Apa yang berbahaya buat seorang atau sekelompok pekerja seni? Jawabnya, bila kritik tidak ditempatkan pada porsinya.
KESENIAN, dengan sifat dan bentuknya yang dinamis, mempunyai efek domino – walau dapat dimengerti dalam ranah ilmiah. Efek domino maksudnya adalah suatu reaksi yang dihasilkan secara acak dan tak menentu dari penikmat atau pembuat karya seni. Intinya, tak ada kebakuan. Tak ada keharusan berkomentar atau berselera macam apa. Sangat subyektif. Sangat personal.
Justru karena alasan subyektif macam inilah, karya seni – juga senimannya – sering berlindung di balik kata tersebut ketimbang mempertanggungjawabkannya. Pembelaan berdasarkan selera, di tengah kondisi masyarakat seni yang semakin cerdas, adalah sebuah kecerobohan. Kecerobohan dalam merangkai argumen yang hanya berujung pada kemandekan pertumbuhan kesenian itu sendiri.
Salah satu elemen penting – bahkan paling penting – dalam karya seni adalah penikmat dan pengapresiasi. Para apresiator inilah yang terus menerus memanjangkan nafas sebuah kesenian, entah itu dalam kelompok atau individu. Merekalah yang menjadi alat ukur bagi sebuah karya seni. Alat ukur untuk menyematkan nilai baik atau busuknya sebuah karya.
Namun yang terjadi, ketika nama sang kreator lebih besar ketimbang karyanya, apresiator menjadi mandul kritik. Misalnya saja, masyarakat lebih akrab dengan nama Edgar Alan Poe atau Orhan Pamuk atau Sapardi Djoko Damono ketimbang karya yang mereka hasilkan. Atau, lagu Cryin’ nyawanya tak sepanjang Aerosmith, sang empunya lagu, yang masih dibicarakan sampai hari ini. Pada kondisi ini, sebenarnya siapa yang dinikmati apresiator, karya seni atau sisi selebritas senimannya? – walau tak dipungkiri bahwa sang seniman itu pulalah karya seni itu sendiri.
Keadaan seperti di atas, hanya menghasilkan kritik terhadap kepribadian, gaya, kelakuan, atau sikap politik sang seniman dibanding memproduksi kritik buat karya seninya sendiri. Inilah kemandulan. Bukan saja kemandulan, tapi sebuah bencana bagi pertumbuhan karya seni.
Pernah seorang teman berkata, bahwa serasa ada beban untuk mengatakan sesuatu yang positif bila puisi yang dia baca adalah karyanya Goenawan Muhamad. Artinya, Ia tak mampu memberi usulan kritik karena sang kreator lebih besar dari pada karyanya sendiri. Dengan sertamerta, semua lagu yang ditulis Iwan Fals memiliki muatan beban kepada pendengarnya untuk harus berkata bagus. Hanya orang gila yang berani bilang novel karya Pramoedya Ananta Toer jelek. Atau sama sakitnya bila ada yang berani mengkritik lick khas BB King.
***
Di gedung yang lebih akrab di hati para insan film, Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan, sekelompok band yang masih hijau di industri musik Indonesia, memamerkan kebolehan mereka dalam bermusik. Band itu menamai diri SORE. Konser yang bertajuk Ports of Lima Concert pada 24 April 2008 itu diadakan dalam rangka memperkenalkan album terbaru mereka, Ports of Lima.
Sore adalah sebuah band yang mengusung musik dengan aliran yang campuraduk. Lewat Sore, kita bisa mendengar unsur jazz, pop, vintages, blues, bahkan keroncong. Sore laksana sebuah muara, tempat bertemunya aliran-aliran musik yang berseberangan. Sebelumnya mereka sudah menelurkan 2 album, Ambang (2003, mini album) dan Centralismo (Aksara Records). Lagu mereka juga dipakai sebagai musik film Berbagi Suami, Janji Joni, juga album-album kompilasi seperti JKT:SKRG.
Konser yang pada tiket dan lembar publikasinya dicantumkan jam 7 malam akan dimulai, ternyata molor 1 jam lebih. Banyak penggemar musik yang mayoritas anak muda rela menunggu selama itu di luar dan dalam gedung. Tampaknya – walau band baru – Sore sudah dihidupi oleh penggemar yang berkonsep komunitas.
