DIBANDING ISU KORUPSI, lingkungan, dan hak asasi manusia, misalnya, isu penyiaran masih menjadi sebuah perbincangan yang sepi. Padahal penyiaran berperan vital dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di abad ini TV telah menjadi salah satu aktor utama dalam memilih-mengatur agenda publik, membingkai sebuah peristiwa dan nilai, hingga membentuk persepsi masyarakat. Pun, ia merupakan mesin ekonomi dan politik yang dominan.
Karena itu negara harus menunjukkan kehadirannya dengan cara mengawasi penggunaannya secara benar dan adil. Ironisnya, sepuluh tahun pemerintahan SBY gagal menjadikan penyiaran sebagai sektor yang bisa memberi keuntungan yang adil bagi seluruh warga negara. Sebab yang menikmati keuntungan barulah para konglomerat media dan elit politik. Tidak bagi buruh media, apalagi publik luas.
Dalam situasi demikian maka saya terkesan oleh salah satu poin visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla: “kami akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran yang merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi monopoli atau penguasaaan oleh sekelompok orang (kartel) industri penyiaran”.
Sesungguhnya, tak ada gagasan baru dalam poin tersebut. Yang baru adalah ikhtiar dan perhatian atasnya. Di tengah sikap negara yang abai terhadap penyiaran, maka meletakkannya dalam agenda kerja politik adalah suatu yang berharga bagi publik.
Namun, penyiaran bukanlah perkara yang mudah diurus. Kekuatan ekonomi-politik di balik industri televisi bukanlah sekelompok pihak yang mudah diminta tunduk terhadap hukum yang ada dan sudi mendistribusi kekuasaannya bagi publik si pemilik frekuensi. Pengalaman dalam penyusunan UU Penyiaran pada 2002 yang begitu alot, bisa menjadi suatu panorama yang memperlihatkan betapa perkasanya kekuatan itu.
Maka kalau hari ini kita saksikan betapa sulitnya publik mengakses haknya atas frekuensi yang digunakan stasiun televisi, itu adalah akibat dari tiadanya jaminan dari regulasi dan regulator. Berita televisi menyiarkan informasi yang keruh karena diobok-obok pemilik media. Durasi siaran dihabiskan berjam-jam untuk mempertontonkan orang joged, kekerasan, ukuran sepatu seorang selebritas, atau pertunjukan debat yang destruktif dengan kemasan pseudo-intelektual. Jual-beli frekuensi antar-perusahaan menjadi sesuatu yang seolah lazim, yang tanpa disadari ada potensi kerugian negara di sana—selain juga merupakan bentuk pelanggaran hukum.
Di tengah banyaknya persoalan penyiaran, saya mencatat ada empat agenda utama yang perlu diperhatikan, yakni (1) konglomerasi media, (2) sentralisasi penyiaran di Jakarta, (3) penguatan Komisi Penyiaran Indonesia, dan (4) penguatan lembaga penyiaran komunitas.
Empat Agenda Penyiaran
Konsentrasi kepemilikian media atau konglomerasi adalah tren global yang terjadi di banyak negara. Praktik konglomerasi tersebut menunjukkan bahwa dominasi seseorang atau suatu kelompok atas kepemilikan media berbahaya bagi demokrasi. Dalam demokrasi, konglomerasi adalah ide yang ditolak. Sebab konglomerasi merupakan sebentuk kekerasan simbolik terhadap apa yang dicita-citakan dalam ruang publik: kesetaraan dan keadilan. Konglomerasi merampas peluang tiap orang atau kelompok untuk bisa berdiri sejajar.
Nyatanya, dari ribuan media di Indonesia, kepemilikannya hanya ada di tangan 12 kelompok bisnis (Lim, 2011; Nugroho, 2012). Seseorang secara sekaligus bisa memiliki puluhan stasiun TV, media cetak, radio, dan online. Menyedihkannya, praktik monopoli ini dibiarkan, malah “difasilitasi” melalui berbagai peraturan turunan Undang-Undang.
Lalu masalah sentralisasi—di mana 10 stasiun TV Jakarta bisa menjangkau publik nasional—yang sesungguhnya mengancam keragaman di Indonesia. Secara hiperbolis bisa dikatakan bahwa stasiun TV Jakarta menentukan dan mengatur apa dan bagaimana 240 juta orang Indonesia bercakap-cakap. Situasi ini jelas merugikan publik secara ekonomi, politik, dan budaya (Armando, 2011). Akibatnya, bisnis stasiun TV lokal menjadi tak sehat, diskursus politik lokal tak mendapat panggung, dan Indonesia tengah di-Jakarta-nisasi.
Sebenarnya UU Penyiaran telah melarang stasiun TV bersiaran nasional dan mewajibkannya menjalankan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Tapi penegakkanya mati suri, dan pemerintah seolah lebih melayani keinginan industri.
Dua agenda lain adalah sesuatu yang sifatnya pemberdayaan publik. Publik mesti didorong menjadi aktor, bukan penonton. Wacana penguatan publik harus dimulai dengan menguatkan lembaga perwakilan publik, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Kewenangan lembaga ini harus ditambah sehingga perannya bisa lebih optimal. Ambiguitas peran yang berbagi dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika mesti diperjelas dengan perlahan memindahkan beberapa otoritas pemerintah ke KPI. Pendek kata, kita harus bermimpi punya KPI yang sekuat KPK.
Menguatkan KPI juga mesti berbarengan dengan memberikan peluang bagi publik untuk terlibat dalam memanfaatkan sektor penyiaran. Pada konteks inilah agenda penguatan lembaga penyiaran komunitas (LPK) mendapat tempat. LPK bisa menjadi cara publik berdaulat dan menyediakan informasi alternatif yang baik dan relevan dengan kebutuhannya. Dan ini sesuai dengan visi Jokowi-Kalla: membangun Indonesia dari pinggiran.
Tantangan Buat Presiden Baru
Pekerjaan mereformasi sektor penyiaran adalah pekerjaan yang berat. Upaya mengaturnya akan berbalas serangan balik dari media itu sendiri. Argumen “kebebasan pers” akan digunakan untuk menjustifikasi keliaran libido ekonomi para konglomerat media. Maka presiden baru nantinya ditantang untuk berani tidak populer di media karena telah melakukan yang benar.
Jokowi, yang selama ini dekat dengan media ditantang untuk tunduk terhadap konstitusi, bukan konstituen. Apalagi, dalam koalisi politik yang mengusungnya sebagai capres terdapat Partai NasDem, di mana pimpinannya, Surya Paloh, adalah pengusaha media yang terbukti telah menggunakan Metro TV untuk kepentingan politik kelompoknya. Nah, apakah Jokowi punya nyali dalam mengoreksi praktik keliru yang dilakukan para pendukungnya tersebut?
Sebelum nyali, mungkin Jokowi harus memulainya dari soal pemahaman mengenai frekuensi. Frekuensi, yang dipakai oleh stasiun TV dan radio untuk bersiaran itu, adalah milik publik. Sehingga apapun peruntukkannya harus bermanfaat bagi publik. Ia tidak bisa dipakai untuk “serangan udara” demi memenangkan pilpres, seperti lontaran Jokowi pada seputaran hari di mana NasDem berkoalisi dengan PDIP.
Dimuat di Koran Tempo, 28 Juni 2014
—
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
Fillyan! This is just what I was looking for.