Ponselku berbunyi santun dan sertamerta membikinku bergidik. Kubaca dengan cemas isinya dan benarlah kecemasan itu. Aku rasakan tenaga di kaki menguap setelah pesan yang cuma sepotong itu selesai kubaca:
_____________________
Mas, Opa sudah pergi…
Pengirim:
Mama
+628149090803
_____________________
TAK terkejut aku mengetahui kedukaan ini. Aku memang sudah mengira sebelumnya, jauh sebelum hari ini mampir. Setelah mendengar Opa dirawat di St. Carolus karena diseruduk mobil patroli Satpol PP, aku tahu, saatnya sudah tiba. Jadi aku sama sekali tak terkejut dengan SMS dari Mama itu. Yang membuatku terkejut – bahkan amat sangat terkejut – justru ketika kemarin lusa tahu bahwa Opa ditabrak di atas zebracross, sebuah tempat yang menurut Opa paling ramah.
Opa memang dikenal oleh kami keluarganya dan masyarakat sekitar rumah sebagai orang yang giat mengkampanyekan budaya tertib berlalulintas. Bukan saja giat, tapi juga resek dalam hal ini. Ia tak segan berkata jorok dan makian pada pengendara sepedamotor yang seenaknya melintas di trotoar. Dengan santainya ia bisa menghampiri dan mengetuk kaca jendela mobil yang seenaknya buang sampah di jalan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bisa amat menyakitkan dan menjijikan. Tapi terhadapku, tak pernah kudengar darinya sehuruf, bahkan senafas pun, yang terkesan kasar atau menakutkan. Sebaliknya, tuturnya amat santun dan patut, hingga waktu ingusan dulu aku mengira ia menyortir kata dari kamus sebelum berbicara – yang kemudian kudapati bahwa aku keliru setelah membongkar isi tasnya atau meraba-raba kantong celana dan saku kemejanya, berharap menemukan kamus kecil atau buku saku.
Ia juga seorang dramawan yang baik – aku tak lupa soal ini. Begini ceritanya: pernah waktu aku masih duduk di kelas 3 SD, seperti biasa ia mengantarku berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya tak lebih dari duapuluh kali kabel gulungan dari rumah. Di tengah gang satu arah itu kami berhadapan dengan sepedamotor nekat yang berkendara melawan arah. Dengan spontannya Opa sengaja melebarkan jarak gandengan tangan kami agar sepedamotor itu tak bisa lewat. Berciuman dengan lembutlah roda sepedamotor buatan Jepang itu dengan telapak sandal Opa yang buatan Cina. Ketika sang pengendara membuka kaca helm, Opa memaki garang, “Tolol kamu! Bagaimana kamu bikin kamu punya mata sampai tidak melihat plang verboden di depan sana!?”, sambil menoyor kepala pengendara itu dan berlanjut lagi kekinya, “Sontoloyo!”.
Kemudian di hadapan tolakpinggang Opa, pengendara itu menjadi gentar. Diputarkannyalah sepedamotor buatan Jepang namun joknya permakkan Sawah Besar itu dengan perlahan. Tolakpinggang Opa baru reda setelah sepedamotor itu hilang menyelinap ke tikungan.
Opa pun terbahak bangga dan menanyakan pendapatku, “Bagaimana ekting Opa, Mas? Tidak kalah dengan Steven Seagel kan? ”. Belum kujawab, dan Opa tenggelam lagi dalam tawanya sambil kembali menuntunku sampai ke gerbang sekolah.
Papa malah punya cerita lain mengenai keganjilan – bagiku keheroikan – Opa. Dalam suatu kesempatan makanmalam, rupanya Papa senewen besar terhadap Opa akibat kejadian tadi siang. Senewennya itu dibawa-bawa hingga makanmalam yang berbuntut debat dengan Opa – di keluargaku, debat, bahkan dengan yang lebih tua sekali pun, diperbolehkan, malah diwajibkan.
“Apa Bapak pikir perbuatan Bapak tadi itu tepat?”, mulai Papa mengajukan tanya kepada Opa yang sedang duduk di kursi kebesarannya, persis sebuah persidangan.
Menjawab lelaki bernama Slamet itu Opa terkesan santai, “Perbuatan yang mana, Met?”.
“Soal tadi siang di mobil. Di lampumerah. Untuk apa sih Bapak turun dari mobil dan memberi kotbah anak muda bersepeda motor itu?”, nada Papa masih senewen.
“Oh. Itu bukan memberi kotbah, Met. Itu mengomeli namanya.”
“Terserah Bapak. Mau kotbah kek, mau ngomel kek, yang jelas aku malu! Masih untung orang itu tidak balik mengomel atau bahkan menjotos Bapak. Bisa repot urusannya!”, aksi cuek Opa membuat Papa makin senewen.
Pendek cerita, ternyata ketika Papa dan Opa di lampumerah, di mobil, Opa melihat seorang anak muda berkendara sepedamotor berhenti di depan garis stop, bahkan sampai ke areal zebracross. Seperti tabiatnya yang biasa, turunlah Opa tanpa ragu dari mobil, menghampiri orang itu, mengomeli dan menjewernya supaya memundurkan sepedamotor hingga ke tempat yang patut.
“Itu bukan kampanye budaya namanya, tapi pemaksaan keyakinan!”, Papa menutup debat dengan sewot. Dan kami sekeluarga menutupnya juga dengan cara sendiri-diri: aku dan Ririn tertawa mengakak, Mama tersenyum mengeleng-geleng, dan Opa cekikikan hingga terbatuk.
Bertahan selama 2 hari di ruang ICU, bagi seorang lelaki tua macam Opa adalah sebuah kehebatan tersendiri bagiku, dan mungkin juga bagi keluargaku: Papa, Mama, Ririn adikku semata wayang yang duduk di bangku kuliah, juga kerabat yang lain. Sikapnya yang menolak tunduk pada nasib seperti ingin menunjukkan agar kami meniru laku hidupnya. Bagaimana tidak, Opa bukan saja mampu bertahan dalam ketidakpastian hidup, tapi ia justru masih sempat menghibur kami dengan senyumnya. Satu senyuman seorang yang tergeletak kritis mungkin sebanding dengan 2 kali naik-turun Gunung Gede secara maraton. Tapi Opa tidak memperlihatkan itu, dan melakukannya dengan tulus, seolah-olah ingin berkata, “Opa masih kuat kok”.
Terhadap senyum Opa itu, kami sekeluarga cuma bisa membalasnya dengan senyum pula, disertai airmata dan doa tentunya. Airmata – juga airkeringat – kami makin deras tatkala tahu bahwa kecelakaan itu dinyatakan sebagai kesalahan Opa oleh polisi.
“Anda menjadi polisi dengan pendidikan atau menyogok? Apa tidak pernah anda baca dalam ilmu marka jalan bahwa zebracross itu tempat untuk menyeberang?”, cecarku galak meniru Opa ketika di kantor polisi, siang hari setelah kecelakaan.
“Bung Onath, Bung harusnya tidak membiarkan lelaki setua ini keluyuran sendirian. Bung kan tahu sendiri kalau jalanan di Jakarta itu kejam. Di mana Bung berada ketika terjadi kecelakaan?”, polisi muda berpangkat Sersan Dua itu malah berbalik tanya.
Kontan aku langsung menubruk dengan nada tinggi, “Apa anda merasa bahwa saya perlu dituntut karena lalai menjaga Opa saya, sehingga pertanyaan tadi muncul dari mulut anda? Sebegitu tunduknyakah polisi berpendidikan seperti anda pada peraturan formil yang multitafsir itu ketimbang tunduk pada perasaan sendiri? Bapak Sersan yang budiman, sekali lagi saya katakan, Opa saya ditabrak di zebracross, bukan di lintasan balap!”.
