Mewaspadai Televisi di Tahun Politik

BUKAN subtansi, tapi pencitraan. Begitulah ketika politik tampil di dalam media, terutama televisi. Medium ini akan memaksa sang komunikator untuk lebih banyak menghabiskan energi dalam hal pencitraan ketimbang substansi, cara menampilkan diri ketimbang bicara isi, juga pemilihan jargon dan warna dasi ketimbang ideologi dan argumentasi politik. Agar berhasil, upaya bersolek ini mesti dibarengi dengan banyaknya penampilan di media.
Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), TIFA, dan Media Development Loan Fund pada Pemilu 2004 menunjukkan bahwa frekuensi kemunculan seorang politikus di media berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara rakyat. Begitu pula riset ISAI dan TIFA lima tahun kemudian, yakni pada Pemilu 2009. Kemenangan pasangan SBY-JK pada 2004 dan SBY-Boediono pada 2009 dilatari oleh aktivitas tampil di media dengan jumlah terbanyak. Maka bisa jadi: kemenangan politik bermula dari kemenangan menguasai media.
Media tentu sah-sah saja menjadi sarana berbagai kelompok atau partai politik mana pun untuk mengartikulasikan pesan atau sekadar menampangkan wajahnya—sejauh media mampu mengatasi prinsip independensi, imparsial, dan netralitas. Namun, setangguh apa media mampu memerankan tugas tersebut dengan sungguh serta tanpa tergoda dibeli oleh mereka yang menguasai kapital dan jaringan kekuasaan?
Sayangnya, publik harus khawatir karena praktek industri media akhir-akhir ini semakin menunjukkan gejalanya yang tak sehat. Kemunculan informasi dengan tendensi politis tak pernah lepas dari upaya rekayasa. Dengan berbagai modus, strategi rekayasa harus tidak kelihatan. Maka, rekayasa mengandaikan, pertama, kebohongan yang diorganisasi; kedua, penghilangan kebebasan pendengar; dan ketiga, tersedianya alat untuk mengalahkan resistensi (Breton dalam Haryatmoko, 2007: 70).
Tulisan ini ingin mencatat beberapa contoh yang terjadi di (dunia) televisi, yang terkait dengan adanya indikasi atas praktek tersebut. Pada paruh pertama tahun ini misalnya, di YouTube beredar rekaman tersembunyi atas pertemuan antarkader Partai Hanura. Rekaman tanpa gambar yang berisi tentang strategi Hanura untuk menggunakan RCTI dalam berkampanye itu bisa dihitung sebagai salah satu bentuk upaya mendemoralisasi media.
Memang, dalam pertemuan dengan Komisi Penyiaran Indonesia kemudian, pihak RCTI menyangkal bakal menuruti permintaan Hanura tersebut. Tapi bisakah publik menjamin hal tersebut sementara “pengalaman lampau” mengatakan sebaliknya, apalagi ditambah keterangan seseorang dalam video tersebut yang menyampaikan bahwa hal “itu sudah pernah kita programkan di partai lama”. Partai lama? Partai NasDem-kah yang dimaksud?
Rekayasa media atas informasi bertendensi politis beroperasi dalam beragam modus. Sebagai permisalan yang lain, publik bisa melihatnya dalam program penggalangan dana bencana yang digalang oleh media. Pada kasus banjir Jakarta 2013, misalnya, stasiun televisi milik MNC Group menampilkan lebih banyak peran Hary Tanoesoedibjo ketimbang pemirsa sebagai pihak pemberi sumbangan (Heychael & Thaniago, 2013). Bahkan, secara terorganisir, dalam salah satu kegiatan penyaluran sumbangan pemirsa oleh RCTI Peduli, terdapat skenario yang menyeragamkan tata bahasa dan gramatika ucapan terima kasih yang dilakukan oleh beberapa anggota TNI berbeda selaku perwakilan masyarakat korban banjir. Dalam ungkapan template itu, penonjolan pesannya serupa, yakni peran kedermawanan Hary Tanoe dalam bencana banjir.
Keheranan ini belumlah usai, karena pada periode banjir tersebut muncul sebuah lembaga bernama Hary Tanoesoedibjo Foundation (HT Foundation) dalam siaran di RCTI, MNC TV, dan Global TV. Adapun yang menjadi keheranan adalah adanya perbedaan informasi mengenai sumber dana di antara ketiga stasiun televisi tersebut. Lewat RCTI, dana HT Foundation dikabarkan berasal dari Hary Tanoe pribadi, tapi MNC TV dan Global TV memberitakan bahwa dana tersebut berasal dari masyarakat. Selain memperlihatkan adanya persoalan akurasi informasi, kenyataan tersebut ditakutkan bisa menggiring persepsi publik pada kemungkinan adanya upaya memanfaatkan dana publik untuk kepentingan pencitraan pribadi Hary Tanoe.
Pada stasiun televisi berita, peristiwa banjir Jakarta juga tak luput dari memanen kesempatan menggalang citra bagi pemilik atau partai politik yang terafiliasi atasnya. Melalui Metro TV, hal ini bisa kita jumpai dari berita dengan format dan durasi yang tak lazim: pemberitaan peran ormas Nasional Demokrat dalam bencana banjir (sementara tidak ada berita mengenai partai atau organisasi politik lainnya); atau kata sambutan Surya Paloh dengan durasi yang panjang ketika menerima sumbangan banjir dari perusahaan yang akan disalurkan melalui NasDem. Sedangkan di TV One, organisasi Atap Rumah Bangsa atau ARB, yang bermain simbolisasi subliminal melalui akronim, mendapat peliputan yang “mewah” ketimbang organisasi lainnya yang juga sama-sama menyalurkan sumbangan bagi korban banjir.
Di tengah praktek televisi swasta yang sedemikian “patuh”, tentu publik mesti berharap banyak pada TVRI. Sebagai stasiun TV Publik, yang dibiayai dari pajak publik, TVRI tentunya dinantikan perannya sebagai alternatif dari perusahaan televisi swasta yang tak bisa diharapkan banyak integritasnya. Namun ironisnya, TVRI didapati menyiarkan muatan yang sarat kepentingan sektarian, seperti liputan satu jam penuh atas perayaan ulang tahun Fraksi Partai Golkar (20 Maret 2013), Kongres Luar Biasa Partai Demokrat (30 Maret 2013), dan ulang tahun SOKSI, sebuah organisasi sayap dari Partai Golkar (22 Mei 2013).
Dengan muatan yang lebih mengarah kepada kampanye terselubung dan informasi yang bersifat internal partai, hal tersebut mengindikasikan terbajaknya independensi TVRI. Hal ini semakin mengkhawatirkan ketika dalam siaran perayaan ulang tahun Fraksi Partai Golkar itu, Tantowi Yahya—kader Golkar yang juga adalah anggota Komisi I DPR, yang salah satunya mengawasi bidang penyiaran—bernyanyi dalam irama country: “Aburizal Bakrie, anak sejuta bintang. Aburizal Bakrie, pemimpin kita semua. ARB!”.
Entah mekanisme macam apa yang tengah berlaku, namun TVRI mesti mengklarifikasi hal ini demi merebut kembali kepercayaan publik kepadanya. TVRI tak boleh ragu untuk menunjukkan apabila kejadian tersebut diakibatkan oleh karena adanya tekanan dari suatu kelompok atau unsur berkekuatan eksekutif-legislatif-yudikatif. Keberanian TVRI untuk menolak dibeli, niscaya akan didukung banyak pihak. Sebab, di punggung TVRI, publik luas siap berdiri dan mengikhtiarkan semangat demokrasi.
Tingkah televisi di tahun politik memang mengkhawatirkan. Perekayasaan informasi ditunaikan melalui taktik culas yang bertujuan untuk mengurangi kebebasan agar publik pemirsa tidak mendiskusikan atau melawan apa yang diusulkan (Haryatmoko, 2007: 69). Untuk membius kesadaran publik, repetisi kehadiran dipilih sebagai salah satu modus agar sosok seseorang melekat dalam ingatan pemirsa. Tentu, segala modus yang ada dilakukan dengan cara yang paling halus dan cerdik, sehingga tidak mudah dideteksi oleh regulasi yang gagap dan publik yang lengah. Dalam situasi ini, sungguh, negara diharapkan kehadirannya.
Dimuat di Koran Tempo, 26 Juni 2013

3 thoughts on “Mewaspadai Televisi di Tahun Politik

  1. Mas, ane dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kita lagi buat laporan ttg RUU Penyiaran dari sudut pandang UU 5 Tahun 1999 ttg Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. saya mau undang Mas Roy untuk jadi salah satu narasumber. Saya minta Nomor HP/Contact supaya bisa atur jadwal. Kalau berkenan tolong kirimkan email ke email saya : m_agus_r@kppu.go.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *