Mereka yang Remaja di Brawijaya

Nostalgila di sekolah pria yang mengusir sepi. Sekali laki-laki tetap laki-laki.

BEL tanda masuk telah bersungut sejak tadi. Para murid baru sudah duduk di ruang kelasnya masing-masing. Tapi selasar sekolah pagi itu masih disesaki orangtua siswa yang mengantar. Mungkin inilah pagi yang membikin orangtua cemas sekaligus menaruh harap. Tapi bagi ratusan siswa baru di sini, inilah pagi pertama mereka sebagai siswa SMU Pangudi Luhur (PL).

“Orangtua silakan keluar. Anak Anda sudah dititipkan di Pangudi Luhur. Percayakan pada kami,” seru Bruder Honoratus, seorang guru senior, seperti ditirukan Irto Rachman. “Kira-kira aman ‘kan (setelah itu)? Kagak!” kenang Irto. Karena setelah itu, siswa senior kelas dua dan tiga menghampiri dan menggedor-gedor jendela kelas dengan keras.

Bagi siswa kelas satu, suasana terang saja gaduh. Juga mencekam. Tapi guru yang berdiri di depan kelas hanya bergeming, dengan sesekali tersenyum geli. Dan rasa takut pun semakin bertumpuk-tumpuk. Ngeri.

Ya, di tempat ini, sejarah seakan berulang. Tiap tahunnya, setidaknya antara era 1980-1990-an, adegan di atas diputar kembali. Mungkin ini semacam salam “selamat datang” khas PL. Salam mentradisi yang mengawali para penghuni barunya untuk memasuki sebuah dunia tentang remaja. Sepotong ingatan tentang kebengalan dan kesetiakawanan. Ini cerita tentang sekolah khusus laki-laki.

***

IRTO Rachman adalah seorang IT Manager di Kentucky Fried Chicken Indonesia. Antara 1990 – 1992 ia adalah salah satu siswa SMU PL. Selain Irto, ada Yuka Narendra, Benny Prawira Soeryatama, Dave Lumenta, dan Adhi Septyo Nugroho, yang kepada Bung!, mengisahkan masa-masanya di PL yang masih terkenang hingga hari ini.
“Gue kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Tapi kalau ditanya lulusan mana, biasanya gue jawab lulusan PL,” ujar Irto untuk menegaskan kebanggaannya atas almamaternya. Kebanggaan itulah yang turut menginspirasi Yuka dalam menjalani kesehariannya sebagai seorang dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia mengaku caranya mengajar dipengaruhi cara mengajar guru-gurunya di PL dahulu.
Rasa bangga, adalah corak dominan yang menguasai kenangan akan almamater mereka. Bagi mereka, ada semacam penanaman kebanggaan yang diinstitusionalkan melalui beragam proses yang kadang tak disadari. Dari guru hingga senior, upaya membangun kebanggaan ini dimulai sejak dini sekali. Hal itu biasanya dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun wejangan yang diwariskan para senior dan guru.

Ketika banyak sekolah berlomba menaikkan statusnya, PL tidak larut dalam arus. PL yang kala itu berstatus “Diakui”, enggan naik kelas menjadi “Disamakan” walau ada desakan dan kesempatan untuk itu. “Kepala sekolah nggak mau,” cerita Dave, angkatan PL 1989 yang kini bekerja sebagai dosen Antropologi di Universitas Indonesia. Sebagai sekolah dengan kurikulum dan pendekatan yang khas, PL merasa berbeda dan tak perlu disama-samakan dengan sekolah lain.

Mundur ke belakang, pendirian PL bermula dari tawaran Pemda DKI pada 1963 kepada Konferensi Waligereja Indonesia untuk mendirikan sekolah di sepetak tanah kosong yang terletak di jalan Brawijaya IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tawaran ini kemudian disambut Uskup Agung Jakarta kala itu, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ, yang lantas memanggil para bruder yang sedang sibuk dalam proyek mendirikan sekolah di Magelang. Bruder-bruder tersebut—awam rohaniwan Katolik yang berkaul kemiskinan, ketaatan, dan selibat—menunaikannya. Pada 1965, sekolah ini resmi berdiri.

