Alergi Melayu

foto buku-buku dalam keadaan terbuka ditempel berhimpitan di sebuah tembok

MAJALAH Tempo dalam edisinya yang bersampul Jokowi-Megawati memuat secarik surat pembaca bernada rasial. Bukan saja rasial, tapi surat yang ditulis oleh Ma’mun Gunawan tersebut memperlihatkan pemahaman kebangsaan yang lugu dan ahistoris. Menerakan diri sebagai Sekretaris DPD KNPI Garut, begini isi sebagian surat Ma’mun (Tempo edisi 9-15 September 2013, halaman 6):

Tarik Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Kami menemukan materi pembelajaran pada buku referensi pelajaran bahasa Indonesia terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kelas VII sekolah menengah pertama yang sangat tidak layak dibaca siswa. Materi tentang cerita pendek di halaman 220-225 tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi bahasa Melayu yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Ada beberapa kata yang tidak dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, seperti tercenung (halaman 221), ngosel (halaman 2254), dan mengingsut (halaman 225). Dari surat ini saya mencatat setidaknya dua hal yang menarik untuk disimpulkan: (1) Bahasa Indonesia dianggap bukan bahasa Melayu, dan (2) Sikap penolakan atas apa yang bukan “Indonesia”, lebih tepatnya Melayu.

Rasanya sangat aneh kalau hari ini kita masih membicarakan poin nomor satu. Tapi baiklah.

Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, begitu bunyinya. Di tengah demam bahasa Vicky Prasetyo, logika itu merupakan monumen kepandiran yang lain dalam alam bahasa kita. Kalau pada kasus Vicky itu menunjukkan inferioritas berbahasa—sekaligus cermin dari strategi berbahasa para demagog (politikus dan penipu)—maka surat pembaca ini menunjukkan kalau bahasa gagal dipahami sebagai identitas yang dibentuk melalui serangkaian peristiwa, perdebatan, dan hibriditas, yang kesemuanya berada dalam lingkup ekonomi dan politik. Bahasa kemudian dimengerti sebagai sesuatu yang terberi, steril, dan tanpa riwayat.

Entah, apakah para nasionalis macam Ma’mun tak tahu, kalau tonggak nasionalisme bahasanya ditopang oleh bukan hanya Melayu, tapi juga Cina, Arab, Jawa, Portugis, Sunda, Belanda, Latin, Kawi, Minangkabau, Sansekerta, Inggris, Tamil, Prancis, Ibrani, Austronesia, Bugis, dan sebagainya? Begitu banyaknya unsur bahasa bangsa lain, sehingga Alif Danya Munsyi pernah menulis buku 9 Dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Namun, bicara bahasa Indonesia, pada rahim bahasa Melayulah pertama-tama mesti kita tengok.

Kongres Pemuda Pertama pada 1926, dua tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, memperdebatkan bahasa apa yang akan dipilih sebagai bahasa pemersatu sebuah wilayah kepulauan yang luas ini, yang kelak akan menjadi Republik Indonesia.  Ketika itu, dua bahasa dihadap-hadapkan untuk dipilih, yakni Jawa dengan Melayu. Muhammad Yamin, yang kelak menjadi arsitek sejarah (mitos) Indonesia, mengusulkan agar bahasa Melayu yang dipilih. Usulannya diperkuat Djamaludin yang ketika itu menjabat Sekretaris Panitia Kongres Pemuda. Persetujuan dari peserta kongres akhirnya membuat Melayu ditetapkan sebagai bahasa persatuan.

Saya tak akan meneruskan secara menyeluruh bagaimana riwayat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional serta alasan-alasannya. Sebab, selain akan memperlihatkan pengetahuan saya yang sedikit terhadap ini, data yang ada di Internet sudah sangat melimpah ruah. Dan pengetahuan bahwa bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu adalah pengetahuan umum siswa sekolah dasar di seluruh provinsi dan kabupaten di Indonesia—termasuk Garut.

Lebih baik saya melanjutkan dengan ini: Alergi Melayu.

Sikap alergi Melayu tampak mengemuka dengan hebat dalam hampir satu dasawarsa terakhir. Dalam pengamatan saya yang terbatas, Melayu di sini merujuk sedikitnya pada dua hal, yaitu Malaysia dan musik Melayu. Musik Melayu yang dimaksud adalah musik arus utama Indonesia yang diwakili oleh kelompok musik Kangen, ST12, Wali, dan lainnya. Karena ia berbeda dengan musik Melayu yang dikenal sebelumnya, dan karena hanya menyerap sedikit unsur musik Melayu, maka kita namakan saja ia sebagai “musik pseudo-Melayu”.

Alergi terhadap Melayu Malaysia dipelopori oleh gerakan “nasionalis kagok” dengan berbagai slogannya (“NKRI Harga Mati”, dkk.) dan dagangannya (“DAMN I Love Indonesia”, “Save Our Heritage”, “Nasional-Is-Me”, dkk.), yang sikapnya dipicu terutama oleh “pencurian” kebudayaan Indonesia. Sedangkan alergi terhadap musik pseudo-Melayu diwakili salah satunya oleh kelompok musik Indonesia—tentu dengan para pengikutnya—yang bermusik dengan sistem musik Barat, yang dipicu oleh hegemoniknya aliran musik pseudo-Melayu tersebut di ranah industri musik. Kalau musik pseudo-Melayu kemudian diasosiasikan sebagai selera rendahan, kelas bawah, dan alay, maka kubu alergi Melayu Malaysia mengasosiasikan Melayu sebagai perompak dan musuh bebuyutan.

Satu yang sama: keduanya memaknai Melayu secara tunggal dan nir-konteks. Melayu tidak dilihat sebagai entitas etnis yang kompleks dan beragam, yang tersebar di berbagai wilayah. Serangan berbunyi “musik Melayu sampah” tidak berada dalam kesadaran bahwa itu akan menyenggol banyak identitas Melayu lain: Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Bugis, Melayu Tolaki, Melayu Bengkulu, dan lainnya.

Maka saya bisa memahami  kenapa masyarakat Melayu memprotes komentar seorang musisi yang dikutip media daring: “Ridho ‘Slank’ Malu Musik Indonesia Diracuni Melayu” (Judulnya kemudian diubah menjadi “Ridho ‘Slank’ Malu Musik Indonesia Menye-menye”). Meski mungkin yang dimaksud Ridho adalah musiknya ST12 dan kawan-kawan, tapi istilah Melayu secara otomatis merujuk pada siapa saja yang merasa diri orang Melayu.

Generalisasi pemaknaan tunggal atas Melayu kemudian menjalar ke semua kalangan. Atas efek ngantuk sehabis makan atau kebiasaan datang terlambat, seseorang akan balapan untuk menyahut, “Wah, Melayu banget!” Efek Rumah Kaca, band yang saya gemari, juga mengidap pemahaman serupa, yang tergambar dalam lagunya Lagu Cinta Melulu: “Kita memang benar-benar Melayu, suka mendayu-dayu”.

Sampai di sini, saya harus hentikan pembicaraan soal bagaimana pembingkaian Melayu dalam kepala kebanyakan masyarakat kita. Saya harus kembali ke soal utama tulisan ini: surat pembaca.

Saya tidak yakin persis, ke mana referensi Ma’mun dalam memahami Melayu: apakah Malaysia, ataukah stereotip atas sifat dan kebiasaan orang Melayu? Tapi dari pendapatnya yang lugu itu terjelaskan bahwa ia memandang budaya (bahasa) sebagai sesuatu yang lahir dari ruang hampa. Kehadiran bahasa dianggap alamiah dari sananya. Bahasa Indonesia dikesankan jatuh dari langit dan dipungut oleh mereka yang kemudian menamai diri Indonesia. Apakah ia akan segera “bertobat” jika upaya mencari orisinalitas kebangsaannya dicegat oleh kenyataan bahwa pemberian nama Indonesia justru disematkan pertama kali oleh seorang Skotlandia, James Richardson Logan, pada pertengahan abad ke-19?

Bahkan, Indonesia, bahasa yang dipakai Ma’mun untuk menulis di Tempo, setidaknya mengandung berbagai macam bahasa. Tak ada unsur tunggal dalam pembentukan sebuah budaya. Tak ada yang asli dalam budaya. Kalau pun ada, bagaimana mengukurnya, bagaimana memastikan keasliannya? Justru peradaban hari ini hanya bisa tumbuh kalau antarbudaya mau saling berbagi.

Lantas apakah hanya karena kata-kata yang dituding Ma’mun tak dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, berarti kita mesti menolak penggunaannya? Sayangnya, karena kerajinan saya, kecuali lema “ngosel”, sisanya saya temukan ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi daring) dan Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko, 2007).

Dan kalaupun bukan bahasa kita, lantas kenapa? Bukankah sejak awal bangsa ini menjadi ada karena praktik kawin-mawin silang, yang ikut melahirkan rupa kebudayaannya yang blasteran? Apa yang harus ditakuti dengan hibriditas? Apakah kebaikan atau kebesaran suatu bangsa menjadi berkurang tatkala orisinalitasnya KW super? Ataukah ini hasil pemikiran bahwasanya budaya adalah kata benda? Apakah “Indonesia” adalah kata benda?

Layaknya “Tuhan”, saya percaya, Indonesia adalah kata kerja. Definisi atasnya tidak akan pernah selesai dan tidak boleh selesai.

 


Photo by Patrick Tomasso on Unsplash

20 thoughts on “Alergi Melayu

  1. Padahal Melayu sendiri sebagai suatu entitas kebudayaan sangat kaya. Banyak kata2 dalam bahasa Indonesia yang terambil dari bahasa Melayu yang sangat jarang digunakan dan terdengar sangat indah. Makasi buat artikelnya, Roy!

  2. Orang yang menulis Surat itu lupa,bahwa secara Ras,dia termasuk “Melayu Mongoloid”dan di Indonesia Barat sampai dengan Indonesia Tengah,adalah, yang terbanyak adalah Ras Melayu Mongoloid (Melayu Muda dan Tua). Pengertian”Austronesia”adalah Bahasa-Bahasa Malayo-Polynesia dan Bahasa-Bahasa Formosa/Taiwan,”Austronesia”sendiri berarti “Pulau Selatan”,dan Bangsa-Bangsa di Kepulauan Selatan kebanyakan Berkulit Sawo Matang atau memiliki Ras Melayu.Mongoloid. Pada dasarnya Bahasa-Bahasa Austronesia adalah Bahasa-Bahasa rumpun Melayu dalam pengertian yang luas. Jika kita kita perhatikan dengan seksama corak Peradaban dari Aceh sampai dengan Raja Ampat,Papua adalah Melayu Islam,tapi secara halus atau diarahkan kita dibuat agar Berkidhmat pada Peradaban Jawa Hindu + Bali. Gagasan Bahasa Indonesia adalah penyatuan bahasa-bahasa serumpun atau malayik dalam wilayah Pohon Bahasa Austronesia,tapi Pak Muhammad Yamin tak ingin timbul kesan terlalu mengistimewakan Bangsa Melayu atau Ras Melayu yang lebih Menonjol dan Banyak jumlahnya,dan Beliau sadar Bangsa Melanesia adalah yang Terbanyak di Papua, Maluku dan NTT(Beliau sejak awal kemerdekaan sudah punya keinginan agar Papua menjadi bagian dari Indonesia),dan Bangsa Melanesia ini kebanyakan bukanlah Penutur Bahasa Austronesia,ditambah Suku Bangsa-Suku Bangsa (Arab,Tamil dan Cina Han-Tionghoa dan lain-lain) lain yang tak Serumpun dengan kita,tapi tinggal satu Negara dengan Kita.

  3. Saya rasa Bung Mamu’n harus pergi ke Museum Pos Indonesia yang terdapat di Taman Mini Indonesia Indah,di sana dia bisa melihat Surat-Menyurat dari Raja-Raja dan Sultan-Sultan di seluruh Nusantara,semuanya ditulis dalam Bahasa Melayu.

  4. Tentang Tanah Pasundan (Garut) dan Sunda,dahulu Pulau Jawa (termasuk tanah pasundan),pernah dalam kekuasaan Kerajaan Syailendra,yang adalah Keluarga Kerajaan Sriwijaya dan di Tanah Pasundan terdapat sebuah daerah yang bernama “Tasik Malaya”,yang berarti “Danau di Tempat yang Tinggi. Rumah Adat Sunda,khususnya Sunda Badui adalah Rumah Panggung juga dan Ilmu Beladiri mereka adalah “Silat” atau “Pencak Silat”,Ilmu Bela Diri itu,kita kenal sebagai Ilmu Bela Diri yang berasal dari Dunia Melayu. Di dalam Bahasa Sunda pun terdapat beberapa kata Melayu (Minang). Profesor Sangkot Marzuki dari Lembaga Eijkman Indonesia pernah melakukan penelitian,yaitu Kedekatan Genetik diantara orang-orang Sumatera dan Sunda,hasilnya adalah Secara Genetik mereka sangat mirip dan boleh dibilang serumpun. Perhatikanlah kemiripan ini nama “Priangan”,bukan hanya terdapat di Tanah Pasundan,tapi terdapat pula di Sumatera Barat/Tanah Minangkabau (Gunung Priangan). Di Masa Lampau Kerajaan Malayu Pagaruyung (Minang),adalah Kerajaan Melayu yang berkuasa di Sumatera,setelah keruntuhan Kerajaan Sriwijaya. Kesimpulannya Tanah Pasundan dan Sunda,bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dunia Melayu dan Suku Bangsa Sunda memiliki Ras Melayu Mongoloid juga (Deutro-Muda).

  5. Saya tak habis pikir sosok Ma’mun Gunawan lengkap dengan pola pikirnya dan nilai rasa jiwa hatinya terlahir dari mana..? Besar di mana..? Dan berada di bumi mana..??? Apakah orang ini, seperti dalam buah pikiran tulisan di atas..bahwa dia tercampak begitu saja dari langit dan langsung teronggok begitu saja di tempat pembuangan sampah… Tanpa “rahim” seorang ibu.. Kalau begitu cara pola pikirnya riwayat… hikayat… sejarah kelahiran manusia yang satu sejatinya seperti inilah….!
    1. Sejatinya pula.. orang ini tak bisa diajak berdiskusi, berdebat secara ilmiah antara lain disebabkan otak benaknya memang sudah “kotor” karena tercampak dari langit langsung ke tempat pembuangan sampah.
    2. Sejatinya juga Tempo sebagai majalah terhormat seperti kecolongan memuat tulisan sampah, tidak berfilter, sayang se-X…. Siapa-siapa saja yaaa… para editor atau penyaring atau penyuntingnya sekarang ini… Rasanya tidak berterima kasih pada Melayu.
    3. Sebagai Melayu Riau saya sangat merasa dibuat tidak nyaman .. malah merasa merasa sangat tersakiti dengan tulisan sampah yang ditampung dan disebearluaskan Tempo ini. Saya rasa begitu juga Melayu di Jambi, Melayu Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Bugis, Melayu Tolaki, Melayu Bengkulu, dan lainnya…
    4. Sebagai Melayu sudah lebih dari cukup yang kami beri… [a] Bahasa Nasional Pengikat Persatuan… [b] Kekayaan alam mulai dari minyak bumi, kayu hutan rimba, [c] tanah untuk perkebunan, [d] hasil laut dan sebagai…..
    Menyinggung sekilas musik Indonesia.. Ingatlah… Awalnya juga berangkat dari seni musik Melayu, Tuan….!!!!
    AWALNYA adalah MUSIK MELAYU TRADISIONAL [yg juga berfungsi mengenalkan bahasa Melayu lebih luas bukan saja sampai ke tanah Jawa! tapi juga Asia Selatan]. Kemudian memecah atau mengembangkan diri. Satu cabang berangsur menjadi Musik Klasik (Musik Bukit Sjguntang, S Effendy (Indonesia], P Ramle [Malaysia], Ahmad Jais, [Singapura,] dst), Lantas Pop Melayu (Bawafi, dst). Terus berlanjut ke Orkes Melayu (OM) seperti Soneta, dan akhirnya mendekat ke dangdut.. seperti era yang dibawa Elya Kadam… Sedangkan satu cabangnya lagi menjadi Pop Indonesia yang kemudian memecah diri atau berbancuh dengan berbagai jenis musik lainnya.
    Kecewa sekali KAMI ORANG MELAYU yang berada di Indonesia ini wahaiii… TEMPO…!! Apakah kami mau dilepaskan atau kami melepaskan diri…!!!
    Cukuplah bagi kami sebagai ORANG MELAYU…..!!!!!

  6. Di masa awal pengembangan Bahasa Indonesia (Bahasa Melayu Baku yang dipergunakan di Indonesia),pengaruh Bahasa Melayu Minang sangat kuat dan pada saat itu banyak ahli Bahasa Indonesia yang adalah Urang Awak.

  7. Kita jangan melihat dari Sudut Pandang Jakarta dan Jawa,saja karena di sekitar kita banyak bangsa yang serumpun dan se-ras dengan kita,jika tak percaya silah pergi Australia,Selandia Baru dan Pilipina dan seluruh ASEAN,kita bukanlah sebuah negara yang tiba-tiba muncul dari langit atau Sim Salabim,tanpa mau mengetahui Akar kita dan Bangsa-Bangsa yang terdapat di sekitar kita dan di ASEAN ini Ras Melayu Mongoloid penutur Bahasa Rumpun Austronesia adalah yang terbanyak atau mencakup 300 juta lebih penduduk di ASEAN.

  8. Orang-orang yang mengatakan Bahasa Indonesia bukanlah Bahasa Melayu,seperti orang-orang yang mengatakan bahwa Bahasa Denmark,Swedia dan Inggris serta Belanda adalah bukan salah satu bentuk Bahasa Jerman,atau orang-orang yang mengatakan bahwa Bahasa Kanton,bukanlah salah satu dari Bahasa Cina atau Han Pinyin (Bahasa Han),jelas mereka adalah orang yang lupa sejarah atau pengetahuan Kebahasaannya kurang atau bahkan Buruk 🙂

  9. Terima kasih atas paparannya mengenai Bahasa Melayu dan Melayu itu sendiri.
    Paragaraf terkait dengan alergi Melayu lebih menarik dibanding surat pembaca si Ma’mun.
    Akhir-akhir ini memang alergi tersebut menular kemana-mana. Malu akan identitas, menjadi penyakit bagi sebagian masyarakat yang notabene adalah bagian dari Melayu itu sendiri.

    1. Sebaiknya Bung Ma’mun membaca Buku Novel Nyai Ontosoroh,di buku novel yang ditulis oleh Pramudya Ananta toer itu,dijelaskan mengapa Nyai Ontosoroh yang berasal dari Jawa,memilih Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utamanya untuk pergaulan sehari-hari dan dia merasa sebagai bagian dari Bangsa Melayu pula.

  10. Perhatikanlah Bahasa Biak yang berasal dari daerah pesisir Papua ini ; Iser/Satu Suru/Dua Kuyor/Tiga Fyak/Empat Rim/Lima Wonem/Enam Fik/Tujuh War/Delapan Siw/Sembilan Samfur/Sepuluh Aya/Saya/Aku I/Dia/Ia Au/Kau/Kamu.

  11. Secara Kebahasaan Suku Bangsa Manado atau Minahasa termasuk Melayu juga,tapi mereka tidak bisa sepenuhnya disebut “Melayu”,karena mereka kebanyakan bukanlah Orang Islam. Suku Bangsa Manado ini mengenakan Topi Lancip sebagai bagian dari Pakaian Adat mereka dan mereka tinggal di Rumah Panggung pula.

  12. Saya menemukan manuskrip-manuskrip sebelum penjajahan belanda, bahwa nusantara ini menggunakan tulis arab melayu dalam karya besar. Lihat Hamzar Fansuri (Aceh) berkarya di abad 15 dengan bahasa Melayu. Lihat Hihayat Tanah Hitu (di Maluku), Hidayat Perang Banjar (Kalimantan) masing banyak lagi. Itu dulu, sebelum datang Belanda. Artinya bahaya dan tulis melayu sudah menjadi miliki nusantara ini.

  13. Bahkan perjanjian antara Sultan Banten dengan Belanda pun ditulis dengan Arab Melayu. Sebab tulis baca yang diakui di nusantara saat itu adalah Bahasa Melayu (Huruf Jawi). Namun sejak penjajahan Belanda (tiga abad) tulis arab Melayu pun hilang, maka diri kita merasa asing dengan tulis baca Melayu itu, padahal itu peradaban asli kita. Lucu rasanya kalau dikatakan Melayu itu asing, tapi itu lah pendapat orang yang tercerabut akar budayanya sendiri.

  14. Di Papua,dikenal pula sebuah Bahasa Melayu setempat dan Bahasa Melayu masuk ke Tanah Papua dengan Perantaraan Penyiar-Penyiar Agama Keristen dan Kesultanan Ternate. Silah kesini jika Anda ingin tahu tentang cuitan-cuitan dalam Bahasa Melayu Papua >> @sammypasau (di Twitter).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *