SEJAK istilah ‘World Music’ diluapkan dari bibir seorang Robert E.Brown di tahun 1960, untuk mengkategorikan sebuah aliran musik yang berbasiskan musik tradisi dalam industri musik, genre ini menjadi ladang ‘usaha’ baru yang seakan punya pesona tersendiri. Lalu bermunculanlah berbagai macam kelompok dan individu mengibarkan panji world music sebagai identitas bermusiknya. Ada yang serius, ada yang hanya mencoba peruntungan. Mengais peluang dari sebuah tren. Seperti halnya dalam dunia film Indonesia, yang sering latah tematis. Kali ini latahnya bertema ‘setan-setan-an’ dan ‘komedi seks’.
Budaya mengekor kesuksesan memang suatu hal yang bisa dipandang positif, atau negatif sama sekali. Selama mengekor tersebut dimotivasi sebuah tekad kuat untuk berkarya, bukan sekedar mencoba peruntungan, hal itu kiranya positif dan sah-sah saja dilakukan. Tapi tak sedikit budaya mengekor tersebut dilandasi mental instan untuk meraih kesuksesan. Motif berkarya kemudian bukan dilandasi demi kecintaan terhadap pekerjaan, tapi sekedar kecintaan terhadap kesuksesan semata. Dalam dua kutub ini, di mana kelompok musik Mahagenta bersikap?
***
Andrew Lloyd Webber (1948) adalah salah satu komponis yang mewarnai dunia musik film yang terkemuka di abad ini. Selain musiknya dipakai dalam film Evita (Don’t Cry for Me Argentina), Jesus Christ Superstar (I Don’t Know How to Love Him), dan Cats (Memory), buah karyanya yang lain, yang tak kalah terkenalnya adalah Phantom of the Opera (PotO). Webber sang komponis Inggris ini menggubah PotO berdasarkan sebuah novel karya pengarang Prancis Gaston Leroux yang terbit pada tahun 1911. Karya yang dipentaskan pertama kali pada tahun 1986 di London ini, hingga hari ini, gaungnya masih menggema kuat bagi banyak orang. Popularitasnya membuat karya tersebut kemudian difilmkan, bahkan dibuat sekuel, yang konon meraup keuntungan di atas angka $3 miliar dari seluruh dunia.
Mahagenta, sebuah kelompok musik etnik kontemporer, turut tersihir akan mendunianya karya Webber tersebut. Sehingga, pada 3 Juli 2008 di Graha Bhakti Budaya, Jakarta Pusat, mereka turut menjajal kebesaran karya PotO. Dengan semangat bermusik yang ‘berani beda’, yakni mengusung identitas tradisional, mereka memajang tajuk The Phantom of the Traditional Opera sebagai judul pementasan.
Semangat tradisional inilah yang kiranya perlu dilacak sampai di mana tingkatan ‘ide’ yang membaluri konsep pementasan ini. Karena, kalau dikaitkan dengan wacana di awal tulisan, terlihat ada upaya dari Mahagenta yang membenturkan musik Barat dan Timur, untuk masuk dalam wilayah genre world music. Memang, tidak harus sepenuhnya setuju bahwa musik mereka dapat digolongkan sebagai world music. Karena musik yang mereka bawakan adalah materi Barat, namun dipoles dalam rasa Timur. Bukan sepenuhnya memakai idiom Timur yang dikontekskan dalam semangat globalisasi musik. Jadi, hanya ada dalam tataran aransemen. Tidak lebih.
Ide mereka sebenarnya cukup unik dan amat menarik, baik bagi pecinta musik tradisi maupun musik serius. Bahkan tak mungkin menggoda pecinta musik industri untuk mencari tahu ada bunyi macam apa yang kelar dari judul yang provokatif tersebut. Namun sayang, ketergodaan itu semua harus dibayar pas-pasan oleh Mahagenta. Tak ada sesuatu yang begitu baik yang ditawarkan dalam ide musikal mereka. Ide mengkawinkan musik Webber dengan musik tradisi hanya bermain dalam tataran pesolek. Hanya pemanis dalam menemani semangat bermusik mereka. Tradisional hanyalah sebuah konteks, bukan isi.
Padahal di overture, sempat terendus rasa tradisi yang luar biasa. Suara didgerido (alat tiup dari kayu milik suku Aborigin) yang melolong panjang membuka pentas. Seakan membelah kesunyian gedung konser yang sepi penonton. Lalu disusul denting sitar India, desahan suling, tabuhan sebuah perkusi yang menyerupai kendi, ditambah vokal rasa India. Sebuah menu pembuka yang pas disajikan untuk menjadi perkenalan atau representatif keseluruhan konsep pementasan mereka.
Ternyata apa yang dituntut telinga, tidak dilayani dengan baik oleh mereka. Seusai overture tersebut, yang kemudian muncul bukan dalam rasa yang sama, namun musik band yang menggoyang suasana malam itu. Lagu-lagu PotO dibawakan biasanya dalam 2 versi. Pertama versi asli yang dimainkan dalam format band yang didandani unsur-unsur tradisi seperti penggunaan alat musik bonang, kecapi, kendang, saluang, hasapi Batak, gendang Bali, talempong, rebab, tabla, dan lainnya. Lalu menyusul versi aransemen tradisionalnya. Kadang ada gaya India, Cina, Jepang. Dari Nusantara ada nuansa Betawi, Aceh, Banyuwangi, Bali, Padang, dan lainnya.
Pada versi pertama, unsur-unsur tradisi hanya melayani kebutuhan visual, bukan auditif. Talempong, bonang, rebab, dan sebagainya hanya menyegarkan mata, tapi tak menghipnotis telinga. Bukan saja diakibatkan dari tata suara yang buruk – sepanjang konser, bunyi berdesing selalu ada – tapi dari porsi yang diberikan. Alat-alat musik tradisional tersebut tak ada gregetnya karena ditimpa suara combo. Aransemen lebih menitikberatkan pada combo yang kemudian alat tradisonal menjadi sentuhan terakhir saja. Inilah yang pada alinea di atas sempat disebut musik tardisional hanya dijadikan pem
anis bagi Mahagenta.
Versi kedua pun tak jauh beda penggarapannya. Walau dibawakan dalam gaya Betawi atau Sunda, misalnya, namun karakter baru tersebut sering teradu oleh gaya Webber yang belum dimatikan sepenuhnya oleh mereka. Sehingga peleburan dua kutub musik ini terasa amat menggangu karena tidak sinkron satu sama lain. Ibarat dua orang Jepang dan Rusia yang bercakap-cakap dalam bahasa masing-masing. Tidak nyambung! Yang paling terasa mengganggu adalah olah vokal dari penyanyi bariton yang mengkacaukan karakter yang hendak dibangun bersama. Apalagi intonasi dan artikulasinya yang juga buruk.
Meminjam atau lebih tepatnya mempertahankan penyajian gaya opera, yang tidak terinterupsi oleh apapun – konser ini disajikan hampir 2 jam tanpa ada jeda di tiap lagu – sebenarnya bisa lebih baik kalau mereka mampu membantu penonton memahami alurnya. Hal itu bisa diakali dengan memanfaatkan buku acara untuk menerangkan sinopsis cerita, menulis penggalan-penggalan lirik, dan memberi pemahaman kontekstual mengenai PotO dan pementasan mereka. Tidak terlaksananya hal itu, penonton yang awam menjadi tidak tahu bahwa ada satu rangkaian cerita yang membingkai pertunjukkan, bukan seperti band kafe yang penontonnya bebas datang-pergi. Alhasil, memang ada penonton yang datang-pergi, simak-bicara, melotot-tidur, seenaknya – bahkan menerima telepon!
Mahagenta sebenarnya cukup cerdik, dan tahu bagaimana memberi sedikit sajian yang menghibur. Itu terlihat dari bagaimana mereka yang juga melibatkan penari yang cukup memberi sentuhan artistik. Segi tari pun tak mau kalah dengan juga mengusung identitas etnik. Ada tari Kabuki dari Jepang, tari Topeng, sampai balet. Namun sayang, komposisi di panggung menjadi tak beraturan karena keempat penyanyi tidak menyelaraskan gerakan dan komposisi mereka terhadap penari.
Hiburan lain juga tampak dalam sebuah komposisi yang menampilkan sajian perkusif yang dihasilkan dari sebuah kendi. Kelima personil Mahagenta – dari jumlah keseluruhan yang mencapai belasan – menabuh kendi-kendi yang dari dalamnya menyorotkan sinar. Selain memang secara auditif berhasil, secara visual pun sangat menakjubkan.
Dalam konser yang dikomandoi Henry Surya Panguji sebagai penata musiknya, tidak semua lagu dalam PotO dibawakan mereka. Setidaknya ada beberapa lagu seperti Music of the Night, Angel of Music, Masquerade, Think of Me, dan tentu saja yang paling terkenal, Wishing You Were Somehow dan Phantom of the Opera.
Walau secara ide cukup baik, namun dalam penggarapannya tidak. Banyak urusan teknis dan orkestrasi yang perlu dibenahi. Musikalitas tiap pemain pun mesti mendapat perhatian serius, seperti pada vokal dan pemain kendang yang sering berlebihan sehingga memasukkan bunyi-bunyi aksentuasi ritmis yang tidak pada tempatnya.
Namun, di tengah seragamnya musik masyarakat Indonesia – padahal penduduknya beragam – Mahagenta patut diberi dukungan penuh karena pengamalan bermusiknya pada unsur lokalitas yang sangat konsisten (terbentuk sejak tahun 1996). Kiranya penilaian subyektif ini bisa lebih adil kalau kita juga menilainya bukan dari sekedar urusan bermusiknya saja, tapi pada semangat mereka dalam berideologi. Mahagenta yang digerakkan orang-orang muda memberi warna lain dalam khazanah world music Indonesia yang selama ini lebih banyak diwakili generasi tua seperti kelompok Krakatau dan Discus.
dari 2 postingan anda yang terakhir, “ayo Mahagenta” dan “teater boneka kula”, saya mencerna benar kritikan anda terhadap penampilan keduanya. hmh, patut disadari bahwa orang Indonesia sebenarnya mempunyai banyak ide2 kreatif untuk berlomba2 menampilkan sesuatu yang baru, yang inovatif. tapi sayangnya, mungkin mereka masih terbentur ini itu, dari mulai dana, fasilitas, dll dalam merealisasikannya.tapi tidak mengapa, mari kita doakan agar di masa mendatang seni dan budaya Indonesia menjadi semakin baik lagi, lebih maju lagi, lebih “vulgar” lagi. dan semoga makin banyak lagi penulis2 provokatif/pengkritik seni seperti anda yang sekiranya bisa dijadikan cambuk bagi kemajuan seni budaya maupun aspek2 lainnya di Indonesia.:)