Hubungan pers dengan publik sedang tidak baik-baik saja. Ini fakta yang menyakitkan, tapi perlu diakui. Komunitas pers harus khawatir ketika antipati justru datang dari konstituen utama yang mereka layani.
Politik populisme memang sedang merekah di berbagai belahan bumi. Menasbihkan diri sebagai bagian dari rakyat kebanyakan, politik model ini mengeksploitasi kekecewaan orang atas situasi politik-ekonomi dan mengalamatkan penyebabnya kepada kelompok elit, di mana media dan wartawan berada di dalamnya. Banyak orang mengklaim bahwa gaya politik inilah yang menurunkan kepercayaan publik terhadap pers.
Meski mengandung kebenaran, saya berpendapat bahwa meyakini sepenuhnya pandangan ini hanya akan membuat kita, terutama komunitas pers, berkubang dalam “narasi korban” (victimhood narration). Selain gagal melihat masalah memburuknya hubungan pers dengan pembaca dengan lebih menyeluruh dan tepat, narasi korban ini membuat kita kehilangan kemampuan untuk mengenali peran yang bisa komunitas pers lakukan secara mandiri tanpa perlu melulu bergantung kepada aktor-aktor lain.
Politikus macam Donald Trump, Rodrigo Duterte, Jair Bolsonaro, atau Viktor Orban memang layak dianggap sebagai salah satu orang di muka bumi yang berkontribusi besar dalam membuat turunnya kepercayaan publik terhadap pers. Indonesia pun tak kekurangan politikus macam ini, di mana Prabowo Subianto menjadi lokomotifnya. Namun, terus-menerus melihat mereka sebagai penyebab membuat kita seolah tak mengakui bahwa perusahaan media dan wartawan sendiri punya kontribusi terhadap situasi ini.
Pada 2018 Pew Research Center mempublikasikan hasil surveinya terkait persepsi publik atas media. Indonesia masuk dalam negara yang ikut disurvei. Temuan mereka mengabarkan bahwa publik di seluruh dunia menginginkan berita yang berimbang secara politik, tapi mereka tidak melihat media memenuhi harapan ini. Temuan lain adalah bahwa kepercayaan publik terhadap media berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap pemerintah. Semakin seseorang puas dengan kinerja pemerintah, semakin puas pula seseorang terhadap media.
Di Indonesia sendiri, kepercayaan publik terhadap institusi media lebih rendah ketimbang institusi pemerintahan (Fossati, et al., 2017). Hanya 67,2% orang yang percaya terhadap institusi media. Bandingkan dengan kepercayaan publik yang diberikan kepada institusi kepolisian (70,3%), pemerintah pusat (81,6%), atau pemerintah provinsi (79,9%). Artinya, bisa jadi di Indonesia kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap pers. Ketika institusi pemerintahan semakin dipercaya, institusi media malah makin tak dipercaya. Ini situasi yang buruk bagi media yang kerjanya salah satunya adalah untuk membuat kekuasaan transparan. Bagaimana membuat publik percaya bahwa pers sedang bekerja memantau kekuasaan ketika yang memantau kurang dipercaya?
Seperti politik populisme, menurunnya kepercayaan publik atas pers juga merupakan tren global. Ini bukan fenomena yang terjadi di Indonesia saja. Selain faktor politik populisme, tentu ada banyak faktor lain yang berkontribusi menggerus kepercayaan publik terhadap pers. Salah satu faktor yang terkuat, dalam sudut sudut pandang penganut determinisme teknologi, adalah terjadinya revolusi komunikasi yang diperantarai teknologi baru: internet. Revolusi ini telah mengocok ulang hierarki otoritas informasi, yang membuat seorang warga punya otoritas yang dulu hanya dimiliki wartawan.
Namun, tulisan ini tidak ingin fokus ke faktor-faktor tersebut, dan ingin mengajak kita melihat bahwa komunitas pers sendirilah yang membuat pekerjaannya semakin kehilangan kepercayaan publik. Praktik jurnalisme yang tidak berorientasi kepada wargalah yang membuat wartawan ditinggalkan, bukan hanya karena populisme, bukan karena Twitter, bukan karena apapun yang lain.
Memberitakan selebritas pindah agama bukanlah kepentingan publik. Melakukan liputan dengan dibiayai perusahaan otomotif adalah pekerjaan humas, bukan wartawan. Mencatat dan mersikulasi apapun komentar politikus adalah tugas notulen, bukan wartawan. Menanggapi kritik pembaca atas kerja jurnalistik dengan mengatakan “tendensius, kasar, dan tidak fair” adalah mentalitas anti-kritik. Kesemua contoh-contoh tersebut bukanlah potret jurnalisme yang berorientasi kepada warga. Dan inilah yang menggerus kepercayaan publik.
Menurunnya kepercayaan publik terhadap pers bisa kita simak lewat beberapa fenomena. Hari ini, mereka yang menyerang pers tidak melulu datang dari negara, tapi juga aktor-aktor non-negara. Gangguan atau bahkan pengusiran terhadap wartawan yang meliput dilakukan oleh warga, tidak lagi aparat. Kini, pembaca memperlakukan berita secara favoritisme: hanya memvaluasi berita yang mendukung keyakinan mereka; bukan karena perangkat profesionalisme yang melekat pada profesi wartawan yang menjadikan sebuah berita bisa dipercaya.
Kalau pers kehilangan kepercayaan dari publik, kerugiannya bukan saja akan dialami oleh komunitas pers—misalnya ditinggalkan—tapi juga pada jalannya demokrasi. Semakin dianggap tidak pentingnya pers adalah gejala sakitnya demokrasi. Maka, mengembalikan kepercayaan publik terhadap pers adalah agenda utama yang perlu dilakukan oleh komunitas pers.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana mengembalikan kepercayaan pembaca? Bagaimana hubungan yang buruk ini bisa diperbaiki? Jawaban yang lebih jitu, saya kira hanya bisa dijawab oleh komunitas pers sendiri. Namun dari sudut pandang pembaca, saya berpendapat bahwa melibatkan warga lebih substantif dalam kerja jurnalisme adalah agenda yang perlu dilakukan. Mengajak warga terlibat bisa dimulai dari hal yang paling sederhana: kenalkan soal jurnalisme, cara kerja wartawan, apa pentingnya jurnalisme bagi keseharian warga, sampai melibatkan warga dalam memproduksi berita.
Sayangnya, selama ini komunitas pers lebih dipusingkan oleh masalah-masalah lain sehingga membuat isu kepercayaan publik tidak mendapat perhatian yang layak. Saya jarang menemukan upaya komunitas pers dalam memperbaiki hubungannya dengan publik semenonjol upayanya dalam hal-hal yang lain. Sedikit sekali wartawan atau organisasi pers yang membela hak pembaca dengan mengkritik praktik jurnalisme yang ngawur. Hak pembaca tidak dibela sekeras ketika wartawan memperjuangkan hak perburuhan mereka atau membela rekannya yang kerja jurnalistiknya dihalang-halangi.
Di tengah segenap masalah yang mendapat perhatian, urusan bertahan hidup selalu menjadi prioritas. Era digital yang telah mengubah ekosistem media memang mempengaruhi bisnis pers. Namun terlalu beratnya perhatian pada upaya bertahan hidup inilah yang kerap menjauhkan—kemudian menjadi justifikasi—pers pada kerja melayani warga.
Saya jadi teringat pendapatnya Jay Rosen yang mengatakan bahwa di dalam dunia pers, yang terberat bukanlah bertahan dalam bisnis, melainkan bertahan dalam jurnalisme. Kalau yang pertama logika ekonomi ditaruh sebagai prioritas, yang terakhir menjadikan prinsip jurnalisme sebagai prioritas.
Prinsip jurnalismelah yang membuat pers selalu punya harga. Dengan bertahan dalam jurnalisme, komunitas pers sebenarnya sedang merawat hubungan dengan publik. Maka bertahan dalam jurnalisme adalah cara untuk merebut kembali kepercayaan publik.
*Tulisan ini sudah dimuat sebelumnya dalam buku Refleksi Dua Dekade Kebebasan: Catatan Masyarakat Sipil atas 20 Tahun Kebebasan Pers (2019).
Sumber foto: dari sini.
Buku “Refleksi Dua Dekade Kebebasan: Catatan Masyarakat Sipil atas 20 Tahun Kebebasan Pers”, apakah tidak diperjualbelikan secara publik?
Setahu saya tidak dijual. Untuk info lebih lanjut lebih baik menghubungi AJI Indonesia langsung. 🙂