On Being Friendless

We live in a society where one would find it hard to believe that there are people who do not have even one friend. It was only recently that I became aware of such a view after following the story of a woman who went missing, but it was later revealed that she fled her abusive spouse. Among other topics discussed online, I was particularly triggered by the comments expressing disbelief at her lack of close friends. For many, the state of being friendless is inconceivable.

In a society like ours, it has become natural to assume that everyone has at least one person they can call a good friend. I, too, used to believe so, until I suffered the pain of loneliness, a moment that made me realise of me having no one, of me feeling friendless. It was during those days that I learned my profound longing for connection, a desire of being wanted and valued. Yet, in those vulnerable times, there was no one. I never anticipated that the combination of yearning for connection and the weight of feeling friendless could be the worst human experience ever.

The feeling of having no one is real. But just a few saw it coming. I was aware that as I got older, my number of friends would shrink. But no one warned me that shrinking could mean losing everyone you care about and from whom you seek care. Growing up being actively involved in various communities, I was used to having people around. And it is reasonable for people to assume I have a lot of friends, that I never possess the feeling of friendlessness. But I can’t lie. I had my moments feeling the absence of care. What’s even more painful is that the disbelief in my loneliness comes from those who know me well.

For those grappling with loneliness, it can be less painful to believe they have no one. Wouldn’t it have been less hurtful to believe we have nothing? By not expecting someone, we wouldn’t feel betrayed. Because what hurts us the most is our need for friends who don’t see things the same way we do.

Friendship is, after all, a relational condition. Without feeling the same way in return, I don’t think you can call someone a friend. The feeling of having a friend should be a shared emotion. I used to believe that some people were my friends and they felt the same way about me. But often, it seems they don’t see the way I do. It broke my heart and made me doubtful to say someone as my friend. But I’m equally doubtful to say so; I’m afraid that I’d hurt those who actually consider me a friend. Hence, friendship feeling requires the act of affirmation; it must be articulated, often verbally.

If language, with its most sophisticated feature of conveying meaning, is prone to undelivered and misinterpreted messages, non-linguistic expressions are even more so. Indeed, friendly gestures are valued, but they do not always indicate an interest to form a deep friendship. We need language to express our sentiments about and for friendship; that’s what words are invented for. We’d like to hear such words said to us. Alas, words tend to stay in the mind and heart, especially in the culture I grew up in. Words appear to be treated as social luxuries; they are only used as a last resort when caring gestures fail. Like me, that abused woman might be one of many people whose friendship is rarely validated by words.

Feeling friendless is real. It is generated when friendship is not confirmed, when words are left unspoken.

 


Photo by Alice Butenko on Unsplash

 

Mentor Saya: Ignatius Haryanto

Seperti saya, kau barangkali juga punya satu atau lebih orang yang berperan dalam pertumbuhanmu, baik secara karir, intelektual, spiritual, dan lainnya. Orang-orang seperti ini biasanya berada di luar sistem yang resmi. Hubunganmu dengannya bersifat informal. Mereka tidak mendapat insentif ekonomi dengan membantumu, meski mereka selalu menjadi tempat untuk kau mintai pendapat, kau dengar pengalamannya, kau masuki jaringan sosialnya, kau teladani jalan hidupnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kau anggap sebagai mentor. 

Saya punya beberapa mentor yang berbeda di tiap periode hidup, dan saya berhutang kepada mereka semua. Ignatius Haryanto adalah salah satunya. Kalau saya menulis tentangnya sekarang, bukan saja karena saya ingin kau tahu tentangnya, tapi juga agar ia tahu betapa berarti perannya dalam kehidupan saya.

Saya memanggilnya Mas Hari, atau kadang Mas Kum-Kum, meniru teman-teman seangkatannya yang memanggilnya demikian. Kum-Kum adalah serial anime Jepang pertama yang ditayangkan di Indonesia pada era 1970-an melalui TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Mas Hari selalu antusias bertanya ke anak muda yang baru belajar mengenai panggilan bekennya itu, “Tahu Kum-Kum, nggak?”. Tentu saja tidak ada yang mengangguk. Kadang ia berlagak pilon, lupa bahwa ia datang dari zaman ketika Barry Prima masih menjadi idola remaja.

Saya pertama kali kenal dengannya di sebuah pelatihan jurnalistik pada 2005. Waktu itu saya masih mahasiswa, yang sedang produktif-produktifnya menulis, meski tulisan-tulisan tersebut masuk kategori jelek saja belum pantas. Sejak itu kami menjadi dekat. Kami jadi sering bertemu di berbagai kegiatan yang berhubungan dengan anak muda dan dunia tulis-menulis. Ia memang orang yang gampang disukai oleh anak-anak muda. Di sekelilingnya pasti ada anak muda yang tanpa sungkan bergurau dengannya. Saya malah rutin menghina dirinya. Ampun, om.

Ignatius Haryanto yang kau tahu barangkali adalah seorang penulis yang berfokus pada isu jurnalisme. Kau mengenalnya, atau mungkin familiar dengan namanya, karena ia memang seorang penulis yang rajin menerbitkan artikel populer di media. Sebelum bertemu dengannya secara fisik, saya sudah bertemu dengan tulisan-tulisannya di koran, meski hal ini saya baru sadari kemudian. Tapi, bukan pikiran-pikirannya yang mempengaruhi saya, melainkan laku hidupnya. Ia saya anggap sebagai mentor pertama-tama karena jalan hidupnya memberikan saya gambaran alternatif tentang cara menempuh hidup.

Saya dibesarkan di dalam keluarga pedagang. Kedua orangtua saya tidak pergi ke universitas. Karena orangtua saya punya usaha biro iklan, sejak kecil saya dikelilingi banyak surat kabar dari berbagai daerah di Indonesia. Minat saya pada isu sosial dan politik tumbuh dari kebiasaan membaca dan mengkliping koran—sesuatu yang saya sadari belakangan. Tapi secara sosiologis, hidup saya tidak pernah berpapasan dengan mereka yang hidup dari menulis atau kerja intelektual. Lingkungan sosial saya adalah lingkungan pedagang, pemilik bengkel, bandar bajaj, karyawan kantor, dan preman pasar. Kau mungkin iba dengan pikiran saya ketika itu: bahwa para intelektual itu cuma ada di buku sejarah—yang lebih menyerupai dongeng—dan saya tidak pernah tahu ada orang dari “kalangan” saya yang menjadi intelektual. Senyata-nyatanya Soe Hok Gie, buat saya waktu itu, ia tetap fiksi.

Mas Hari adalah sosok intelektual pertama yang saya kenal secara nyata. Melaluinya, saya bukan saja menjadi tahu bahwa ada dunia lain di luar lingkungan sosial saya, tapi bahwa ada “orang seperti saya” yang bisa memilih hidup dengan cara demikian. Kami memang berbagi banyak kesamaan, mulai dari identitas etnis, agama (waktu itu saya religius), dan rambut (waktu itu saya gondrong dan, percaya deh, potongannya lebih amboi dari Mas Kum-Kum). Kalau kau ada di sebuah dunia yang tidak lazim untuk orang sepertimu, kau tahu, kau selalu butuh mimpi dan aspirasimu mendapat validasi, salah satunya adalah dengan menyaksikan secara langsung orang yang serupa denganmu berhasil menjalani mimpinya.

Namun Mas Hari berperan lebih jauh dari sekadar sebagai role model. Ia membantu mengetuk dan membukakan pintu bagi saya untuk masuk ke dunianya. Satu per satu temannya, yang selama ini pikiran atau namanya saya baca di media, dikenalkan kepada saya. Mas Hari bahkan beberapa langkah lebih ampuh ketimbang Yellow Pages. Kalau buku besar kuning ini cuma memberimu informasi kontak, Mas Hari menghubungi kontak tersebut untuk dirimu, mengatur janji pertemuan, dan memberi pengantar yang pas tentang dirimu sehingga kontak tersebut punya minat atasmu. Latar belakangnya sebagai mantan wartawan dan karirnya yang dibangun di dalam dunia riset dan aktivisme, membuat jaringannya luas dan beragam. Tak terhitung berapa nama yang ia sambungkan dengan saya, dan banyak dari koneksi itu yang kelak menentukan jalan hidup saya.

Selain membukakan pintu, Mas Hari juga membagikan “panggungnya”. Banyak kali saya diajak tandem dengannya untuk mengisi pelatihan menulis. Atau ia merekomendasikan nama saya untuk pekerjaan, kolaborasi, atau apapun yang kebutuhannya memerlukan peran orang seperti saya. Selain mendapat honor dan membuka jaringan, hal ini juga memberikan saya ekosistem untuk bisa bertahan di dunia yang saya jalani ini.

Tidak banyak orang yang sudi membagi panggungnya, dan Mas Hari adalah pengecualian. Karena itu, tak heran hingga berbelas-belas tahun kemudian, hidup kami selalu beririsan. Ketika pada 2010 saya mendirikan sebuah lembaga penelitian media, Remotivi, Mas Hari tentulah orang pertama yang ada di pikiran saya untuk ditodong bantuan. Ia menjawabnya bukan saja dengan kesediaannya menemani kami belajar, tapi juga memberikan ruangan di kantornya ketika itu, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, untuk kami tempati.

Di dunia akademik, sidik jari Mas Hari atas saya juga berbekas. Ia menuliskan surat rekomendasi yang saya pakai untuk studi master di Swedia. Ketika saya kembali ke Indonesia, ia menginformasikan adanya lowongan dosen di kampus tempat dia mengajar. Sebagai dosen senior, ia selalu menyediakan dirinya untuk saya berkonsultasi mengenai materi ajar, menghadapi mahasiswa, dan yang tersulit, menyiasati cuaca akademik di Indonesia yang sering mendung.

Besok di Geneva saya akan menempuh salah satu fase penting dalam studi doktoral saya: sidang pra-disertasi (semacam sidang proposal di Indonesia). Ketika sedang menyiapkan presentasi dan jawaban–jawaban untuk dua profesor pembimbing, sebuah pertanyaaan tiba-tiba menyergap: apa yang telah berperan membawa saya ke titik ini? Dan saya tidak bisa berpikir lain selain peran mentor-mentor saya, yang mana Mas Hari adalah salah satunya.

Mentorship punya peran penting dalam kebudayaan manusia. Fungsinya sangat vital dalam membikin pengetahuan, kebijaksanaan, dan jaringan sosial terwarisi dari generasi ke generasi. Namun peran mentor sering tidak dikenali. Valuasi sosial kita luput memberikan penghargaan yang layak atas peran mentor yang informal. Kita memiliki hari guru di Indonesia, tapi tidak ada yang namanya hari mentor (saya baru tahu ternyata ada perayaan Hari Mentor Internasional tiap 17 Januari!). Sebabnya mungkin karena keberadaan mentor yang cair dan beroperasi di luar sistem. Mungkin juga karena peran mentor biasanya menggugat sistem, atau ia justru menjadi ada karena sistem telah gagal memenuhi kebutuhan kita untuk bertumbuh.

Barangkali memang mentorship sebaiknya tidak perlu dikenali oleh sistem valuasi sosial kita yang kapitalistik itu. Tempatnya yang selalu berada di tepi justru membuat peran mentorship khas dan tidak tergantikan—seperti halnya peran Mas Hari dalam hidup profesional saya.

Hari ini, 23 Maret, Mas Hari berulang tahun. Sepanjang mengenalnya, saya belum pernah memberinya kado ulang tahun. Karena itu kali ini saya ingin menghadiahkannya dengan sesuatu yang dulu sekali ia berikan kepada saya: menulis.

Selamat ulang tahun, Mas Har. Tetap menyerah, jangan semangat. 🫣

 

__
Photo by john Applese on Unsplash

Bagaimana Saya Mengamankan Akun Digital Pribadi?

Bertahun-tahun saya menunda untuk membenahi aspek keamanan dari akun-akun digital saya. Rekayasa kasus yang menimpa Ravio Patra bukan saja meningkatkan kesadaran saya soal keamanan digital, tapi juga memaksa saya untuk segera berbenah.

Lewat berbagai artikel dan video, dan dengan pengetahuan seadanya, saya mempelajari cara meningkatkan keamanan digital pribadi. Saya kemudian menuliskan beberapa prinsip yang saya terapkan dan membagikannya ke teman-teman.

Tapi, kenapa tidak saya bagikan ke lebih banyak orang saja?

Maka catatan berikut adalah hasil tulis ulang dari apa yang saya sudah edarkan sebelumnya ke lingkaran terdekat. Tapi perlu dipahami bahwa catatan ini ditulis oleh seorang awam yang tidak memiliki keahlian pada bidang keamanan digital. Saya berharap catatan ini bisa dikoreksi dan ditambahkan oleh siapa pun yang berminat (silakan tulis di kolom komentar, ya).

1. Bedakan akun email seturut fungsinya

Jangan memusatkan seluruh aktivitas daring pada satu akun email. Kebiasaan kebanyakan orang, termasuk saya, adalah memiliki satu akun Gmail di mana akun tersebut dipakai untuk banyak fungsi (korespondensi, mendaftar media sosial, langganan newsletter, layanan perbankan, dan sebagainya).

Karena itu, mulailah bikin beberapa akun email dengan fungsinya masing-masing. Ini untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan apabila akun email kita dibajak: tidak merembet ke semua hal karena kita telah memecah konsentrasi di satu akun email.

2. Bikin akun email di perusahaan non-Google dan sejenisnya

Kita sebaiknya punya akun email pada perusahaan yang lebih aman seperti protonmail.com, tutanota.com, atau hushmail.com. Selain karena faktor keamanannya, akun email non-mainstream ini juga bisa mengecoh orang yang ingin meretas, karena mengira email utama kita di Gmail, Yahoo, Hotmail, dan semacamnya.

Kemudian, akun email ini sebaiknya difungsikan sebagai “email tersembunyi”; tidak diketahui orang dan hanya untuk kepentingan pribadi. Karena itu, akun email baru ini bisa menjadi recovery email buat akun email kita yang bersifat publik. Pada akun baru ini sebaiknya kita tidak membuat alamat yang bisa ditebak seperti “nama depan + nama belakang@protonmail.com”. Alamat seperti ini lebih aman: “chayank.justinbieber_virgoboy@tutanota.com”.

3. Gunakan password manager

Password manager berguna untuk membantu kita mengingat beragam password yang berbeda untuk tiap akun. Jadi kita cukup mengingat username dan password dari password manager kita untuk bisa mengakses semua akun digital yang disimpan di melaluinya.

Beberapa password manager yang bisa digunakan ada Bitwarden, Lastpass, Keepass, atau 1Password. Saya tidak memakai password manager bawaan yang ada di Chrome sebab, pertama, saya tidak suka memusatkan semua hal di Google; dan kedua, saya berpikir bahwa perusahaan yang jualan utamanya adalah soal keamanan pasti punya perhatian lebih tinggi untuk terus memperbaharui produknya.

Meski begitu, beberapa orang tidak sepenuhnya percaya dengan password manager, dan mereka lebih mengandalkan ingatan mereka untuk menghafal berbagai password.

4. Periksa dan benahi alamat email yang dipakai untuk recovery

Akun kita di Twitter, Facebook, Tokopedia, Gojek, dan lainnya meminta dihubungkan dengan alamat email aktif. Alamat email tersebut akan diperlukan ketika kita lupa dengan password Twitter, Facebook, dan lainnya.

Sekarang, periksalah ke alamat email mana tiap akun Anda disambungkan. Saya sendiri dulunya menjadikan alamat Gmail saya sebagai recovery email untuk beragam akun lainnya. Apa yang saya lakukan ini tidak aman, karena menjadikan email publik saya sebagai pusat dari semesta akun digital saya.

Karena itu, putuskanlah sambungan akun Instagram, PayPal, atau Slack Anda dari akun email yang sekarang, dan pindahkan sambungannya ke akun email baru yang sudah dibahas di poin 2 di atas.

5. Ubah password dan jangan gunakan lebih dari satu kali

Ketika mengubahnya, janganlah memakai password yang mudah ditebak. Tips dari Edward Snowden ini bisa disimak. Jangan gunakan password (satu kata), melainkan passphrase (frasa). Jangan pakai password yang berkaitan dengan diri kita, misalnya tanggal lahir, nama anak, klub bola favorit, dan lainnya. Kalau Anda tidak masalah menggunakan password manager, Anda bisa menggunakan password generator yang disediakan, jadi Anda tidak perlu pusing memikirkan password apa yang hendak dipakai di setiap akun. 

6. Gunakan 2-step verification via aplikasi, bukan SMS

Dengan menggunakan 2-step verification, akun kita tidak hanya membutuhkan password, tapi juga kode yang lain. Biasanya, banyak orang menerapkan 2-step verification via SMS. Dengan begitu, sebuah kode akan dikirim ke SMS dan kita pakai untuk mengakses akun kita. Namun, verifikasi via SMS ini tidaklah aman. Peretas bisa menggunakan berbagai trik untuk mengakses SMS Anda, salah satunya adalah metode SIM Swap.

Karena itu, gunakanlah aplikasi di ponsel sebagai metode 2-step verification. Anda bisa memakai Google Authenticator, 2FA Authenticator (2FAS), LastPass Authenticator, dan lainnya. Aplikasi ini nantinya secara offline akan menghasilkan kode tiap 30 detik. Kode ini yang Anda pakai untuk mengakses akun Anda.

Namun, menggunakan 2-step authenticator ini berisiko. Karena kalau ponsel kita hilang, kita akan gak bisa akses seluruh akun yang menerapkan 2-step verification. Karena itu, sebelum menerapkannya, kita perlu menyimpan kode-kode yang disediakan oleh tiap akun. Kode-kode ini bisa didapatkan di akun Twitter, Facebook, atau Google ketika kita ingin menerapkan 2-step authenticator di masing-masing akun.

Kode-kode itu sebaiknya kita cetak dan simpan di tempat yang aman. Kode-kode ini akan diperlukan ketika semua cara dalam mengakses akun kita sudah tidak memungkinkan.

Ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan alat semacam flashdisk bernama Yubico. Dengan alat ini kita cukup mencolokkannya di perangkat yang kita pakai untuk mengakses akun. Namun, selain alat ini mahal, risikonya mungkin lebih tinggi kalau hilang.

7. Hapus passwords yang tersimpan di browser

Ini adalah saran yang terakhir. Hapuslah semuanya. Gunakan saja password manager yang terpisah (baca poin nomor 3), atau hafalkan kalau mungkin.

Membenahi keamanan akun digital memang ribet. Saya sendiri menghabiskan satu hari penuh untuk membereskannya. Nanti ceritakan ya pengalaman Anda di kolom komentar.

 

Plato Mati Diracun

Belum pernah tingkat kepercayaan saya pada masyarakat ini berada para titik sangat rendah seperti sekarang ini.

Barangkali saya lebay. Barangkali karena saya terlalu emosional.

Atau memang kekecewaan saya ini adalah suatu ekspresi yang layak? Bukankah—meminjam slogan gerakan Feminisme pada 1960an—yang “personal is political“?

Minggu lalu saya dikabari bahwa anjing saya Plato mati. Ia mati diracun oleh entah biadab mana lagi. Terlalu banyak orang biadab di negeri ini; negeri yang merasa dirinya lebih luhur karena ketimuran dan kereligiusannya.

Plato tidak diracun sendirian. Satu ekor pitbull ikut bersamanya. Mereka ditemukan tergeletak di halaman rumah dengan mulut berbusa. Ada yang dengan sengaja melempar makanan beracun ke balik pagar.

“Mungkin siang kejadiannya kak, soalnya udah kaku banget badannya”.

Keluarga baru Plato mengirim pesan kepada saya selepas jam makan malam. Mereka, tentu saja, tidak tahu siapa yang melakukan ini.

Setengah tahun lalu Plato diadopsi oleh keluarga ini. Ia saya relakan dirawat orang lain karena saya semakin kehilangan kemampuan untuk merawatnya dengan patut.

Sejak diadopsi, saya belum sempat menemui Plato lagi. Beberapa kali merencanakan berkunjung, tapi waktunya tak pernah cocok. Saya tidak pernah menyangka kabar terbaru tentang Plato adalah soal kematiannya; kematian yang sebetulnya tidak perlu ada kalau keparat itu tidak membunuhnya.

Plato dan kawan pitbull-nya itu bukan tipe anjing yang galak. Plato bahkan irit gonggongan. Mereka tidak dilepas di jalanan. Mereka tidak menganggu siapapun. Bahkan ketika mereka mengganggu sekalipun, tidak ada alasan yang bisa membenarkan pembunuhan atas mereka.

Menjadi biadab, kau tahu, memang tak memerlukan alasan. Kebiadaban cuma butuh sasaran; kebiadaban cuma butuh pelampiasan.

Kalau kau bisa dengan gampang membunuh makhluk hidup hanya demi membuatmu gembira, atau demi membuat pernyataan tertentu, maka ada yang salah dari caramu menjalani hidup. Dan saya tidak ragu untuk sampaikan ini di depan hidungmu: periksa semua hal yang ikut membentukmu menjadi seorang biadab; semua hal yang mungkin. Periksa ulang tentang nilai di keluargamu, cara menjalankan agamamu, lingkar pertemananmu, pendidikanmu, pengalaman hidupmu, apapun.

Sepanjang hidup di negeri ini, saya mengalami banyak sekali kekecewaan dari masyarakat tempat saya hidup. Tapi baru kali ini perasaan saya dibuat sangat remuk seperti sekarang, melebihi pengalaman-pengalaman lain termasuk kebencian rasial. Dan saya masih belum bisa menjelaskan mengapa kematian Plato membikin saya begitu amat marah terhadap masyarakat.

Society, you’ve failed me. You’ve truly failed me.

Vandalisme Tsamara dan Kemiskinan Imajinasi Politik

Saya benci dengan vandalisme politikus di ruang publik. Kebencian saya bertambah ketika vandalisme itu dilakukan justru oleh politikus yang saya harapkan punya etika politik yang baru. Itulah yang dilakukan Tsamara Amany, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang tanpa izin menempeli dinding rumah saya dengan poster kampanyenya.

Meski tidak pernah terpikat oleh gagasan-gagasannya, bukan berarti saya tak menaruh harapan sama sekali terhadap Tsamara dan politikus segenerasinya. Kemudaan dan citra pembaharu yang ia iklankan tentang dirinya membuat saya menuntut darinya sebuah etika politik yang berbeda.

Sayangnya, Tsamara gagal menunaikannya.

Poster Tsamara Amany di tembok rumah saya.

Dengan kapasitas dan latarbelakangnya, saya masih bisa “toleran” kalau Tsamara abai dalam isu perampasan tanah petani oleh negara dan korporasi. Pun saya masih bisa memaklumi sikap kritisnya yang absen terhadap memblenya kebijakan Jokowi dalam bidang HAM atau gagasan pseudo-pluralismenya yang cuma dagangan politik. Toh saya tidak bisa memaksa Tsamara menjadi kritis dalam sekali scroll timeline Twitter.

Tapi kalau vandalisme saja gagal dilihat Tsamara sebagai masalah etika politik, maka ada masalah yang lebih mendasar tentang bagaimana idealisme politik bisa dijalankan di negeri ini, bahkan oleh mereka yang mengklaim tengah meninggalkan cara lama dalam berpolitik.

(Ayolah, sis, sebagai generasi Instagram setidaknya kita punya standar estetika tertentu yang membuat kita enek sama cara politikus NKRI berkampanye di baliho. Kita jijik banget sama pilihan font, warna, layout, dan tempat nempelnya. Saya nggak tahu apakah kamu pernah seperti saya: bersumpah akan nyiksa diri dengan menonton semua episode “Indonesian Lawyers Club” tanpa di-skip, kalau saya suatu ketika melakukan apa yang para politikus itu lakukan.)

Vandalisme bukanlah sekadar polusi visual. Lebih dari itu ia adalah sebentuk invasi: pendudukan dan penundukkan. Yang diduduki adalah ruang kolektif warga. Yang ditundukkan adalah cara kita mengingat.

Pengertian vandalisme, buat saya, melampaui urusan legalitas. Ia harus dimaknai sebagai Manifestasi Yang Privat pada apa-apa Yang Publik. Manifestasi Yang Privat itu kadang berwujud reklame raksasa di perempatan jalan yang mempropagandakan citra perusahaan—dan itu legal. Di lain waktu ia berwujud corat-coret yang memuat ekspresi kebencian, pernyataan eksistensi kelompok, atau ekspresi artistik yang narsistik.

Di musim Pemilu, Manifestasi Yang Privat tampil dalam bentuk spanduk, stiker, baliho berisi wajah-wajah para politikus yang mengharapkan iba. Tiap menatap wajah mereka, tiap itu pula saya kangen sama Plato, pug saya berzodiak Pises yang terampil menyetel muka memelas ketika saya mengemil lontong sayur.

Dengan mendefinisikan vandalisme sebagai Manifestasi Yang Privat, maka tidak semua corat-coret atau “interupsi visual” di ruang publik, buat saya, merupakan bentuk vandalisme. Saya menolak bersetuju kalau grafiti sebuah komunitas bomber yang menyadarkan ketidakadilan sosial dianggap sebagai bentuk vandalisme—meski barangkali itu ilegal. Pembedanya di sini: lebih menonjolnya Manifestasi Yang Publik; lebih terakomodasinya narasi urusan bersama ketimbang akumulasi kemenangan pribadi atau kelompok.

Sama seperti spanduk sunat-tanpa-sakit, vandalisme Tsamara dan teman-temannya yang gondrong politikus adalah Manifestasi Yang Privat. Mereka bicara tentang mereka dan untuk mereka. Invasi mereka atas ruang publik sama-sama membentuk wajah kota dan cara kita mengingat kota.

Saya tak ingin identitas kota dibentuk secara dominan oleh partai politik atau merek minuman botol. Saya tak sudi kalau ingatan saya terhadap gang rumah adalah senyuman para politikus.

Buat saya, vandalisme parpol adalah sejenis pornografi. Keduanya punya ciri yang mirip: banyak dalam satu waktu (masa kampanye vs. ingatlah satu temanmu yang selalu sesumbar soal isi hardisk-nya), upaya panjang untuk memperolehnya tapi penggunaannya singkat (cukup jelas), dan mudah dilupakan (ada yang hafal wajah dan nama mereka?).

Secara lebih serius, kesamaan antara vandalisme parpol dan pornografi adalah terletak pada bagaimana keduanya sama dalam unsur eksploitasi, penyaluran syahwat, transaksional, dan bersifat jangka pendek.

Singkatnya, poster dan spanduk caleg adalah pornografi parpol. Dan poster Tsamara di tembok rumah saya adalah pornografi yang paling porno.

Lebih jauh, ada hal lain yang bisa kita pahami dari model kampanye Tsamara. Bukan sekadar vandalisme, apa yang dipertontonkan Tsamara itu memperlihatkan sesuatu yang lebih laten: hegemoniknya sistem dan budaya politik di Indonesia.

Sistem dan budaya politik itu menciptakan sebuah gelanggang yang mengoridori apa yang bisa dan tak bisa dikatakan/dilakukan; mengarahkan bagaimana politik “normalnya” dipraktikkan. Tak beranjaknya Tsamara dari metode kampanye yang primitif adalah contohnya. Alih-alih mempengaruhi sistem dan budaya politik, Tsamara malah dipengaruhi duluan, bahkan sebelum ia berada di dalam sistem (yang formal).

Sistem politik yang hegemonik ini membuat otonomi individu terlumat. Ia membatasi siapapun untuk bisa dan berani punya imajinasi politik di luar kelaziman. Hilmar Farid benar ketika mengatakan bahwa warisan paling bermasalah dari Orde Baru adalah kemiskinan imajinasi politik, sosial, dan budaya.

Kemiskinan imajinasi itu kini ada dalam standar memilih presiden: pilih yang ideal mendingan. Kemiskinan imajinasi itu kini terlihat dari absennya pertanyaan yang menggugat soal kenapa kita cuma punya dua kandidat presiden dan pemilihan keduanya tidak pernah melibatkan kita. Kemiskinan imajinasi itu hari ini terlihat dari kerdilnya pemaknaan tentang partisipasi politik: masuk TPS. 

Dalam kemiskinan imajinasi, memasang standar yang lebih tinggi buat calon presiden adalah kemewahan yang bukan saja tak boleh dimiliki, tapi juga tak boleh dibayangkan. Dalam kemiskinan imajinasi, memilih untuk tidak memilih tak pernah dipandang sebagai sebuah pernyataan politik yang layak.

Jangan lupa, selain memiskinan imajinasi, Orde Baru juga mewariskan stigma terhadap mereka yang memilih untuk tidak memilih.

 


Foto diambil dari sini.

Pilkada dan Mengorganisasi Sikap Politik Alternatif

Dua minggu lagi Pilkada dilaksanakan serentak di 101 daerah di Indonesia. Sebagai warga Jakarta, sialnya, sikap politik saya tidak terwadahi dari tiga calon yang ada. Namun saya percaya, saya tidak sendirian.

Ada banyak orang yang aspirasi politiknya kesulitan menyesuaikan diri dengan pilihan yang tersedia. Ada rasa bersalah yang kuat kalau mereduksi sikap politik pribadi sekadar agar bisa berpartisipasi dalam Pilkada dengan cara mencoblos salah satu pilihan yang ada.

Hidup adalah persoalan yang kompleks, maka hidup bersama adalah persoalan yang jauh lebih kompleks. Dan politik adalah ihwal yang mengatur kehidupan bersama itu. Pendeknya, politik adalah mekanisme distribusi. Yang didistribusikan adalah hak, akses, kebebasan, dan kekuasaan.

Sikap politik saya, dan juga banyak orang lainnya, juga kompleks. Saya berada pada posisi yang berseberangan dengan Ahok dalam hal penggusuran, tapi saya membelanya dalam kasus penistaan agama. Saya mendukung Ahok dalam hal reformasi birokrasi dan kefrontalannya menghadapi politikus bangsat, tapi saya menjadi seterunya yang keras atas watak fasismenya yang tercermin dalam cara ia memahami kemiskinan, demokrasi, dan persoalan sosial.

(Mari mengingat lontaran dan kebijakan Ahok yang lalu-lalu: “akan bunuh 2 ribu orang demi menyelamatkan 10 juta orang”, “mensitgma warga bantaran kali dengan label ‘komunis’, ‘penyebar TBC'”, “penerbitan Pergub pelarangan demonstrasi di Bunderan HI dan Istana”).

Soal Anies, saya sepandangan dengannya dalam ihwal ia memahami pengelolaan kota sebagai gerakan partisipatif (bandingkan dengan paradigma Ahok yang cenderung “top-down“). Saya juga sepaham dengan paradigma Anies yang menginvestasikan kerja politik pada pembangunan manusia (Ahok menggunakan istilah “membangun manusia”, tapi corak berpikirnya tidak mengarah ke sana). Meski tidak pernah secara detail menjelaskan teknisnya, saya juga menghargai sikap Anies yang menolak reklamasi dan penggusuran.

Anies adalah orang pandai yang memahami banyak persoalan. Ia pandai karena ia memahami aspirasi dari tiap kelompok yang berbeda. Namun ini justru yang menjadi problem buat saya: Anies berjualan isu apapun sehingga ia tidak lagi punya harga. Simak saja manuvernya pada debat resmi pertama yang tiba-tiba memainkan sentimen “pendatang vs penduduk asli” dan jualan moral dan akhlak yang mengingatkan saya pada retorika para politikus pada umumnya.

Kepandaiannya menjadi mengerikan karena membuat saya tidak bisa memahami kapan ia menjadi dirinya dan kapan ia menjadi orang lain. Misalnya saja, ia bisa tiba-tiba bicara mengobral bahasa keminggris ketika bicara di hadapan redaksi Jakarta Post–sesuatu yang tidak ia lakukan di hadapan publik berbeda. Ketika mampir ke Petamburan, retorika Anies beda lagi. Ini bukan lagi persoalan kepandaian membawakan diri dalam tiap konteks yang berbeda, tapi ini persoalan kepandaian mematut diri dan berkamuflase, yang menyulitkan kita untuk mengidentifikasi siapa dan bagaimana Anies Baswedan sesungguhnya.

Kekalapan Anies untuk berkuasa juga mengerikan. Kekalapan ini yang membuat ia duduk bersama orang yang secara retorika punya nilai berbeda dengan riwayat citra yang ia tampilkan selama ini. Buat saya, ini bukan persoalan kemampuan berdamai dalam politik atau bekerjasama dengan bekas seteru, tapi ini persoalan konsistensi pada nilai yang dianut (padahal dalam debat Anies menyinggung pentingnya “membela nilai”).

Soal kekalapan berkuasa, saya kira Ahok juga tidak kalah hebat. Meski beberapa temuan menunjukkan rekayasa dari konsultan politik, Teman Ahok tetap saja sesuatu yang berharga dalam proses warga berpolitik. Nilai penting dari Teman Ahok adalah ikhtiarnya menjadikan warga sebagai subjek dan pengorganisasian warga biasa dalam politik sebagai anti-tesis partai politik konvensional. Gilanya, proses panjang dan berharga ini dibubarkan setelah Ahok mendapat tiket dari PDI-P. Sekadar menjadikan Ahok sebagai gubernur kembali sebagai tujuan, ketimbang mengelola dan membangkitkan daya politik warga, adalah imajinasi politik yang keterlaluan miskin.

(Saya tidak membahas Agus karena betapa tidak menariknya ia).

Apa yang ingin saya sampaikan dari ilustrasi barusan adalah betapa tidak sederhananya membuat keputusan politik. Betapa kompleksnya realitas, dan itu tidak bisa diringkus dengan mendukung dan menolak salah satu politikus–apalagi secara fanatik.

Karena itu, mengekspresikan kesalehan atau keislaman tidak selesai hanya dengan cara tidak memilih Ahok. Sebaliknya, mendukung ide keberagaman atau kebinekaan tidak harus diartikan semata-mata dengan cara mendukung Ahok yang minoritas.
Menentang kebijakan Ahok soal penggusuran tidak sesederhana dilakukan dengan cara mendukung Anies dan terjerembab mendukung konservatisme agama demi menjegal Ahok.

Membela Ahok yang terdzolimi lewat pasal penistaan agama, tidak sesederhana mendukung dia terpilih menjadi gubernur. Saya tentu membela mereka yang terdzolimi. Tapi saya tidak akan mendukung seseorang hanya karena ia terdzolimi. Apakah karena, misalnya, Trump dihina di sana-sini, digempur oleh banyak media, lantas kita mendukung Trump? Seperti Ahok, Rizieq Shihab juga didzolimi oleh pasal penistaan agama, dan saya membela Rizieq dalam konteks tersebut, tapi saya tidak akan satu jengkal pun satu perahu dengannya hanya demi untuk menunjukkan pembelaan terhadap mereka yang terdzolimi.

Dilema dan kompleksitas macam inilah yang saya dan banyak orang lain alami. Dilema dan kompleksitas ini tidak dipahami oleh masing-masing pendukung. Mengritik Ahok disinonimkan dengan anti-Cina atau anti-kemajuan Jakarta. Membela Ahok disejajarkan dengan anti-Islam atau mendukung fasisme. Yang serupa antara fanatisme beragama dan fanatisme berpolitik adalah sama-sama menjadi manusia satu dimensi.
Akhirnya, situasi yang ada membawa saya pada gagasan berikut: sikap politik alternatif, yang tidak mungkin dilebur ke dalam pilihan yang tersedia, harus dinyatakan dan diorganisasikan. Ia setidaknya diharapkan memiliki aksentuasi yang kuat, yang tidak berlalu begitu saja. Aksentuasi yang turut meramaikan diskursus publik di mana selama ini tidak mengenali apalagi bahkan mengakui keberadaannya.

Ada komentar?