Sedang Apa Kamu, Rizki?

Aku menemukan foto di atas ketika sedang iseng mengaduk-aduk isi bilik foto di komputer jinjingku. Aku berhenti lama pada foto ini. Memaksaku untuk diam, menatap, meneliti isi matanya. Sedang apa kamu di sana, Rizki?

KUTEMUKAN bocah dekil yang periang ini di Aceh. Hanya dua suku kata namanya, Riz-ki. Ia memanggilku Om – yah, aku tak suka dengan panggilan ini. Bocah ini begitu supel dan tidak malu-malu terhadap orang asing. Lewat sikapnya itu ia seperti ingin berkata, mau bersahabat denganku?

Rizki kukenal ketika aku menjadi relawan Obor Berkat Indonesia (OBI) (sebenarnya malu juga dibilang relawan, karena tidak berbuat apa-apa di sana). Sejak Tsunami terjadi, di tahun 2004 aku sudah berniat menjadi relawan, tapi batal karena orangtua tidak mengizinkan. Setahun pasca tsunami, ketika ada penawaran untuk menjadi relawan, tanpa pikir panjang, aku mau. Lagi-lagi orangtua melarang. Tapi larangan mereka kali kedua tak cukup kuat membendung tekadku.

15 Desember 2005 aku bertolak ke Aceh. Setelah terbang ke Medan dari Jakarta, kami – berlima – melanjutkan penerbangan dengan pesawat kecil ke Meulaboh esok paginya. Aku tak tahu persis jenis apa pesawat itu. Hanya tertulis ‘VH-SPG’ di badan pesawat. Dan karena tulisan Mission Aviation Fellowship, tahulah aku itu nama institusi pemilik pesawat ini.

Mungkin kamu bertanya tentang kata ‘berlima’ yang kutulis di paragraf atas. Ya, ada aku yang mengajak Willi Souw. Aldi teman kampusku mengajak temannya pula, Ian namanya. Lalu keikutsertaan Yoan, mahasiswi beda jurusan di kampusku yang asli Aceh menggenapkan keberlimaan kami.

Singkat kisah, dari bandara kecil di Meulaboh yang sudah rusak – tempat di mana kami mendarat dengan jantung kempas-kempis – kami meneruskan perjalanan darat ke Rigaih dengan menggunakan mobil yang memakan waktu kurang lebih lima jam. Yoan tidak ikut, tapi tinggal di Meulaboh untuk membantu posko kesehatan di sana. Sepanjang jalan rusak yang dilewati, pemandangan rumah hancur dan alam yang merintih menghiasi jendela kaca mobil. Aku nyaris menjerit – tentunya dalam hati – ketika melihat sebuah lokasi bekas penjara yang sudah memuing. Sang sipir tewas karena berusaha membukakan jeruji penjara bagi para narapidana ketika tsunami terjadi, tutur Berber, jenderal di Posko OBI di Rigaih yang menyupir.

Sampailah kami di Rigaih ketika langit hampir ditutupi gelap. Para relawan di Posko menyambut dengan hangat. Tak ketinggalan sambutan dari Bongkar, anjing peliharaan para relawan. Di sinilah aku bertemu Rizki. Sesosok bocah yang bagiku amat menarik, juga amat karib dalam bayangku. Ia agak lain dari anak seusianya yang memilih mengintip kami yang asing dari balik tenda-tenda pengungsian. Rizki menyapa, bahkan membantu mengangkat tas kami.

Ketika kaki sang waktu berjalan, ketika itu pula pertemananku dengan Rizki dibangun. Aku ingat ketika di suatu pagi Ia dan beberapa temannya – Dirman dan aku lupa sisanya – mengajakku pergi ke rawa-rawa yang lokasinya berada di belakang posko kami. Ia mengajariku memancing udang dengan kail yang Ia bikin sendiri dari lidi. Gerakan Rizki perlahan, dan hap!, satu udang tertangkap dengan cara mengaitkan benang di ujung lidi ke mata udang. Ia dan teman-temannya menertawakanku ketika berulang kali aku gagal mendapatkan udang. Tawanya juga menderai ketika beberapa kali aku terperosok dalam rawa-rawa. Aku ceritakan ‘petualanganku’ dengan anak-anak Aceh ini kepada para relawan. Mereka cuma berkata kecil, itu lokasi kuburan massal loh.

Tiap sore turun, sepulang aku dari berpergian mengitari Rigaih, Rizki selalu ada dan menungguku di posko. Ia paling senang bila disuruh membelikan sesuatu, entah rokok atau minuman, di warung – dan aku tidak suka Ia disuruh-suruh. Ia juga senang duduk manis di sampingku ketika aku mainkan gitar. Kadang Ia dan teman-temannya meminta lagu dan ikut bernyanyi.

Pernah ketika sedang santai kutanyai Rizki tentang cita-citanya. Ia menjawab sederhana – yang bagiku amat menyakitkan – ingin seperti Bapak, jadi tukang batu. Aku siram semangat padanya. Kuhujani kalimat, cita-citamu harus tinggi…minimal jadi presiden. Rizki cuma tersipu, mesem-mesem, sesekali menyedot ingusnya yang hampir jatuh.

Suatu ketika aku dan Willi dipindahkan ke posko Blang Dalam, sekitar 1½ jam dari Rigaih bila ditempuh dengan mobil. Di Blang Dalam sepi dan kering. Tak ada anak-anak sekitar yang mampir ke posko – emm, maksudku, tak ada anak seperti Rizki. Kawanku, selain para relawan, ‘hanya’ laut dan pasir di tepian Samudera Hindia. Sesekali, kalau beruntung, langit merah oranye juga ungu menjadi teman di kala bola api pulang ke peraduan.

Sekembalinya aku ke Rigaih, Aldi berkata kalau Rizki sering menanyakanku. Tak lama aku dan Rizki mencengkram hari bersama, karena sudah 9 hari aku di Aceh, aku harus pulang. Tak ada air mata ketika kepulanganku. Aku hanya mengusap rambutnya yang apek sambil bersabda, rajin belajar, ya. Rizki tersenyum. Ia tidak pernah paham pada sebuah harap yang kubebankan pada dirinya.

Tsunami bukan saja menghempaskan desa, sekolah, teman-teman, dan keluarga Rizki dan anak-anak Aceh lainnya. Tapi Tsunami juga menidurkan asa mereka untuk menjelajahi mimpi. Dalam Rizki – maksudku dalam matanya – aku menemukan sebuah dunia yang kudamba, di mana pelacur dan pendeta berpesta, perampok dan dokter menari, heyna dan rusa minum di telaga yang sama. Lingkungan dan kehidupan boleh dirampas dengan seketika dan semena-mena, tapi jangan harap kedamaian kecil (di mata Rizki) dapat ikut tercabut.

Beratus kilometer dari sana, aku, di Jakarta, mengirimkan tanya, yang mungkin terdengar melankolik, sedang apa kamu, Rizki? Ah…aku tak yakin suaraku mampu bersaing dengan suara alat-alat berat yang bergeliat di tanah rencong itu.

Rizki, kamu mendengarnya…?

 

Foto oleh Willi Souw

5 thoughts on “Sedang Apa Kamu, Rizki?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *