KAMIS malam – orang Indonesia lebih senang menyebutnya ‘malam jumat’. Di lembar kalender terpampang gamblang: angka empatbelas bulan delapan. Para Pramuka sedang asik merayakan hari jadinya. Di sudut lain, sekelompok muda juga asik merayakan sesuatu. Bukan hari jadi, melainkan merayakan bunyi – atau malah turut merayakan keheningan (?).
Mereka adalah komponis-komponis muda yang mengolah diri untuk terus bersahabat dengan gagasan – tentunya gagasan musik. Menekuni dunia ide memang butuh tekad dan stamina yang besar. Tak jarang para penekun itu mundur pelan-pelan setelah mengetahui bahwa dunia instan lebih mudah digauli, namun miskin pemaknaan. Nah, di tengah gejala-gejala semacam itu, maka kiranya para penekun gagasan perlu berada dalam satu kelompok atau komunitas. Di dalam koloni macam itulah, simbiosis mutualisme untuk saling memberi, menguatkan, kemudian meneguhkan dalam jalan hidup berkesenian terjadi begitu erat. Seakan tak ada habisnya energi untuk tetap bertekun. Eneri-energi tersebut kemudian lebur dalam satu perguyuban para komponis muda berama The Circle.
Dalam tajuk Infinity, kelompok yang dibidani oleh mahasiswa Jurusan Komposisi Fakultas Seni Musik Universitas Pelita Harapan (UPH) ini menggelar pagelarannya yang kedelapan di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur. Kali ini penampilnya bukan saja dari UPH, tapi juga Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
The Circle dimentori oleh komponis Otto Sidharta. Karya-karyanya pun tentu saja berpijak pada nilai kebaruan, avant-garde. Mencari bentuk, mencari wajah, mencari diri. Main-main, tapi juga sebuah main-main yang dikerjakan secara serius. Itulah kesan yang timbul bila mencicipi karya-karya seni macam ini. Ada saja keterkejutan yang terjadi.
Saya mengikuti jejak kelompok ini sejak tahun berdirinya. Tidak semua konser saya sambangi, memang. Tapi setidaknya cukup sering saya hadir pada konser-konser mereka, bahkan berlanjut pada ketagihan untuk hadir pada konser tunggal para anggotanya. Sederhana saja alasannya: berharap menangkap ide.
Sesekali saya memang terkejut kagum pada beberapa karya, tapi tak jarang juga mencemooh. Ada kalanya tercengang, ada kalanya sengaja melupakan. Geliat mereka belum sepenuhnya serius. Ada yang berkarya secara serius, ada juga yang berkarya karena alasan studi semata. Sehingga ada beberapa karya yg dalam pemaknaannya tidak jelas. Wujud karya sah-sah saja bila absurd, tapi rasanya tidak tepat bila tujuan/pemaknaan karya tersebut juga absurd bagi komponisnya sendiri.
Misalnya saja, sang komponis tidak tahu apa tujuannya sendiri ketika mencipta. Sehingga tujuannya baru ada ketika karya baru selesai dicipta. Spekulatif sekali. Analoginya mirip seperti ahli farmasi yang membuat obat, tapi tidak tahu untuk apa. Dia baru tahu kegunaan obat ketika obatnya sudah jadi. Oh, ternyata bisa begini ya? Eh, bisa begini juga loh.
Dalam sebuah karya bukankah ini terlalu spekulatif? Membiarkan diri dituntun intuisi adalah bohong belaka. Faktor intuitif pasti selalu ada, namun faktor itu baru timbul ketika sudah ada dorongan. Dorongan itu bisa berupa gagasan, tujuan, makna, atau bangunan-bangunan konstruktif lainnya. Namun bila itu semua tidak ada, mungkinkah intiuisi menuntun pada arah yang tepat? Bukankah sama saja menyerahkan sepenuhnya nasib pada angin? Yang tidak tentu arah, tidak tentu maksud.
Karya-karya dari Nikanor Ranggesajuli Hariprawiro, Andreas Arianto Yanuar, dan Iswara Giovani – ketiganya karya yang memikat saya secara auditif – adalah karya yang dimaksudkan di atas. Saya tidak menemukan relevansi apapun dari karya mereka dengan judul dan teks deskripsi. Bahkan saya menduga, teks dan judul baru hadir ketika karya sudah hampir rampung. Sehingga pemaknaan yang saya tuntut tidak serta merta hadir secara baik seperti hasil auditifnya. Namun sungguh, secara auditif karya mereka amat menakjubkan.
Karya seni yang lahir – entah itu puisi, novel, lukisan, patung, tari, juga musik – pastilah oleh penikmat dicari idiom-idiom yang melekat pada karya untuk dicari kompensasinya pada dunia riil. Penikmat sering kali berusaha untuk menarik persamaan antara bahan yang dipakai dalam karya dengan bahan yang ada dalam dunia realitas. Karena karya seni pun – sekali pun itu khayalan – dikonstruksi sedemikian rupa dari bahan dunia nyata. Proses kreatif sebuah karya seni pastinya melibatkan manusia, yang tentunya melibatkan nilai sosial. Nah, itulah maksudnya.
Misalnya pada karya Nikanor, Hutan, Air, dan Jalanan yang diperuntukkan bagi musik elektronik. Dibuka dan ditutup dengan suara air. Mendengar karya ini dalam mata tertutup, pastilah merangsang imaji pendengar untuk memunculkan sebuah lanskap tentang sesuatu, bisa hutan, kota, alam mimpi, terowongan keretaapi, sungai, atau apapun. Namun apakah karya ini memperhatikan azas waktu juga logika? (Karena karya soundscape tidaK terbebas dari ikatan waktu. Bagaimana pun ini merupakan karya yang memotret alam, kehidupan, memotret waktu).
Karya seni memanglah sebuah fiktif, sebuah rekaan, sesuatu yang dikarang-karang, dibuat-buat. Tapi bukan berarti rekaan itu kemudian mengandung kebohongan. Dalam karya ini, Nikanor menampilkan beberapa seting, salah satunya malam hari. Tentu pula bunyi penunjang suasana malam ditaruh olehnya. Hewan dan suara alam diletakkan di tempat yang tepat secara auditif. Namun apakah Nikanor memperhatikan fakta logis yang mewarnai seting? Telitikah dia ketika meletakkan suara jangkrik bersanding dengan suara-suara malam lain? Maksudnya, apakah benar secara habitat jangkrik hidup dalam alam yang digambarkan Nikanor dan berdampingan dengan hewan yang suaranya timbul dalam karya?
Azaz waktu pun tidak jelas. Apakah suasana yang berubah-rubah itu memperhatikan konsep waktu: siang, sore, malam, sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu. Bunyi hanya hadir secara mengalir. Terlalu spontan.
Karya Andreas berjudul Jembatan cukup membayar kegelisahan saya sebenarnya. Karya ini dibawakan oleh flute, oboe, klarinet, horn, dan fagot. Pasalnya saya was-was sekali bila kesemua karya yang ditampilkan selalu meminjam kekuatan mesin dari bunyi-bunyian elektronis. Saya melihat maraknya karya berbahanbaku elektronik dari para komponis muda ini adalah sikap berlindung di balik ketidakmampuan menciptakan komposisi untuk instrumen normal. Walau tetap butuh ketajaman musikal dari komposisi yang menggunakan elektronik, tapi setidaknya pada tahap ekplorasi bunyi dan presentasi karya, hal ini tidak menjadi terlalu masalah ketimbang komposisi untuk piano, biola, atau instrumen lainnya. Karena trik trial and error berlaku di elektronik.
Karya elektronik pada hakikatnya adalah alternatif mencipta di kala instrumen normal tidak mampu mengakomodir ide. Namun pada komponis muda yang belum fasih, musik elektronik adalah upaya menutup kelemahan musikal. Dan lagi, musik elektronik adalah cara aman untuk menampilkan karya persis seperti apa yang diinginkan komponis. Karena tidak bergantung pada kualitas interpreter seperti layaknya instrumen normal.
Karya Andreas yang membayar kegelisahan saya ternyata tidak bertahan cukup lama. Dan kenyamanan saya terhenti ketika karya sudah selesai dibawakan. Padahal, warna musik dan karakter dari musik Andreas amat khas, amat lain dari kespuluh karya yang ada. Saya pun mengendus keunikan dari karyanya yang sesekali bersifat scherzo, namun tak jarang memperlihatkan kemurungan.
Deskripsi karya menerangkan kalau jembatan yang dimaksudkan dalam karya Andreas ini adalah sebuah monumen kesetiaan yang bersaksi bisu terhadap semua pergolakkan yang terjadi di Jakarta. Jembatan ini menghubungkan pusat kegiatan para wakil rakyat dan pusat kegiatan para penggerak muda. Namun ada juga jembatan yang dimaksudkan sebagai monumen hidup bagi kehidupan personal sang komponis.
Komposisi ini seperti disusun berdasarkan fragmen-fragmen. Namun sayang fragmen yang disajikan tidak terkait dengan rapih satu sama lain. Ada kebingungan dalam menafsirkan jembatan dalam beberapa pengertian komponis. Tidak ada kesinambungan secara filosofos – tapi tidak secara auditif – antara jembatan pengertian pertama tentang monumen pergolakan sosial kota dengan pengertian yang menyoal monumen hidup sang komponis. Terlalu lebar bermain dalam dua permasalahan yang sama-sama kompleks. Dan ini yang tidak utuh terjalin.
Karya Iswara pun sama menariknya secara auditif – bahkan visual. Komposisinya yang berjudul Glam ini menyertakan 3 orang penari kontemporer, Yofan, Ningsih, dan Poppy. Namun sama seperti Nikanor dan Andreas, saya tidak berhasil menemukan pemaknaan di dalamnya. Antara kalimat deskripsi yang diberikan Iswara pada buku program tidak jelas maksudnya dengan visual gerak yang dikoreograferi oleh Asri Merry Sidowati. Mengajak berpikir penikmat bukan berarti menyesatkan untuk tidak memahami isi teks. Selain itu juga tidak jelas, komposisi musik ini berdasarkan tafsir terhadap gerak, atau komposisi gerak yang disusun berdasar tafsir terhadap bunyi.
Sedang karya-karya dari Yovial Tri Purnomo Virgi (Twank!), Eric Liunardus (Nighthalo), dan Patrick Gunawan (Flute and Interactive Computer) lebih bersifat ekperimental. Mencari-cari kemungkinan bunyi dan struktur. Bangunan musikal mereka belum sejelas tiga karya yang tadi dibahas.
Karya berjudul Dag Dig Dug dari Fero Aldiansya Stefanus tidak melayani telinga. Namun dari segi pemaknaan, saya mengalami filosofi yang amat mendalam pada karya yang diperuntukkan bagi snare drum, analog metronome, dan amplified stethoscope ini. Dialog yang terjadi antara snare drum yang diolah dalam berbagai bentuk bunyi dengan analog metronome dan amplified ini amat membosankan. Namun saya mampu masuk pada pemaknaan yang dimaksud komponis yang tersurat pada teks: Selama kita masih ingin mendengar, kita akan terus mendengar. Sekalipun kita tidak ingin mendengar, kita akan terus mendengar.
Suara detak jantung yang menyahut suara snare drum menjadi sebuah suara yang sering kita abaikan. Padahal suara yang kita buat sunyi itu, justru terletak paling intens dengan keseharian kita.
Zaki Andiga lewat karya elektroniknya berjudul Azrael’s Playground menampilkan kelengkapan dengan sempurna, saya kira. Konsepnya sangat jelas dan tahu apa yang dituju dari komposisi. Zaki tidak berpretensi macam-macam pada karyanya untuk terlihat filosofis. Sehingga karyanya memang tampil tanpa beban. Suara register rendah yang dipadu dengan suara-suara yang mengejutkan seperti mengaduk-ngaduk rasio dan rasa penikmat. Dan tak heran menciptakan efek mual. Dan saya tercengang.
Dua karya lagi, Morbidezza (Donny Karsadi) dan Urbanvest (Andreas Arianto Yanuar dan Zaki Andiga) juga turut hadir memanjangkan durasi konser malam itu yang mencapai hampir 3 jam. Dan malam berangsur-angsur turun makin legam. Mungkin turut merayakan, yang entah apa itu.
Wah, review yang bagus.Salam kenal yah. Main instrument apa selain gitar?Silahkan mengunjungi blog flute & oboe saya di http://orinocohafen.wordpress.com/Thank you. 🙂
halo bung….sayang gw gak nonton konser itu… sepertinya materinya cukup berat ya, dengan durasi yang juga cukup panjang…
Good observation, Roy. Saya tidak mengenal karya2 mereka, tapi sekitar 10 th lalu saya mengamati karya2 “komponis” Indonesia, dan ternyata masih sama sampai sekarang (kalau membaca blogmu) : mereka masih doyan “eksperimen” yg aneh2. Karena anda membandingkan mereka dgn seorang apoteker, saya bisa membandingkan mereka dgn para scientist : yang harusnya dijual ke publik itu HASIL eksperimennya. Kalau masih eksperimen, ya sana berkutet saja di laboratoriumnya ! Kedua, “yg aneh-aneh” itu seringkali adalah satu aksi bahwa sebenernya para “komponis” itu nggak bisa nulis melodi atau harmoni yang “normal” dengan baik. Kalau mau yang njelimet, coba aja yg simple dulu. Bisakah bikin 2-part fugue dengan baik ? Keep on blogging, Roy. Bravo !
By the way, mungkin anda tertarik baca artikel saya tentang “musik kontemporer” (a.k.a “musik masa depan”) di blog saya : http://andystarblogger.blogspot.com/2007/06/emperors-new-clothes.html
Bung Roy yang saya hormati, juga Mas Ananda yang juga saya kagumi dan hormati, ijinkan saya untuk sedikit memberi komentar di ruang tulis yang cukup terbatas ini. Dan ini sama sekali bukan sebagai bentuk pembelaan diri karena saya termasuk di dalam kelompok para komponis muda The Circle yang konsernya diulas oleh Bung Roy dengan sangat kritis. Karena saya sendiri di luar musik eksperimental ini pun tetap membuat aransemen-aransemen musik gereja dan memimpin kelompok musik kamar di sana, di luar band blues yang masih sering main di beberapa panggung. Namun kebutuhan untuk terus bereksperimen dengan musik tidak bisa lepas dari darah saya..apa salahnya dengan eksperimen? apa salahnya dengan kehadiran para ilmuwan? apa salahnya dengan menawarkan produk yang berbeda? apa semua ilmuwan harus menjadi apoteker?apa semua musik harus punya harmoni dan melodi?hal yang sederhana saja, bagaimana dengan marching band yang hanya memiliki unsur ritme dan warna suara yang berbeda-beda dalam ensembel nya?Contoh kecil dalam hal musik eksperimental ini: teknik permainan biola yang digunakan oleh Penderecki pada karya-karya orkestra “eksperimental”nya sangatlah tidak merdu. Namun ternyata teknik yang sama dapat diterapkan oleh Howard Shore dalam musik ilustrasi untuk film Lord of the Rings di bagian-bagian suramnya film itu yang hanya dapat digambarkan dengan cara itu. Berarti Penderecki = ilmuwannya, Shore = apotekernya, sama aja kan? Dan bukan berarti karya Penderecki tidak dapat dijual ke publik. Bukan begitu? mungki memang publik baru bisa “memaklumi” karya Penderecki itu setelah menikmatinya dalam konteks musik ilustrasi Shore di film itu.zaman akan terus bergulir, lihat saja karya para seniman rupa dan para pelukis, apakah mereka mau terus berkutat pada bentuk yang sama seperti pada zaman para pendahulunya yang lebih realis?apakah mungkin akan ada orang yang tertarik untuk menjadi ilmuwan, bila tidak ada satu pun ilmuwan yang diekspos biografi dan karya-karyanya?apakah mungkin akan ada pula orang yang tertarik untuk menjadi seniman jika tidak ada seniman dari tiap zaman yang dipublikasikan hasil karya dan kisah sejarah hidupnya?masalah apakah orang-orang akan ada yang berminat menjadi seniman seni murni, atau sekadar menjadi desainer, atau hanya menjadi penikmat saja, itu kembali ke masing-masing pribadi, namun bukan berarti karya para seniman seni murni itu tidak signifikan, bukan?apakah kehadiran filsuf seperti Socrates, Aristoteles, Plato dan kawan-kawannya memberi kemudahan bagi orang-orang di sekitarnya dalam mencari nafkah? tidak pernah! apakah kehadiran J.J. Rousseau dan kevokalannya di dunia sastra-sosial-politik serta merta membuat rakyat Perancis hidup lebih bahagia? Sama sekali tidak! Namun lebih dari itu, mereka lah yang menjadi agen perubahan.Demikian pula dengan kehadiran para orang yang disebut sebagai “komponis” dengan tanda kutip itu, mungkin tidak akan memberi sesuatu secara langsung bagi masyarakatnya, namun mereka adalah agen perubahan!Tugas kita para musisi adalah bagaimana menyampaikan informasi itu kepada masyarakat, agar perubahan itu dapat bergulir, dalam skala sekecil apapun.