Di panggung yang luas itu, lima lelaki muncul dari belakang panggung mengenakan pakaian serba hitam. Mereka – Ramondo “Mondo” Gascaro (kibord), “Sir” Awan Garnida (bass), Reza “Echa” Dwiputranto (gitar elektrik), “Bemby” Gusti Pramudya (drum), dan Firza “Ade” Paloh (gitar akustik) – mulai memainkan lagu-lagu dari album baru mereka dengan diiringi orkes mini yang suaranya tenggelam karena suara instrumen elektronik yang lebih keras. Orkes mini itu – ada seksi gesek dan tiup (ditambah vokal latar dan Disc Jockey) – seperti hanya berfungsi sebagai kebutuhan estetik visual, bukan bunyi. Pikiran ini timbul bukan saja karena suaranya yang tenggelam, tapi isi aransemen yang sebenarnya tak banyak pengaruh terhadap lagu.
Penampilan musikal mereka yang monoton, serta diperparah dengan sistem tata suara yang amburadul, tak membuat gerah para penonton untuk gencar menghatur puja dan puji ke atas panggung. Baru pada babak kedua, lagu-lagu mereka lebih terasa intim. Entah karena memang demikian, atau karena intensitas yang sudah dibangun pada babak pertama berhasil menjangkau telinga-telinga.
Ya, kedua alasan di atas rupanya masuk akal. Semakin jauh, semakin tergambar lengkung konsep band Sore. Lagu mereka memang biasa, tapi ada sebuah pencapaian konsep bermusik yang utuh dan konsisten. Dibutuhkan stamina yang mantap untuk bertahan pada konsistensi bermusik mereka. Stamina, atau lebih tepatnya keyakinan, untuk tidak tergoda melirik pangsa musik lain yang bukan gaya merek
a.
Sore tahu benar bagaimana menaikturunkan emosi penonton. Band unik yang kesemua pemain gitarnya kidal, dan kesemua personilnya bernyanyi bergantian sebagai vokal utama, banyak menampilkan aksi panggung yang menggelitik. Misalnya saja bagaimana aksi Bemby, Sang Drumer, yang meninggalkan ‘senjata’-nya, beralih untuk menjadi konduktor orkes. Lainnya, ada adegan menarik di tengah pertunjukkan yang menampilkan seorang musisi senior dari band The Tielman Brothers dan Time Breakers, Delmonthee. Sang musisi gaek itu naik panggung dan menyalak galak lewat gitar yang memainkan sepotong lagu Rock ‘n Roll.
Semakin malam, penonton semakin fanatik terhadap mereka. Inilah yang berpotensi menjadi bencana buat sebuah karya seni. Fanatisme atau kekaguman berlebihan malah menghilangkan ruang kritis. Mirip dengan keyakinan terlalu menggebu dalam beragama yang melahirkan kemapanan dan menihilkan ruang untuk mengkritisi. Sehingga agama menjadi impoten dalam menjawab permasalahan-permasalahan kemanusiaan.
Dalam kesenian pun serupa. Ketika proses berkesenian diapresiasi terlalu berlebihan, tidak sesuai porsi, sehingga melenyapkan sisi kritis, pada kondisi inilah sang seniman harus berhati-hati. Karena tak ada ‘teguran’ dari apresiator untuk memperkaya bahan evaluasi sebuah karya.
Namun, walau begitu, tampaknya Sore bukanlah kelompok musik kacangan macam itu. Yang mudah terlena oleh buaian dan sanjungan, lantas merasa tak perlu terus menerus berkutat dalam ‘pencarian’. Mencari jalan kesenian yang setiap saat mesti dipertanyakan. Agar genap kenyataan bahwa seni adalah sebuah jalan panjang yang tak akan selesai, dan tak perlu selesai.
anda lumayan sok tau tentang SORE dan konsep kebermusikan,,hehehe…padahal menurut saya cara pandang anda terhadap musik dan SORE khususnya belum cukup holistik? Berani mengatakan musik Sore biasa-biasa saja adalah sebuah sikap (yang lahir dari selera?) yang seakan2 berada dia atas semua pemahaman dan pengalaman tentang dimensi musik itu sendiri,,Banyak tentang Seni adalah tentang Merasa,,bukan lebih besar bagian siapa yg masih hijau atau campur aduk alirannya atau penampilan musikalnya.Bukan tentang hal2 Teoritis. Pikir itu penting tapi Merasa berarti tinggaalkan sejenak semua kaku yang lingkupi kecerdasan pikir yang angkuh. Saya hanya berpikir bahwa cara pandang anda sudah seperti kebanyakan orang cerdas masa kini. Merasa diluar kotak,beyond insight. jangan begitulah,,jika seni itu ternikmati,mengisi ruang2 manusia yang kosong, memberi keindahan sehingga jiwa qta merasa tercukupi.maka rampung sudah. ini hanya kritik, seperti anda bilang kita tidak boleh alergi pada kritik. Salam.
Mas Ismail yang baik, terima kasih buat komentarnya. Saya hargai itu tanpa perlu membela dir. Karena tulisan saya sendiri sudah membelanya (jika dibaca dgn kedalaman dan kerendahatian).Salam kenal!