Musik dan Perang

“I don’t think we could have an army without music.”

– Robert E. Lee –


Marah. Tidak melulu hanya itu yang bisa dikenang dalam perang. Karena perang pun merekam keindahan. Dan musik adalah salah satu keindahan itu.
KIRA-KIRA 3400 tahun yang lampau, bangsa Israel berjalan kaki menyeberangi sungai Yordan. Misinya satu: merebut tanah di Kanaan.
Yerikho adalah salah satu kota di Kanaan. Ia merupakan kota benteng, karena, ya, kota seluas 4 hektar ini dikelilingi tembok setinggi 14 meter dengan ketebalan 6 meter. Karenanya, Yerikho adalah kota tak terkalahkan. Kota ini dilindungi dewa-dewa Kanaan. Sebuah petaka bagi bala tentara Israel.
Tembok Yerikho pada akhirnya memang runtuh, dan bala tentara Israel berhasil menguasai kota tersebut. Tapi musiklah yang melakukannya, bukan pedang atau batu. Caranya? Pasukan Israel berjalan kaki mengelilingi tembok Yerikho sebanyak sekali dalam sehari dan dilakukan selama enam hari berturut-turut sambil meniup sangkakala. Di hari ketujuh, sangkakala ditiupkan selama tujuh putaran, dan di putaran yang terakhir, seluruh bangsa bersorak kencang bersama lengkingan sangkakala. Dan runtuhlah Yerikho.
Cerita lain. Niccolo Machiavelli dalam risalahnya di tahun 1521, The Art of War, menyebut trompet sebagai salah satu alat penting dalam perang. Alasannya, trompet memiliki suara yang tajam dan bertenaga, tidak tenggelam dalam gaduhnya perang. Sedang drum dan flute, dalam risalah tersebut, disebutkan sangat bagus untuk melatih kedisiplinan dalam baris berbaris atau memerintahkan pergerakan dalam peperangan.
Perang dan musik hadir berdampingan sebagai sebuah kenyataan sejarah. Kurang lebih pesan inilah yang mengemuka dalam dua fakta di atas. Perang Saudara yang terjadi di Amerika Serikat (AS) antara tahun 1881-1865 pun menyatakan pesan yang sama.
Perang ini membagi AS menjadi dua, utara dan selatan, Union dan Konfederasi. Dipicu oleh keinginan memerdekakan diri para penduduk di selatan yang kebanyakan para budak, perang ini tidak terhindarkan lagi. Lebih dari 600 ribu orang tewas dalam perang ini. Apakah musik turut membunuh?
Mungkin saja. Karena, selain difungsikan sebagai sarana rekreasi selama perang oleh para tentara – entah karena bosan, tegang, stres, atau rindu rumah – musik punya fungsi lain: komunikasi dan senjata psikologis.
Sebagai fungsi komunikasi, musik dipakai dalam memandu baris berbaris, memberi komando di medan perang, atau sinyal panggilan di perkemahan. Sedang sebagai senjata psikologis, musik berkontribusi untuk membangkitkan patriotisme, moral, kekuatan, semangat, dan perasaan senasib. Maka tak heran, dengan berbagai fungsi itu, baik tentara pemusik maupun bukan, kudu hapal puluhan kode komando lewat musik.
Untuk kedua fungsi tersebut, Yunani dan Romawi pun sejak lama menggunakan musik dalam urusan kemiliteran mereka. Lewat alat tiup logam (brass) dan perkusi, mereka menyampaikan informasi kepada pasukan, baik di lapangan maupun di perkemahan. Bahkan tentara Yunani menyewa pemusik untuk mengiringi puisi atau memainkan lagu patriotik yang menceritakan keberanian pahlawan-pahlawan tempo dulu. Pun Cina memanfaatkan musik ketika perang melawan Korea pada 1950-1953. Kala itu, Cina kekurangan alat komunikasi modern seperti radio.
Pada Perang Saudara di AS, tentara pemusik atau Regimental Band adalah elemen terpenting dalam kemiliteran, sehingga berada dalam stuktur organisasi kemiliteran. Baik kubu Union maupun Konfederasi, sama-sama memiliki Regimental Band untuk bermain dalam parade, baris berbaris, atau pagelaran konser. Pada kubu Union, setiap pasukan artileri maupun infantri memiliki Regimental Band yang beranggotakan 24 orang dan 16 orang untuk pasukan kavaleri.
Sedemikian pentingnya tentara pemusik, didirikanlah sebuah tempat pelatihan musik bagi para tentara di Governor’s Island, New York, bernama School of Practice for U.S.A. Field Musicians. Namun perhatian yang banyak terhadap musik, membuat pembiayaannya mengalami kesulitan. Dilaporkan bahwa 26 dari 30 regu tentara dan 213 dari 465 relawan tentara, mempunyai Regimental Band. Ini berarti, ada 1 orang pemusik dalam 41 orang tentara. Karena memakan biaya besar, pada 17 Juli 1862, di kubu Union, Kongres menghapus Regimental Band. Kongres hanya mengizinkan band pada tentara relawan, bukan pada tentara reguler. Sebagai gantinya, dibentuklah Brigade Band menggantikan Regimental Band. Aturannya, satu band untuk empat regu tentara.
Di selatan, kubu Konfederasi tidak memiliki jumlah pemusik dan kualitas instrumen sebanyak dan sebaik kubu Union yang berada di utara. Ketika itu, instrumen dengan kualitas baik harganya mahal dan sulit didapat di daerah selatan, disebabkan bahan baku untuk membuat instrumen dan pembuatnya kebanyakan berada di daerah utara.
Ada tiga alat musik yang paling dominan dalam Regimental maupun Brigade Band, yakni bugle, fife, dan drum. Bugle adalah alat tiup logam tanpa katup, cikal bakal trompet dan french horn. Sedang fife merupakan alat musik tiup kayu, yang pada perkembangannya menjadi piccolo (flute sopran). Dan drum, masih seperti yang ada pada hari ini.
Pemain drum memiliki fungsi mendasar pada regu tentara karena diperlukan untuk memangil prajurit dalam membentuk formasi, atau untuk tujuan lain seperti untuk tanda bangun di pagi hari, sebagai panggilan untuk memberi laporan, berkumpul, sampai penugasan tentara yang giliran berjaga. Pada tentara Union, drum yang dipakai bergambar elang bersayap dengan bintang dan garis yang mengelilinginya. Sedang drum milik tentara Konfederasi hanya polos saja tanpa ornamen apapun. Di lapangan, fife adalah teman setia drum.
Bukan sekedar bermusik yang menjadi tugas para tentara pemusik. Pada waktu dan situasi yang lain, mereka harus siap membantu sebagai tenaga medis dan juga turut bertempur. Memang berlapis tugas mereka. Maka tak heran, Abraham Lincoln, presiden AS ke-16, kepada George F. Root yang menulis “The First Gun Is Fired” sebagai lagu pertama yang diciptakan untuk perang, berkata begini, “Anda telah melakukan lebih daripada seratus jenderal dan seribu orator.”
Sejarah umat manusia mencatat, bahwa musik dan perang hadir berdampingan sebagai sebuah kenyataan. Sebuah kenyataan yang kadang pahit, marah, dan melukai, tapi sekaligus manis, gembira, dan intim. Ia hadir dalam dua wajah paradoksal: sebagai sebuah kekacauan sekaligus keindahan yang masing-masing menyediakan ruang kontradiktif di dalamnya. Sebuah peristiwa berikut akan menjelaskannya.
Musim salju 1862-1863 di Fredericksburg, Virginia. Pasukan Union dan Konfederasi berkemah di lokasi yang berdekatan dengan Rappahannock River sebagai pemisah. Di suatu siang yang dingin, untuk menyemangati pasukannya, kubu Union memainkan musik yang kemudian direspon oleh kubu Konfederasi hingga terjadi balas membalas. Dan terjadilah sebuah duel yang indah. Duel ini diakhiri oleh sebuah lagu yang dimainkan bersama oleh kedua kubu yang sama-sama merindukan kampung halamannya, yang sama-sama berhadapan pada kenyataan kemanusiaannya yang paling dasar, Home, Sweet Home:

‘Mid pleasures and Palaces though we may roam,
Be it ever so humble, there’s no place like home!
A charm from the skies seems to hallow us there,
Which seek through the world, is ne’er met with elsewhere.

Home! Home! sweet sweet Home!

There’s no place like Home! There’s no place like Home

Dimuat di majalah Dada edisi Seni dan Perang


Referensi
Alkitab
http://www.nps.gov/archive/gett/gettkidz/music.htm
http://americanrevwar.homestead.com/files/civwar/bands.html
http://hubpages.com/hub/Music-Of-The-Civil-War
http://www.historynet.com/the-music-of-war.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Music_of_the_American_Civil_War
http://parlorsongs.com/issues/2004-4/thismonth/feature.php
http://en.wikipedia.org/wiki/American_Civil_War
http://memory.loc.gov/ammem/cwmhtml/cwmpres01.html
http://memory.loc.gov/ammem/cwmhtml/cwmpres07.html

One thought on “Musik dan Perang

  1. Di militer memang biasanya ada korps musiknya .. tapi kayaknya gak ikut perang ya .. soalnya gak bawa bedil hehehe….
    Salam hangat..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *