Hari ini ia lain. Suara sengaunya menyenggol gendang telinga, ”Ke mane luh, ge?”. Begitu rentet suaranya cepat ketika saya melintas di halaman matanya.
SEPOTONG senyum biasanya cukup untuk menanggapi sapaannya. Benar saja. Seperti sudah dijawab, ia kembali berujar meramahi, ”Ati-ati ye luh!”. Dan mata kami beradu beberapa saat. Beradu mata bak dua orang karib-kental-veteran-perang yang jarang bertemu. Bak veteran pula, matanya seakan bicara, ”Masa mudaku liar”.
Setelah berjalan menjauhi dan membelakanginya, tanpa menoleh saya tahu apa yang dia kerjakan selanjutnya: tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau ada orang lain di sebelahnya, tak ketinggalan dia kata begini, ”Udah gede Si Toge”. Sering ia ucap itu, bahkan di tiap tahun umur saya.
Hari ini ia memang lain. Dan kelainannya ini tidak aneh. Memang begitu ia bersikap ketika sedang ’normal’. Biasanya lelaki plontos itu jarang menyapa. Sekalipun menyapa, bicaranya kabur, pandangannya tidak terarah, dan nafasnya bau alkohol murahan. Alkohol murah yang ngetop dengan label AO.
Sosok yang baru saja saya tuliskan adalah preman kelas teri yang dekat dengan keseharian saya di depan rumah. Orang-orang memangilnya Hasyim. Tapi saya lebih akrab dengan nama Iwan.
Bang Iwan – begitu biasa saya sapa – sudah belasan tahun menguasai lahan parkir di depan rumah saya. Sudah beratus, bahkan beribu botol AO ia tenggak di ’kantornya’. Namun tiap tahun pula – khususnya di bulan puasa – Ia berkata ingin berhenti minum. Sebuah cita-cita yang belum pernah kesampaian
Hari ini Bang Iwan lain. Pandangannya lurus, nafas alkohol diganti bau mulut, dan lafalnya jelas namun tetap sengau. Senyumnya yang lepas memamerkan deretan giginya yang tidak lengkap. Dengan perut buncitnya, ia tetap gesit mengejar mobil yang hendak keluar parkir. ”Terusssssss….!”, jeritnya mengisi sudut kecil di Petojo, Jakarta Pusat.
hihi, Toge 🙂 :)pengen deh bisa baca lanjutannya, punya gambaran lain dari sang tukang parkir yang biasa kita pandang sebelah mata, Roy :)skrng dia teh masih tobat ato uda balik lagi?untung gw ga pernah ktmu tukang parkir se 'sangar' itu, padahal sering bolak balik ke Petojo, hehe 🙂