Lanny di Jawa Tengah, Budi di Yogyakarta, Degung dan Kereta di Bali. Keempat tokoh utama ini menguak masa lalu mereka yang mengerikan karena stigma komunis. Mereka meyaksikan sendiri bagaimana salah seorang anggota keluarga ditangkap, disiksa, atau bahkan mati. Ingatan kengerian masa lalu ini sangat mendalam sehingga terus membekas dan menghantui hingga sekarang. Mereka didiagnosa menderita Posttraumatic Stress Disorder (PSD).
Lanny, seorang perempuan baya keturunan Tionghoa, ketika 1965, bapaknya adalah ketua Baperki, sebuah organisasi masyarakat kaum Tionghoa yang berkaitan dengan PKI. Alex, bapaknya, dieksekusi di depan mata Lanny. Umur 13 ia waktu itu.
Peristiwa 1965 telah lewat beberapa dekade, tapi tidak menjadi jaminan bahwa teror stigmatisasi sudah usai. Hal ini kemudian turut melukai kehidupan Budi, seorang remaja di Yogyakarta yang lahir jauh hari setelah 1965. Bapaknya adalah mantan tahanan politik yang menyebabkan keluarganya dikucilkan di lingkungan tempat mereka tinggal. Bahkan Kris, kakaknya, dihina dan dianiaya, yang menghancurkan masa depannya sekaligus. Kris lari ke jalan, dan besar di sana. Budi menyimpan amarah dan dendam atas tragedi yang menimpa keluarganya itu. ”Saya ingin membunuh mereka! Saya ingin mereka merasakan apa yang mereka lakukan pada keluarga saya!”, geram Budi berulang-ulang.
Dua tokoh lain, Degung dan Kereta, pun mengalami hal yang hampir serupa. Kedua ayah mereka dibunuh karena label komunis. Setelah itu, Degung lari ke Surabaya dan dibesarkan oleh pelacur. Ia kembali ke Bali saat remaja, menjadi aktivis, dan hidup dalam kesadaran akan trauma yang dialaminya dahulu. Sedang Kereta, hidup dalam rasa takut berkepanjangan. Dia merasa ada roh-roh yang terus membuntutinya. Itu sebabnya, tatkala takut, ia kenakan helm dan celana bermotif loreng-loreng tentara untuk menghalaunya
Lemelson, sang sutradara, adalah seorang antropolog asal Amerika yang meneliti masalah-masalah kejiwaan. Maka tak heran, film ini tidak tergoda untuk bermain dalam wilayah pro-kontra sejarah peristiwa 1965. Lemelson berfokus menyorot habis-habisan dampak kejiwaan seseorang akibat trauma. Ia mengikuti perkembangan kejiwaan keempat tokoh utama selama bertahun-tahun. Semua itu ia tampilkan dengan halus, tidak menggebu, namun sangat mendalam dan kuat.
Kalau biasanya film dokumenter identik dengan citra kaku, bosan, dan datar, 40 Years of Silence sepanjang pemutaran justru tampil menawan dan menyentuh, seperti tidak mengizinkan penonton untuk merasakan kantuk. Sang editor, Pietro Scalia, pemenang dua penghargaan editing terbaik Academy Award, tahu betul bagaimana memasukkan adegan-adegan yang bernas dan merampas perhatian. Bayangkan, 400 jam lebih materi yang terekam, tapi diperas dalam video berdurasi yang ”hanya” 86 menit!
Walau berfokus pada 4 tokoh utama sebagai korban, film ini tetap berusaha merangkai konteks sejarah agar kisah bisa dipahami oleh mereka yang buta akan peristiwa 1965. Usaha itu telihat dari caranya menyulam pecahan demi pecahan keping sejarah yang berserakan dengan meminjam mulut narasumber.
John Roosa, Geoffrey Robinson, dan Baskara T. Wardaya. Mereka adalah sejarawan yang aktif meneliti peristiwa 1965. Lewat mulut merekalah konteks sejarah diurai, kemudian direkatkan oleh Lemelson dengan amat pas.
Film yang digarap dalam kurun waktu 1997-2007 ini amat pas hadir di masa reformasi sekarang. Karya ini diharapkan bisa memicu masyarakat untuk keluar dari kebungkamannya terhadap sejarah. Rekonsiliasi dan rehabilitasi situasi sosial suatu masyarakat, dipercaya Lemelson, dapat terjadi ketika masyarakatnya memahami latar belakang sebuah peristiwa atau penyebab sakitnya suatu masyarakat.
Di Bali, kawanan bangau bertengger di pohon setiap sore dan selalu menghadap ke lokasi yang diyakini sebagai kuburan massal korban tragedi 1965. Mereka dipercaya oleh penduduk setempat sebagai roh para korban pembantaian. Adegan penutup film ini semakin menguatkan bahwa tragedi 1965 meninggalkan perasaan perih, luluh lantak, dan emosional tak terkira menyaksikan kebiadaban suatu rezim terhadap masyarakatnya sendiri.
Sekarang saya paham mengapa Hitler kalah jahat dibanding Soeharto. ”Karena yang Soeharto bunuh adalah bangsanya sendiri”, jawab guru sejarah saya tersebut atas pertanyaannya sendiri. Dan kelas kembali senyap. (ROY THANIAGO)
Dimuat di Majalah GONG edisi September 2009
keren sekali roy!! hmh.. pengen nonton 40 years of silence, penuh intrik nampaknya. jujur ya roy, tulisan lu makin keren dan sangat asik untuk dinikmati! 😀
Makasih banget ya, Sher!
mas … apakah saya boleh mengcopy artikel ini di FB saya? Saya senang dengan artikel ini.TerimakasihLeonard
@LeonardSilahkan saja, Mas Leo. Asal tetap dituliskan sumber tulisan dan nama penulisnya. Terima kasih sudah meminta izin terlebih dahulu, tidak seperti bnyk orang yg membajak begitu saja. Salam kenal!
review yg bagus. bolehkah saya kopi untuk saya sebarkan kepada kawan-kawan saya di fb?
@andSilahkan saja, dengan tetap menuliskan sumber tulisan dan nama penulisnya. Terima kasih.
Sekedar ingin bertanya, apakah yg menjadi korban dalam rentang waktu di masa tsb itu hanya yg selama ini diberi label komunis? “Kebencian” orang-orang antikomunis terhadap para komunis saat itu kalau memang hasutan orang2 Suharto, tetapi bisa begitu berhasil berarti tetap ada “beban masa lalu” antara kedua kelompok itu yg tidak bisa diabaikan.
Tapi, bagiku, apapun label yg diberikan, mereka semua mati.
Dan simpatiku untuk mereka semua.
Film yg bagus dan penting.
jas merah : jangan sampai melupakan sejarah