Konser Dua Jawara

Bagaimana kalau dua orang jawara gitar bersanding dalam satu panggung? Tengok saja kelincahan jari Andre Indrawan dan Rahmat Raharjo dalam konser Yogyakarta Guitar Duo yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada hari Jumat, 20 Februari 2006 Pk. 20.00 waktu setempat.

Kedua jawara dari Yogyakarta ini memanjakan telinga pecinta gitar klasik dengan sepuluh nomor karya apik dari berbagai zaman. Kehadiran penonton yang jauh dari ideal dan suara halilintar yang menembus masuk gedung pertunjukkan tak dijadikan alasan oleh mereka untuk berusaha tampil sebaik-baiknya. Maklum, dengan menyandang predikat juara nasional dan internasional, mereka dituntut oleh penonton untuk menyajikan musik bermutu malam itu. Saksikan saja karya pertama yang berjudul Allegro from Italian Concerto dari J.S.Bach. Komposisi dengan gaya kontrapung yang khas dari zaman Barok ini tidak dimainkan dengan cukup baik. Aroma panggung memang selalu menjadi momok bagi setiap performer. Terlihat sekali mereka mencoba bersahabat dengan suasana adaptasi. Andre yang lebih senior ini terlihat sedikit kewalahan menghadapi ketenangan dari pasangan mainnya, Rahmat. Beberapa kali Andre sempat tergelincir dan slur tidak bunyi dengan baik. Tempo dari mereka pun kurang padu, kadang salah satu mendahului atau melambat.

Masuk ke karya kedua dari Fernando Sor, komponis Italia, yang berjudul Fantasie for Two Guitars, Opus 54, Andre yang pernah menjadi pemenang dalam kompetisi The 2nd South East Asian Guitar Festival tahun 1978 dan beberapa Festival Gitar Yamaha ini, melakukan kesalahan yang memaksa mereka untuk mengulang lagu dari awal. Tampaknya mereka masih berusaha untuk beradaptasi dengan aroma panggung. Baru beberapa jenak ke depan, karya Introduction, Theme and Variations on a theme ‘Gambang Suling’ dari Iwan Tanzil, gitaris Indonesia yang bermukim di Berlin, Jerman, menjadi nomor pembuktian akan predikat yang mereka emban. Bila mampu meresapi lagu bernuansa etnik Jawa tradisional ini, kita seakan-akan seperti mendengar langsung musik karawitan yang dibawakan oleh Ki Nartosabdo, sang empunya lagu. Sungguh indah dan anggun.

Sebelum babak pertama selesai, Duo Andre dan Rahmat membawakan Valses Poeticos dari Enrique Granados dan Seguidillas dari Isaac Albenis. Kedua karya komponis Spanyol yang aslinya untuk karya piano ini, diaransemen masing-masing oleh Andre dan Rahmat.

Babak kedua dibuka dengan karya dari Luigi Bocherini yang berjudul Introduction et Fandago. Penampilan di babak kedua terasa lebih rapih dan matang. Agaknya Andre mulai bisa mengimbangi permainan Rahmat, juara Spanish Guitar Awards 2001. Memang umur dan pengalaman Andre bisa memperlihatkan bahwa aksi sang jawara belum usai sekaligus menunjukkan kekayaan musikalitas Andre yang notabene adalah guru dari Rahmat.

Kekompakkan keduanya makin jelas terlihat dari penampilan berikutnya dengan membawakan Carmen Suite dari George Bizet yang diaransir oleh Martin Kaaij, lengkap dengan keempat bagiannya: Ouverture, Seguedille, Entr’acte dan Habanera. Apalagi disusul oleh nomor etnik lagi karya komponis Indonesia, F.A.Warsono yang berjudul Bima Kurda. Produksi suara yang dihasilkan Rahmat selalu terdengar lebih tipis dari Andre. Entah karena pengaruh gitar Grand Concert tahun 1970-an yang dipakai Andre atau memang Andre lebih tahu teknik dalam memproduksi suara gitar lebih bulat dan tebal. Rahmat menggunakan gitar Fernandez buatan Indonesia.

Kedua pengajar mayor gitar pada Jurusan Musik Institut Seni Indonesia ini menutup rangkaian konser malam itu dengan karya Leo Brouwer, komponis kontemporer asal Kuba, yang berjudul Micro Piezas dan karya yang sudah diaransir oleh mereka berdua yaitu karya dari zaman modern milik Claude Debussy yang mana adalah penggabungan dari tiga karya untuk piano yang masing-masing berjudul: Claire de Lune, Reverie dan Golliwogg’s Cake Walk.

Di akhir konser, Duo Andre dan Rahmat kembali tampil membawakan Seguidillas -karya Albenis yang sudah dibawakan di babak pertama- sebagai Encore.

Munculnya berbagai kelompok gitar dengan format Duo, Trio, bahkan orkes menunjukkan geliat dunia gitar klasik di Indonesia. Gitar tidak lagi hanya berada di jalan-jalan, bis-bis, kios-kios kaki 5, tapi sudah tergiring sampai ke gedung konser. Semoga juga instrumen ini dapat lebih diposisikan sejajar dengan alat musik lain seperti piano dan biola.

Sore Ini Aku Ke Padewa

Kotak besi raksasa itu bergerak sangat laju. Pandangan berapa ratus meter ke depan memang tampak sangat lenggang. Hampir tak ada satu kendaraan lain yang terlihat. Tapi pandangan beberapa ratus kilo ke depan, tentunya bukan kosong tanpa tujuan. Ada sesuatu perasaan yang begitu lain. Perasaan yang amat getir dan pelit kata, tapi ranum makna.

Entah apa yang selalu membuat Ringga tertidur dengan sebelah mata. Kantuk yang begitu buas menyerangnya tak bisa dijawabnya dengan satu jawaban: tidur pulas plus ngorok yang seru, ritmis, dan melodis. Otaknya dijejali terlalu banyak pertanyaan, terlalu banyak kegelisahan, terlalu banyak keraguan penuh harap, tapi hanya sedikit kelegawaan.

Pagi ini, dengan segenggam niat bulat yang dikemasnya rapih, ditaruh di saku kanan kemeja kegemarannya, Ringga memboyong diri ke suatu tempat yang jauh dari rumahnya, Padewa. Ia berharap sampai di sana sebelum matahari pulang kandang.

”Nanti kalau matahari sudah meninggi, jangan lupa makan nasi kuningnya Ga! Airnya sudah Mama masukkan di kantong plastik di ranselmu”, Ringga mengingat pesan Mamanya tadi subuh sebelum berangkat. Dasar Mama, bilang ga boleh pergi, malah pakai emosi, tapi malah dibuatin bekal, geli Ringga dalam hati. Papa malah lebih konyol lagi, semalam sampe ga mau makan malam karena keputusanku untuk pergi, tapi tadi paling sibuk ngurusin cari kendaraan buatku ke terminal. Sampe minjem ojek Pak Kirmin segala lagi. Keluargaku memang sangat manis, bahkan terlalu manis untuk seorang aku yang punya ambisi kuat untuk menanggapi mimpiku.

Tapi di lain cerita, keluargaku pernah menjadi sangat tidak manis. Pahit! Tidak enak! Tidak bersahabat menanggapi keinginan yang kuutarakan tepat 2 tahun yang lalu di meja makan. Mama menjadi beradu mulut dengan Papa yang waktu itu langsung menggebrak meja makan karena aku bertahan dengan argumen-argumenku. Aku lebih gila. Aku sempat minggat beberapa hari dan menginap di rumah teman karena malas berdebat dengan kedua orangtuaku. Tapi aku tahu, aku salah kalau seperti itu. Aku takut menghadapi masalah. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berdoa. Dan jawaban doanya sangat mengejutkan aku: Padewa.

***

Bis antarkota yang Ringga tumpangi sudah berjalan kurang lebih empat setengah jam. Ringga mulai bosan, ngelamun ngalor ngidul. Dia membayangkan bila nanti dia dengan serunya berbicara lantang di depan ribuan pasang mata suatu hari. Tapi, mendadak air mukanya berubah. Wah, nanti bisa ga ada waktu buat naik gunung bareng Doddy lagi dong, pikir dia dengan segunung kekecewaan. Terus gimana dengan tempat nongkrongnya di gang sembilan? Pasti tambah sepi setelah aku pergi, gerutu Ringga dalam hati. Lalu Ninda? Bagaimana dengan Ninda, adik kelasnya di sekolah yang ditaksir berat? Memang Ringga sudah memutuskan untuk hanya menjadi cerita penghias kisahnya saja. Bahkan, Ringga sudah menitipi puisinya untuk Ninda lewat Doddy. Tapi, ini sangat berat buat Ringga. Ninda sudah ia gantungkan sangat tinggi. Bahkan terlalu tinggi ia taruh di langit-langit kamarnya, di kolong-kolong impian termanisnya. Bayangnya ke awang-awang. Ia menelan ludah. Kering.

Sambil mengambil minum dari ransel buluknya, Ringga mengeluarkan satu amplop berukuran cukup besar. Warna hitam dan agak kaku. Dibukanya perlahan dari samping amplop itu. Ternyata sebidang karton yang dilipat dua yang senada dengan warna pembungkusnya. Itu kata-kata kenangan dari teman-teman di Parokinya. ”Maju terus, jangan kayak gue!”, tulis Amra, temannya yang paling bengal. Mereka berteman sejak latihan basket tiap minggu sudah diadakan lagi oleh Mudika beberapa bulan yang lalu. Si Arnet lebih lucu lagi, gua mau liat lo angkat tangan di pernikahan gua ye, tulisnya penuh guyon. Memang, teman-teman Ringgalah yang selalu membuatnya mantap dengan cita-citanya. Mereka bagai segenggam kekuatan yang Ringga bopong menuju Padewa. Satu kutipan yang paling membekas, ”Jangan takut! Kami ada bersamamu! Tuhanpun demikian…”, kenangnya mengeluarkan memori di kepalanya atas perkataan Romo Jack. Romo Jack nama aslinya Jackobus tapi lebih senang dipanggil Jack, lebih keren candanya. Ia mengatakannya kepadaku di malam itu, persis ketika purnama mengembang.

Seorang Bapak di sebelah Ringga yang dari tadi sejak di terminal tidur, menguap. Huah…! Ternyata dia sudah bangun. Setelah melepas kacamatanya, ia mengusap-ngusap matanya yang banjir belek. Buset! Ringga terkaget-kaget. Setelah ia perhatikan, ternyata kacamata Bapak itu tebal sekali. Mungkin kaca aquarium di rumahku kalah tebal, ledek Ringga dalam hati. Setelah itu ia kenakan lagi kacamatanya yang lebih mirip kacamata buat menyelam di laut. Ringga benar-benar tak bisa berhenti meledek Bapak itu dalam hati. Ia mencoba menahan tawanya. Bapak itu kemudian menoleh dan tersenyum kepada Ringga. Sang penerima senyum pun hanya membalas seperlunya.

Basa-basi pun dimulai.

”Sendiri mas?”

”Iya Pak.”, timpal Ringga malas.

”Mau kemana? Banyak amat bawaannya?”, tanya Bapak itu semangat.

”Ke Padewa. Di daerah Guloksawa.”

”Oh ya? Sama dong! Saya juga akan ke sana. Saya baru saja menghabiskan cuti saya selama 2 minggu. Sudah bawa semua persyaratan? Nanti Mas cari Bruder Felix saja, dia yang biasanya mengurus. Sudah tigabelas tahun saya menjadi penjaga perpustakaan di sekolah.” cerocos Bapak itu beruntun. Yang dihujani kata-kata cuma diam terbingung-bingung. Perasaan Ringga, dia belum bilang apa-apa deh. Dengan mulut ternganga dia menjawab.

”I..iya..ya Pak…!”

”Kok Bapak tau?” gantian Ringga yang semangat.

”Nebak doank mas. Hehe.. Abis tadi saya lihat Mas menanyakan alamat kepada kondektur di terminal.”

Dan obrolan pun memanjang.

***

Mata Ringga menangkap jalan di luar jendela. Jalan-jalan yang semakin mengerucut di kejauhan dan dihiasi banyak tanaman di perbukitan. Dari jauh, ia melihat segerombolan walet terbang ke Barat. Ah, hari sudah mau sore. Pikirannya kembali membebaninya. Bayangannya merantau jauh.

”Aku tak habis pikir dengan apa yang ada di otakmu!”, bentak Papanya serius.

”Aku menyekolahkanmu di tempat terbaik, agar kau menjadi orang besar. Tidak melulu Ringga yang hanya anak seorang karyawan bank!” nadanya meninggi.

”Papamu benar Ga. Mama juga lebih setuju melihat kamu suatu hari menjadi petinggi di kantoran. Lain itu, mama juga takut, siapa yang akan menjaga kamu nanti di hari tua, siapa yang memelukmu di kala kamu ketakutan. Pikirkan baik-baik Ga. Mama dan Papa tak mau melihatmu tak bahagia.”

”Ya. Jadi, mama dan papa, akan jauh lebih bahagia melihat aku yang dengan terpaksa menjalani hidupku. Ini hidupku, aku bertanggungjawab atasnya!”, pekik Ringga tak kalah galaknya sambil masuk kamar membanting pintu. BUAK!!!

Ringga kaget. Tersadar dari lamunannya. Dia teringat pertempuran hebat di rumahnya kala itu. Mungkin, bila tak selesai akan menjadi perang dunia ketiga, kenang dia dengan nakal. Setelah bulan demi bulan bertimpalan, orangtuanya baru merelakannya. Itu pun kadang sering dibumbui celotehan-celotehan yang memancing mulut untuk siap berdebat tiap makan malam.

Tapi itu dulu, ketika Ringga masih sayang melepaskan Ninda. Ketika nongkrong di ruang Mudika seharian sulit ia tinggalkan. Ketika naik gunung menjadi hasrat yang sulit dibendung. Itu semua ketika Ringga lebih memilih berhenti pada sebuah keraguan. Kini, hati Ringga sudah mantap. Tekadnya bulat. Sangat bulat dan kuat. Jiwanya berani untuk tidak berhenti pada titik keraguan saja. Ia berpikir. Ia memaknai. Sampai berani menjawab: YA!

***

Langit semakin muram. Ringga sudah tertidur barang setengah jam. Mungkin kelelahan berpikir. Pak Lewang, Bapak yang duduk di sebelahnya, menepak bahu Ringga. Ringga terbangun. Kaget. Mulut belepotan liur.

”Pakai sapu tangan ini, masih bersih.” suruh Pak Klewang.

”Hah?”

”Maksudku, lap ilermu. Sebentar lagi kita turun. Padewa di depan.” jelas Pak Klewang mantap. Dia sudah bercerita banyak soal kisah-kisah di Padewa kepada Ringga sejak tadi. Tampaknya mereka akan berteman akrab di sana.

Bis mengerem perlahan. Mereka berhenti di depan sebuah wisma besar. Sambil tergopoh membawa barang masing-masing, mereka berjalan segera.

”Kamu lihat plang itu?”, pancing Pak Klewang.

”Ya. Sekolah Seminari Atas Padewa.” eja Ringga membaca plang.

Kemudian mereka masuk. Senyum dipasang. Lega.

Makasih buat Ines karena telah menjadi teman diskusi yang menyenangkan atas ide ini.

Petojo – Karawaci

Awal April’06


Dimuat di JENDELA Kemakmuran, vol. 3 edisi 05/06