Teman polisi itu rupanya gentar melihat mataku yang penuh marah, sehingga dibatalkannya menjawabi aku, yang kemudian yang berpangkat Sersan Dua-lah yang menjawab lagi, terus menerus. Begulat kata aku dengan dia. Aku cukup bengis.
Rupanya polisi berpendapat bahwa Opa menyeberang pada saat yang tidak tepat, yakni ketika kendaraan sedang laju-lajunya. Mereka menegaskan berulang kali bahwa Opa tidak mau bersabar menunggu jalanan agak lenggang baru menyeberang.
Aku tahu sendiri prinsip Opa soal zebracross. Bukan saja tahu, tapi aku masih hafal bahwa baginya, pejalankaki adalah raja ketika menginjak zebracross. “Kamu tidak perlu ragu menyeberang bila di zebracross. Sudah sepatutnya para penguasa jalanan itu sejenak memberi tempo pada pejalankaki ketika di garis putih-hitam itu”, suara Opa lamat-lamat menggema dalam tenggorokanku.
Oping, petugas Linmas di kompleks kami pun terkejut besar ketika tahu Opa kecelakaan. Sepulangku dari kantor polisi, Oping sudah nangkring di depan pagar. Rupanya ia menungguku untuk mencari informasi soal Opa.
“Mas Onath, bener kagak Opa Pram dihajar mobil patroli Satpol PP ‘eni pagi? ”, tanya Oping dalam Betawinya yang kental.
“Benar Bang Oping. Gak ada yang bertanggungjawab. Polisi malah menyalahkan Opa yang tidak sabaran katanya”.
“Berarti bener ye ceritanya si Mansur soal Opa Pram. Saya emang empet banget tuh ama Satpol PP! Romannya suka sok jago! Kasihan ye Opa Pram, Mas Onath…”
Kujawab hanya dengan anggukan pelan sekaligus minta diri masuk ke dalam rumah.
Berangsur-angsur wajah tua Opa semakin jelas pada ingatanku. Bila semula hanya bayangan atau sesapu kuas, kini menjadi raut sesungguhnya, lukisan seutuhnya, lengkap dengan keriput dan uban, juga beberapa helai rambut rontok di bahu kemejanya.
Badannya tidak pernah terlihat bungkuk ketika berjalan. Sebagai mantan atlet posturnya pun tetap terjaga. Bugar dan proporsional. Tidak juga tergantung kacamata pada pengelihatannya. Ia juga hafal nama-nama warga di kompleks, terutama yang sering datang pada pelatihan lalulintas yang sering Opa adakan di rumah Pak Syukur, Ketua RT kompleks. Sebagai duda pun, ia tidak cengeng, merengek, meratapi dirinya yang cuma sebatang setelah ditinggal Oma 12 tahun yang lalu.
Opa Pram akan dikubur di sebelah makam Oma, seperti pintanya dulu. Aku memang bersedih karena kepergiannya. Terlebih kepergiannya ketika aku sedang merencanakan pesta pernikahanku dengan Wulan tahun depan. Cita-citaku untuk membiarkan bocah-bocahku yang gemuk bermain dengan Opa-nya, berkejaran dengan Opa-nya, bahkan mengulang masa kecilku dulu: mengantarku ke sekolah, memaki ‘monyet’ pada supir taksi yang menerobos lampu merah, dan mencegat pengendara sepedamotor di gang satu arah, kandas sudah. Aku harus mengusir impian macam itu yang mungkin akan menyerang di dinginnya malam.
“Tlulululut…tlulululut…tlulululut…”, ponselku berteriak kencang.
”Mas, di mana? Mama dan Papa dari tadi menunggu di rumah sakit. Cepatlah Mas ke sini!”, terdengar suara lirih di seberang sana, suara Ririn adikku.
Oh wow. Sampe 'masuk' bacanya.. Ceritanya ninggalin kesan yang nancep banget.Emang mantabz ko Roy 🙂
Makasih, Len..