Sekolah ini kemudian berkembang dan terkenal karena kualitas akademik dan metode pendidikannya yang berbasis pada pengembangan karakter. Di Jakarta, PL masuk dalam daftar sekolah unggulan. “’Morfinis’, tapi jenius semua,” begitu kata Dave menirukan kesan orang luar. Morfinis adalah kiasan zaman itu yang berasosiasi pada kenakalan anak muda.

Adhi Septyo Nugroho, atau biasa disapa Sesek, menyetujui soal aspek pembangunan karakter di PL. Ia, yang lulus pada 1991 dari PL, merasakan manfaatnya bertahun-tahun kemudian. Sebagai seorang pengarah artistik di Narada Communication, pendidikan di PL menempa sisi kreativitasnya.

Seangkatan dengan Sesek, Benny Prawira Soeryatama mengatakan bahwa materi pelajaran di PL lebih “berat” ketimbang sekolah-sekolah lain. Ketika Benny kuliah, bahkan hingga semester enam, banyak materi yang sudah dipelajarinya ketika SMA. Makanya, walau “Tahun pertama kuliah itu (saya) main-main, (tapi) IP bisa dapat 3,6,” kata kepala divisi di suatu perusahaan perkapalan nasional ini.

Untuk menyaring kualitas siswa, PL menetapkan standar tes IQ yang tinggi. Walau begitu, siswa-siswa terpilih ini tetap saja kewalahan dengan materi yang ada. Sebagai contoh, selain ujian nasional dari pemerintah, PL juga mengadakan ujian tersendiri. Mendapat lembar ijazah pemerintah bukan berarti juga mendapat ijazah PL. Hanya sejumput dari mereka yang berhasil mengantungi ijazah PL. Beberapa kampus yang tahu mengenai ini, memilih menyaring siswa dari PL lewat ijazah PL, bukan ijazah nasional.

Karena kualitas akademik dan konsep pengembangan karakterlah, banyak orangtua siswa berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di PL. Mereka tahu, PL merupakan sekolah berbasis agama Katolik. Tapi orangtua siswa non-Katolik tak keberatan memasukkan anak-anaknya bersekolah di sini. Mutu pendidikan ini pula yang membuat PL tak terlalu memedulikan hal-hal yang tak begitu esensial, salah duanya adalah soal ketentuan berseragam dan model rambut.

Pernah pada masanya, lelaki berambut gondrong dipandang negatif. Di Indonesia, itu terjadi pada 1970-an. Menjadi gondrong itu terlarang. Pemerintah Orde Baru menganggap kegondrongan sebagai sikap acuh tak acuh pemuda yang tak sesuai dengan kepribadian bangsa. Rambut memang soal kebebasan berekspresi yang sifatnya privat, tapi orde tersebut merasa perlu mengaturnya hingga membentuk badan khusus bernama Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya, Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (Marjin Kiri, 2010), menceritakan ihwal razia terhadap pemuda gondrong yang dilakukan di jalan-jalan. Sekolah dan kampus pun memberlakukan larangan ini. Artis yang ingin tampil di TVRI dan pemain sepak bola juga kena getahnya.

Pelarangan rambut gondrong sebangun dengan upaya penyeragamaan pakaian sekolah. Keduanya sejatinya adalah selera kekuasaan, dan itu berarti bentuk penguasaan atau penundukan. Haris Firdaus dalam esainya di Karbonjournal.org pada 3 Oktober 2009, “Penyeragaman yang Selalu Gagal”, melacak jejak pertama kali penerapan aturan berseragam di sekolah diberlakukan, yakni pada 17 Maret 1982, lewat Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P & K).

Padahal sebelumnya, antara 1965 – 1985, tak ada ketentuan mengenai seragam dan model rambut di PL. Tapi pada 1985, Kanwil P & K mendesak PL untuk menerapkannya. Aturan berseragam akhirnya diberlakukan, namun dengan model seragam yang berbeda dengan sekolah lain. Kalau SMU umumnya identik dengan seragam putih-abu-abu, maka PL mendesain seragamnya sendiri dengan warna hitam untuk bawahan dan kemeja bermotif kotak-kotak untuk atasan.

Ketentuan ini terang ditolak para siswanya dengan beragam polah. Pernah suatu kali, ujar Dave, ada temannya yang datang ke sekolah mengenakan seragam dengan warna yang dibalik: memakai kaos hitam dan celana golf kotak-kotak milik bapaknya. Makin senior, makin ngaco pula seragamnya. Ada yang, misalnya, memakai kemeja bermotif bunga-bunga, polkadot, “Bahkan ada yang memakai kemeja putih yang ditulisi ‘kotak-kotak’!” seru Yuka terbahak-bahak.

Eskalasi penolakan siswa atas seragam meningkat pada tahun-tahun kemudian. Pada Maret 1988 penolakan itu pecah. Sebuah demonstrasi besar terjadi. “Anak-anak mogok sekolah dan mengokupasi aula, tidak mau masuk kelas,” ingat Dave. Waktu itu sedang masa minggu tenang Pemilu 1988. Suasana tegang. Sejumlah polisi bersiaga di ujung sekolah. Aksi protes baru reda ketika para alumni PL angkatan 1975 datang untuk menenangkan para siswa.

Sama halnya dengan seragam, kewajiban berambut pendek juga diberlakukan di PL. Tapi karena adanya tawar-menawar antara siswa dan guru—melalui OSIS mereka yang memang aktif—maka aturannya dimodifikasi sedikit, yakni boleh panjang asal rapi dan tidak menyentuh tengkuk. Dasar jahil, ada-ada saja ulah mereka, dari mulai dijepit, dikuncir ke atas, hingga yang berjalan handstand tatkala tertangkap basah belum memendekkan rambut—yang penting tidak kena tengkuk!

* * *

REMAJA, adalah sosok yang absen dalam gambaran keluarga Orde Baru. Riwayat remaja adalah riwayat yang sungsang, terasing, dan dianiaya oleh anggapan. Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (Kepustakaan Populer Gramedia, 2001) membongkar bagaimana konsep keluarga diterapkan dan dimaknai dalam kehidupan politik Orde Baru. Ia menemukan bahwa dalam buku-buku pelajaran sekolah, sebuah keluarga digambarkan hanya terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak kecil. Remaja tidak ada. Remaja tidak mendapat panggung.

Remaja dienyahkan, karena anggapan atas posisinya yang ambivalen. Ia dianggap “sudah melakukan dosa” karena sudah tidak anak-anak, tapi ia juga “belum manusia seutuhnya” karena belum berusia dewasa. Singkatnya, remaja adalah sosok yang dicemaskan dan tak diharapkan menjadi ksatria.

Tak tampil di bacaan sekolah, yang disediakan untuk remaja malah panggung di medium lain, yang kerap dianggap tak penting secara sosial-politik, yakni pada media populer semacam majalah, film, dan musik. Kita tahu, di medium ini, remaja pelaku adalah komoditas dan remaja konsumen adalah pasar. Di sana, sebab dilucuti konteks sosialnya, remaja seakan dibebaskan dari tanggungjawabnya. Remaja kembali menjadi tak penting.

Tak terkecuali bagi siswa PL pada masa Orde Baru, mereka juga merupakan remaja yang tumbuh dalam cuaca demikian. Lantas, bagaimana cara guru-guru bersikap dan mengelola ambivalensi remaja PL? Apa yang mereka lakukan dalam menyelesaikan masalah dan memberi hukuman? Nyatanya, mereka melihat remaja dalam kerangka yang lain. Mereka tak bisa marah hanya karena sekadar tingkah bengal siswa. Selain karena bukan hal yang esensial, mungkin mereka melihat itu semua sebagai bentuk kreativitas anak didiknya.

“Tidak ada (siswa) yang pernah dikeluarkan karena melawan,” ujar Dave. Di PL, yang dianggap pelanggaran berat adalah hal prinsipil, umpamanya kejujuran. Misalnya, pernah ada seorang siswa dikeluarkan dari sekolah karena memalsukan tanda tangan orangtuanya dalam sebuah surat izin tak mengikuti suatu kegiatan.

Di sisi lain, hukuman yang diberikan kadang unik dan tak bertujuan mencari “keadilan”. Pada cerita berikut, misalnya, suatu hari siswi-siswi dari sekolah lain datang ke PL untuk menyampaikan undangan. Lugunya, mereka datang pada saat yang salah, yakni pada jam istirahat sekolah. Alhasil siswi-siswi “malang” itu dikerubuti, disoraki, dan diikuti sampai ke ruangan kepala sekolah. Walau bel tanda masuk telah berbunyi, tapi pemuda-pemuda “lapar” tersebut seperti tak mendengar. Seusai itu, dua puluhan siswa akhirnya mengantri untuk diinterogasi oleh kepala sekolah. Hukumannya? Yang colek-colek diskors satu hari, yang teriak-teriak diskors dua hari, dan yang menonton diskors tiga hari!

Dengan kenyataan demikian, rasanya PL memilih jalan lain dari gaya umum mendefinisikan remaja. Kehadiran remaja adalah penting dan tak layak disepelekan. Membina masyarakat berarti dimulai dari membina remajanya. Di PL, remaja bukanlah sosok yang ada untuk sekadar menjadi patuh dan menerima aturan-perintah-hukuman tak masuk akal. Itulah sebabnya aspek pengembangan karakter yang esensial lebih digarap ketimbang menjejali dengan hal-hal yang telanjur diterima sebagai “kebenaran”.

Karenanya, PL menjadi khas, menjadi berbeda dengan kebanyakan institusi pendidikan. Kekhasan inilah—seragam, model rambut, hukuman, bahan ajar, kultur sekolah, dan lainnya—yang rupanya berperan membangun kebanggaan bagi para siswanya. Kesadaran bahwa mereka “berbeda” dengan yang lain, dibentuk dan dikelola terus-menerus oleh budaya di PL.

Tapi akibatnya, “Kita nggak bisa bercanda dengan (siswa sekolah) yang non-homogen,” celetuk Irto. “Sering nggak nyambung,” lanjutnya. Mereka merasa hanya dengan sekolah “sejenislah” mereka bisa cocok, yakni seperti Kolese Kanisius dan Kolese Gonzaga yang juga mengkhususkan diri sebagai sekolah laki-laki, atau Tarakanita dan Santa Ursula, sekolah khusus perempuan. “Entah kenapa, padahal nggak diniatkan,” kata Irto.

Itulah mungkin sebabnya, alumni PL kerap mengalami semacam “gegar budaya” pada lingkungan barunya pasca-PL, misalnya kampus dan dunia kerja. Pada titik ini, kenyamanan dan kemapanan cara berpikir dan bertindak yang dipraktikkan menahun di PL, mesti cepat diadaptasikan. Menurut Dave, ada dua kemungkinan yang biasanya terjadi pada alumni PL di lingkungan barunya tersebut, yakni menjadi informal leader atau alien, alias dianggap aneh oleh lingkungannya.

Siswa PL sendiri biasanya kesulitan menjawab kenapa hal itu terjadi. “Yang kami lakukan adalah proses othering: bisa membedakan yang bukan kami, tapi nggak bisa menceritakan siapa kami,” jelas Dave.

Pernah, misalnya, pengalaman seorang teman mereka yang marah dipanggil “Cina” di lingkungan kampusnya. Padahal, di PL olok-olok etnisitas bahkan agama adalah hal yang dianggap lumrah. “Lo kan bukan PL, ngapain manggil gue Cina,” ingat Irto menirukan kisah salah satu temannya.

Nah, bicara soal etnisitas dan agama di PL, kedua hal ini diperlakukan dengan santai. Berbeda dengan situasi hari ini, di mana identitas agama dan etnis ditanam mati sehingga meminggirkan dialog, di PL hal tersebut diperlakukan tanpa ketegangan, bahkan menjadi bahan olokan.

Dengan mayoritas profil siswanya berasal dari keluarga kelas menengah—anak Pegawai Negeri Sipil, jenderal, petinggi Pertamina, dan pengusaha—etnis dan agama di PL sangatlah beragam. Komposisi agama cukup berimbang, sekalipun Islam dan Katolik tetap lebih dominan dibanding agama lainnya. Begitu pula dengan ragam etnis yang ada. “Kalau (etnis) Cina biasanya dari (Jakarta) Selatan, bukan Kota (Jakarta Barat). Cina Kota masuknya Kanisius,” ujar Yuka.

Keberagaman yang ada tidak pernah memicu konflik, malah justru melahirkan anekdot-anekdot jenaka. Irto ingat betul kejadian di kelas yang sering terjadi ketika adzan berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari PL. “Anak-anak yang Katolik teriak ‘panas, panas, panas’ sambil tutup telinga,” kenang mereka semua secara bersamaan, disusul ledakkan tawa. Sebaliknya, Dave mengenang, ketika siswa Islam dapat jatah memimpin doa pulang, maka dalam doanya ditambahkan seruan, “Buatlah Kristen-kristen ini tobat.” Jenaka dan komikal, memang.

Tapi mari kembali menyoal ketidaknyambungan siswa PL dengan siswa sekolah lain. Walau Irto mengatakan bahwa hanya dengan sekolah sejenis mereka bisa cocok, tapi seringkali hal itu justru menjadi sumber konflik atas nama prestise. Ketika itu, sekolah khusus lelaki di Jakarta bukan hanya PL. Ada Kanisius di Menteng, Jakarta Pusat, dan Gonzaga di Pejaten, Jakarta Selatan. Pada keduanyalah siswa PL kerap bersinggungan—apalagi pada era Irto dan kawan-kawan, tawuran antarsekolah marak terjadi. Dan konflik seringkali tak terelakkan.

Yuka ingat kisah kawannya yang pernah dikejar siswa Kanisus. Sama-sama menggunakan mobil, tapi “Anak Kanisius dua mobil,” ungkap Yuka. Tibalah mereka pada sebuah jalan buntu. “Mati kita!” batin mereka. Untungnya ide mereka tak ikutan buntu. Berbekal sepucuk pistol angin mainan yang sedang tren kala itu, seorang kawan dengan yakinnya turun dari mobil sambil mengarahkan moncong pistol ke arah siswa Kanisius. Kawan lain tak kekurangan akal. Ia mencegah kawannya yang “kalap” tersebut sambil terisak, “Jangan, jangan. Ingat masa depan lo!” Dikeker beceng, plus ditambah adegan dramatik, kubu Kanisius perlahan mundur, dan akhirnya kabur.
Kisah konyol seorang kawan yang lain, terjadi dengan siswa Gonzaga. Dalam keadaan setengah mabuk, kawan ini lewat di depan sekolah Gonzaga, dan meluncurlah kejahilan itu: papan nama Gonzaga dipreteli huruf-hurufnya, hingga nama “KOLESE GONZAGA” disisakan hingga hanya tertera huruf “EE” saja, beserta logonya. Dan, ya, dugaan Bung benar mengenai kejadian esok paginya: PL disambangi anak-anak Gonzaga. Ricuh.

Tapi karena kultur kolektivitas dan solidaritas yang begitu kuat, siswa tersebut kemudian dibela teman-temannya, juga para guru. Mereka mati-matian menolak mengembalikan huruf-huruf yang dipreteli temannya tersebut. Padahal, setelah ditanya, temannya itu juga tidak tahu di mana ia menyimpan “hasil jarahannya”.
Kultur kolektivitas dan solidaritas demikian, menurut Dave, tidak semata-mata disumbangkan dari situasi yang ada di PL, namun dibentuk oleh era tersebut. Baginya, bukan PL, tapi era itulah yang menebarkan energi kolektivitasnya. Pertama, media sosial belumlah ada. Karenanya, eksistensi hanya dapat digapai lewat aktivitas nyata, yaitu nongkrong. Kedua, “Kami adalah generasi terakhir yang orangtuanya tidak protektif,” terang Dave yang juga aktif sebagai pemusik cabutan di beberapa kelompok musik seperti Gribs dan simakDialog. Sehingga karenanya, mereka bisa lebih eksploratif dalam hidupnya.

Memang, banyak temannya yang datang dari keluarga kaya, tapi orangtua di era itu membiarkan anak-anaknya merasakan kesusahan. Ini beda dengan generasi yang orangtuanya hidup dalam situasi serba nyaman, seperti yang banyak kita temui sekarang, di mana mereka akan mendidik anaknya dengan kenyamanan tertentu pula. Sedangkan menurut Yuka, “Orangtua kami mengalami mengungsi di zaman perang.”
Karena itu, tak jarang, jika ada siswa yang mengadu tentang kenakalan teman-temannya di sekolah yang keterlaluan kepada orangtuanya, aduannya malah tak digubris, dianggap sesuatu yang biasa, karena belum apa-apa jika dibandingkan masa muda orangtua mereka yang keras.

Singkat kata, ada semacam semangat antikemapanan yang tumbuh subur di PL. Beberapa teman Dave, yang berasal dari keluarga kaya, memilih naik bus atau menebeng, termasuk anak dari Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Negara Lingkungan Hidup kala itu. “Yang dibenci di PL justru anak-anak yang gaul pakai duit,” nyinyir Dave.

***

PADA sebuah lift di bekas kampus tempatnya mengajar, Yuka mendadak berkeringat dingin. Pasalnya, baru saja seorang tua masuk ke dalam lift yang ia tumpangi. Tinggi pria itu kira-kira 175 sentimeter. Kulitnya coklat. Kepala depannya botak, tapi rambut kriwil-kriwil agak gondrong menjejak di belakang. Tatapannya setajam belati. Ditatap olehnya bagai ditombak. Ia adalah Purwanto, seorang guru killer di PL.

Di kalangan siswa PL, Purwanto disebut PW. Kepada bekas gurunya tersebut, rasa takut Yuka belum minggat, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Bertemu Purwanto secara tiba-tiba membuat Yuka seakan lupa bahwa ia adalah seorang dosen. “Jakun rasanya pindah,” celotehnya mengenang sambil cekikikan.

Purwanto adalah teror. Yuka menggambarkan, cara Purwanto berjalan sangat pelan, seperti tidak menjejak, dengan tangan di belakang. Suaranya lambat tapi menggelegar. Salah satu jurusnya adalah “kopling”, yakni sebuah istilah dari para siswa PL pada zaman itu atas tindakannya: memarahi seseorang sambil menjambak dan menarik-dorong kepala orang itu.

Pernah suatu ketika seorang kawan bernama Bobby tidur seharian di kelas. Ia duduk di kursi deret belakang. Jam pelajaran berikut adalah giliran Purwanto mengajar. Bobby sudah dibangunkan, tapi ia setia pulas. Dengan santai Purwanto menghampiri Bobby, duduk di atas meja, di samping kepala Bobby, dan meluncurlah suaranya, lembut, tapi dingin dan mencekam seisi kelas, “Bobby… Bobby…” Lanjutnya, kini setengah bernyanyi, “Bangun… bangun… hari sudah siang.” Bobby akhirnya terbangun, dan terkejut luar biasa tatkala sadar bahwa Purwanto sedang duduk di mejanya. “Bagus… Ngantuk, Mas?” tanya Purwanto. Dan ritual itu pun tunai sudah: kopling.

Yuka menceritakan kembali ceritanya ini dengan terbahak sejadi-jadinya. Begitu pula Sesek, Irto, Dave, dan Benny yang menyimaknya. Tetapi pada hari itu, bukan tawa yang terbit, tapi gidik. Takut menyapa seisi kelas.

Bukan hanya guru yang ditakuti yang bisa dikenang. Mereka ingat ada beberapa guru yang langganan dikerjai: seorang guru perempuan tua yang dijuluki Nenek Lampir. Tiap ia masuk kelas, para siswa spontan bersorak menirukan tawa nenek lampir, “Hihihi… hihihi.” Tapi tak sampai setengah tahun, “Anak-anak bosan sendiri,” Dave berseloroh.

Ada juga guru yang dikenal berbau badan, hingga para siswa menyemprotkan pewangi ruangan terlebih dahulu setiap kali guru itu mau masuk kelas—bahkan kadang di depan gurunya! Ada lagi guru yang berbau mulut, sehingga para siswa ketika didekati bergurau dengan enteng, “Mundur, Pak. Mundur, Pak. Jangan dekat-dekat.” Mereka sungguh kurang ajar: siswa yang duduk di barisan depan biasanya memakai sapu tangan secara terang-terangan di depan guru. Dan untuk menjahili kawan, cerita Yuka, biasanya ada yang sesumbar kepada guru tersebut, “Pak, si anu nakal, minta dinasehati.”

Lalu bagaimana dengan guru baru? Pasti dikerjai, terutama guru muda. Kalau guru tersebut bisa bertahan lama, berarti sudah teruji. Karena, “Ada yang cuma (mampu bertahan) tiga minggu,” kata Irto. Bentuk kejahilannya bermacam-macam. Dari diabaikannya guru itu dengan para siswanya duduk menghadap ke belakang, main tak jongkok di kelas, menaruh petasan di meja guru, sampai ada yang masak nasi goreng di dalam kelas!

Tapi dengan guru, Yuka punya pengalaman yang membuatnya terharu. Adalah Aloysius A. Tolok, nama guru itu, yang mengajar beberapa mata pelajaran seperti Hitung Dagang, Aljabar, Falak, Goneometri, Stereometri, dan Hitung Keuangan. Pada mata pelajaran Tolok, semua siswa paceklik nilai bagus. Termasuk Yuka, yang nilai tertingginya hanya lima.

“Pernah suatu hari nilai gue lima setengah,” kata Yuka. Tolok tak lantas diam. Ia bergegas mencari Yuka. Sekolah ia kelilingi. Ia sambangi kelas-kelas, kantin, taman, dan lainnya. Tolok mencari Yuka hanya untuk bilang bahwa sebenarnya Yuka bisa dapat nilai lebih baik kalau belajar. “Gue terenyuh waktu itu,” ujar Yuka mengingatnya.
PL memang punya tempat khusus di hidup Yuka. “Gue nggak mungkin bisa menemukan hidup gue yang sekarang kalau nggak ngelewatin masa-masa gue di PL,” ujarnya. Pun Irto. Buatnya, masa-masa di PL adalah “Tahun-tahun yang membentuk gue sekarang ini.” Di PL, mereka belajar bagaimana caranya memilih dan bersikap terhadap banyak hal. Dan dengan mengenangnya, mereka bahagia. Yuka mengenangkan salah satunya.

Menjelang kelulusan, seperti biasa, para siswa sibuk memikirkan universitas tujuan masing-masing. Tapi tidak bagi Yuka. “Yang ada di pikiran gue cuma main band dan mabuk,” ingatnya.

Guru Tolok menanyainya, “Lo mau sekolah di mana?”
”Nggak tahu, bos,” jawab Yuka sekenanya.

Tolok kemudian menyarankan Yuka untuk mendaftar di jurusan Seni Rupa di ITB. Yuka  heran, sekaligus ragu, karena seniornya, angkatan 1991, tak ada yang tembus.
“Memang gue bisa?”

Tolok hanya menjawab santai, “Nggak tahu. Tapi gue punya feeling (kalau) lo bisa.” Maka mendaftarlah Yuka sesuai saran Tolok.

Hari pengumuman yang dinantikan itu akhirnya tiba. Kala itu, pengumuman hanya ada di harian Pikiran Rakyat dan lewat pengiriman surat ke rumah bagi yang diterima. Tak disangka, Yuka lolos. Namanya tertera di pengumuman tersebut.

Dua hari sesudahnya, Yuka datang ke PL. Di tempat yang akan segera ia tinggalkan itu, Tolok menemuinya. Guru tersebut merangkul dan menyelamatinya. Kali ini Yuka menangis.***

Diterbitkan di Majalah Bung! edisi 3